Home Hukum Sengketa HGB di Pancasari: Mayoritas Warga Sepakat Relokasi, Dugaan Glamping Ilegal Disorot

Sengketa HGB di Pancasari: Mayoritas Warga Sepakat Relokasi, Dugaan Glamping Ilegal Disorot

0
SHARE
Sengketa HGB di Pancasari: Mayoritas Warga Sepakat Relokasi, Dugaan Glamping Ilegal Disorot

Keterangan Gambar : Pertemuan yang difasilitasi oleh BPN ini dihadiri oleh perwakilan PT SBH, aparat penegak hukum, pemerintah desa, serta 16 dari total 20 warga penggarap lahan.

BIZNEWS.ID - BULELENG - Proses perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan bekas HGB No. 44/2003 milik PT Sarana Buana Handara (SBH) di Desa Pancasari, Kabupaten Buleleng, memunculkan dinamika baru setelah mediasi yang digelar Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Senin, 25 Agustus 2025.

Pertemuan yang difasilitasi oleh BPN ini dihadiri oleh perwakilan PT SBH, aparat penegak hukum, pemerintah desa, serta 16 dari total 20 warga penggarap lahan. Dalam forum tersebut, mayoritas warga menyatakan kesediaan untuk direlokasi, sebagai bagian dari upaya mencari solusi damai dan saling menguntungkan.

"Mayoritas warga membuka ruang dialog dengan perusahaan dalam semangat musyawarah. Ini menunjukkan komitmen bersama untuk menyelesaikan sengketa secara konstruktif," ujar Asep Jumarsa, S.H., M.H., kuasa hukum PT SBH.

Namun, dinamika mencuat ketika satu warga, Made Suartana—mantan Ketua BUMDes Pancagiri Kencana—menolak relokasi. Penolakan ini mengundang tanda tanya mengingat Suartana sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua BUMDes, namun masih mengklaim sebagai pihak berwenang atas usaha glamping yang dibangun di lahan tersebut.

Ketua BUMDes Pancagiri Kencana saat ini, Surya Mahendra, menyatakan bahwa pihaknya baru mengetahui keberadaan surat yang menyebut glamping sebagai program BUMDes.

“Kami tidak pernah mencatat glamping itu sebagai aset resmi BUMDes. Ini menimbulkan dugaan penyalahgunaan jabatan oleh pengurus sebelumnya,” ujarnya.

Pembangunan glamping yang dilakukan Suartana kini menjadi sorotan karena berdiri di atas lahan negara yang status HGB-nya sedang dalam proses perpanjangan.

“Tanah dalam status tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tanpa izin resmi. Terlebih jika digunakan untuk usaha komersial,” tegas Asep.

PT SBH sendiri mengklaim telah memenuhi kewajiban pembayaran pajak dan mengikuti seluruh proses hukum yang berlaku untuk perpanjangan HGB. Bahkan, perusahaan sempat menurunkan plang untuk menjaga kondusivitas di lapangan.

Langkah perusahaan ini dinilai sebagai bentuk iktikad baik, terlebih setelah mayoritas warga menyatakan kesediaannya untuk mencari jalan tengah. Meski demikian, keberadaan glamping yang diduga ilegal masih menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat dan pemangku kepentingan.

“Bagaimana mungkin pembangunan tanpa izin ini bisa berlangsung tanpa hambatan? Ini perlu ditelusuri. Apakah ada pembiaran dari pihak berwenang?” ujar salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.

Kasus ini dinilai menjadi ujian serius dalam tata kelola pertanahan dan penegakan hukum di tingkat desa. Masyarakat kini menunggu kejelasan sikap dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum terhadap aktivitas yang diduga menyimpang tersebut.

“Ini saatnya semua pihak membuktikan komitmennya terhadap keadilan dan aturan hukum. Perlindungan harus diberikan kepada pihak yang patuh, bukan kepada oknum yang memanfaatkan celah hukum demi kepentingan pribadi,” tegas Asep.

Sengketa ini sekaligus menjadi peluang bagi aparat terkait untuk menghadirkan transparansi, kepastian hukum, dan integritas dalam pengelolaan aset desa di Buleleng.(Dens)