Jakarta, BIZNEWS.ID - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian kepala daerah. Proses pencopotan kepala daerah tetap harus berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Apakah Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 itu dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19? Jawabannya tentu saja tidak," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (19/11).
Ia menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf b UU Pemerintahan Daerah, kepala daerah berkewajiban melaksanakan semua peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 c, kepala daerah diberhentikan apabila tidak mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, yang dimaksud Mendagri dalam instruksinya ialah peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan protokol kesehatan dalam kondisi pandemi Covid-19. Yusril pun menegaskan, Instruksi Presiden, Instruksi Menteri, dan sejenisnya adalah perintah tertulis dari atasan kepada jajaran di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Ia melanjutkan, bisa saja pemerintah melalui Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 memberikan ancaman sanksi kepada kepala daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, pelaksanaan pemberhentian kepala daerah itu tetap harus berdasarkan UU Pemerintahan Daerah.
Yusri juga menjelaskan, kepala daerah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui konstestasi pilkada yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan calon sebagai pemenang pilkada.
"Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak pemerintah. Presiden atau mendagri hanya berwenang menerbitkan keputusan tentang pengesahan pasangan gubernur atau bupati/wali kota terpilih dan melantiknya.
Dengan demikian, presiden tidak berwenang mengambil inisiatif memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur. Begitu pula dengan mendagri yang tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya.
Semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan penegakan protokol kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD. Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment).
Jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan. Apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak.
Untuk tegaknya keadilan, kepala daerah yang akan dimakzulkan pun diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri. Maka, kata Yusril, proses pemakzulan akan memakan waktu lama, mungkin setahun atau bahkan lebih dari satu tahun.
Yustil menambahkan, kewenangan presiden dan mendagri hanya terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD. Hal ini dapat dilakukan ketika kepala daerah didakwa pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun.
Kepala daerah juga dapat diberhentikan sementara jika mereka didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, atau kejahatan memecah-belah NKRI. Kalau dakwaan tidak terbukti dan kepala daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, presiden dan mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya. Demikian Republika.co.id
Photo : google image
LEAVE A REPLY