Jakarta, BIZNEWS.ID - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai pidato Presiden Joko Widodo atau Jokowi marah terhadap anggota kabinetnya tak tepat waktu. "Sekarang tentu mungkin bukan waktu yang tepat bagi Presiden untuk menggertak,” kata Arya saat dihubungi Tempo, Ahad, 28 Juni 2020.
Di tengah pandemi Covid-19, pidato yang mengkritis kinerja para menteri terhadap penanganan wabah itu justru dapat memperkeruh situasi. “Yang kita butuhkan sekarang adalah tindakan konkrit dari Presiden terutama untuk mengevaluasi itu. Apa evaluasi dia."
Arya menilai dengan ucapannya itu, Jokowi memang menegaskan bahwa para menterinya harus bekerja lebih keras. Bahkan Jokowi menyinggung isu pembubaran lembaga hingga reshuffle. Namun hal ini justru memunculkan banyak spekulasi politik.
Dalam situasi krisis, rumor, spekulasi politik, soal perombakan kabinet, itu akan mengganggu sekali kinerja penanganan Covid-19. “Dan itu sangat tak baik dalam situasi krisis. Pemerintahan membangun spekulasi," kata Arya.
Jika Jokowi serius ingin melaksanakan perombakan kabinet, Arya mengatakan seharusnya langsung saja dilakukan tanpa harus menggertak dalam pidato itu. Cukup dengan menggelar rapat evaluasi terbatas secara tertutup dan kemudian langsung kemudian diumumkan siapa saja yang terkena rombak.
Menteri-menteri yang mungkin merasa kinerjanya kurang baik akan membangun manuver untuk menyelamatkan diri dengan mendekati partai, ke orang di sekitar Presiden, pendekatan ke ketua uUmum partai. “Itu yang terlalu beresiko. Harusnya kongkrit saja," kata Arya.
Hal ini kata Arya, justru bisa membuat para menteri tak konsentrasi bekerja. Kemungkinan perombakan kabinet membuat mereka bisa saja berfokus pada manuver politik, ketimbang memperbaiki kinerja. Arya mengatakan Jokowi seharusnya belajar dari pengalaman perombakan kabinet terdahulu. "Reshuffle pertama, kedua, ketiga, kisruhnya yang panjang. Dramanya yang panjang," kata Arya.
Photo : google image
LEAVE A REPLY