Jakarta, BIZNEWS.ID - Memasuki akhir tahun 2020, banyak catatan hukum yang bisa menjadi catatan dan evaluasi guna menapaki tahun baru 2021. Ada beberapa catatan yang ditorehkan di bidang hukum.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Gufron menilai, Fungsi hukum itu masih berserakan beragam di masing-masing sektornya. "Di ekonomi welcome investasi sedangkan di hukum pidana tidak. Jika tidak linier pasti bertabrakan dan tidak jelas bagaimana menjalankan fungsi hukum. Diharapkan ada politik hukum yang tegas dan diarahkan ke mana fungsi hukum itu. Memang kita sedang membangun tapi kemudian dianggap tidak pro ekonomi," tegasnya.
Menurut Ghufron, perspektif negara hukum untuk mengantarkan atau membatasi. Hukum memiliki lima fungsi yakni sosial kontrol, perekayasa sosial, simbol, instrumen politik dan alat untuk kemudian menyatukan. Namun KPK melihat fungsi hukum masih berbeda di setiap bidang.
"Misalnya hukum untuk politik itu harapannya semakin berkepastian dan menjadi alat merepresentasikan kedaulatan rakyat harusnya punya fungsi linear. Nyatanya berbeda fungsi sehingga tidak memiliki fungsi hukum dalam penerapannya, ini yang kami lihat," tandasnya.
Sistim Potitik Munculkan Koruptor Baru
KPK memandang kondisi politik seperti saat ini membuat kejahatan korupsi seperti jamur di musim hujan. Proses politik berbiaya mahal menjadikan politik tersebut sedang menumbuhkan koruptor baru.
"Kalau proses melahirkan koruptor itu masif usaha KPK itu tidak efektif. Karena yang dilahirkan terjadi secara sistemik. Perlu kesatuan memandang hukum ke depan," cetus Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam diskusi daring Catatan Akhir Tahun dan Menatap Hukum Akhhir Tahun, Selasa (29/12).
Turut hadir sebagai pembicara, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hariej, anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Sudiro.
Ghufron menegaskan dibutuhkan etik politik yang sehat yang kemudian menumbuhkan etika dan perilaku politik. Di sisi lain, ada perbedaan cara pandang dalam pemberantasan korupsi, sehingga KPK yang kini menitiberatkan pada pencegahan korupsi dinilai tidak dapat dipercaya.
"Saat melakukan pencegahan sowan sana sini dibilang itu bukan KPK lagi. Bukan tangkapan yang kami targetkan tapi Indonesia bersih dari korupsi," tukasnya. Lebih lanjut, Ghufron menilai fungsi hukum di Indonesia masih beragam di berbagai sektor. Padahal untuk menciptakan fungsi hukum yang baik harus linier sehingga menjadi jelas fungsi hukum tersebut.
Catatan Hitam KPK
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari memberikan satu catatan hitam bagi Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ). Catatan hitam itu muncul karena belum berhasilnya KPK menangkap salah satu buronan koruptor, Harun Masiku .
"Ada satu catatan hitam di dalam tahun ini terkait dengan kinerja KPK, yaitu soal belum ditangkapnya Harun Masiku," ujar Taufik.
"Ini sudah Desember 2020. Ini harus menjadi pekerjaan rumah KPK untuk di tahun 2021 untuk terus mengejar di manakah Harun Masiku," katanya.
Taufik juga turut menilai banyaknya tuduhan beberapa masyarakat yang menyebut KPK dilemahkan. Padahal, katanya, tuduhan itu tidak terbukti, karena dibuktikan dengan kinerja pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK.
"Tahun 2020 ini adalah waktu di mana KPK harus bisa membuktikan bahwa dugaan-dugaan, tuduhan bahwa KPK dilemahkan, KPK tidak bekerja, KPK mati suri, dan sebagainya, itu keliru," kata Taufik.
Dia mencontohkan pencapaian KPK di penghujung 2020 yang berhasil meringkus dua menteri, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari P Batubara. (Baca juga: Harun Masiku Tidak Kunjung Tertangkap, KPK Evaluasi Tim Satgas )
"Tidak seperti yang dikhawatirkan OTT seolah tidak bisa dilakukan lagi dan sebagainya. Tetapi (nyatanya) tetap dilakukan. Bahkan menyasar pada sampai pada menteri di kabinet," katanya.
Terkait kinerja kepolisian, Taufik Basri memberikan apresiasi dengan adanya gerakan hidup sederhana yang dicanangkan oleh Kapolri Idham Aziz beberapa waktu lalu. Namun demikian banyak cacatan komisi III, diantaranya pengungkapan perkara kriminal serta profesional polri dalam penanganan perkara pelangaran HAM.
Lebih lanjut Taufik mengatakan dalam pelaksanaan UU informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), polri banyak memasukkan kasus terebut ebagai tidank pidana. Hal ini kontradiktif karena beririsan dengan hak mengeluarkan berpendapat.
Selain itu, komisi III juga menyoroti adanya tindakan kekerasan kepolisian yang dinilai represif terhadap beberapa aksi demontrasi. Dan yang terakhir catatan komisi III terhadap kepolisian terkait kejadian penembakan warga di Tol Jakarta Cikampek km 50 yang hingga kini masih menyisakan pertanyaan.
"Proses rekonstruksi masih banyak menyisakan pertanyaan dan adanya perbedaan kronilogis dibanding komnas HAM. Kita berharap bisa mendapat jawaban di tahun 2021 sebagai bagian dari hak publik untuk mengetahui dengan gamblang peristiwa penembakan terhadap 6 warga tersebut.
Kontroversi Pembebasan Napi Kala Pandemi
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kontroversial di tengah pandemi COVID-19. Salah satunya membebaskan 32.000 narapidana asimilasi dari penjara.
Wakil Menteri Hukum dan HAM ( Wamenkumham ) Edward Omar Sharief Hiariej mengatakan, meski dianggap kontroversial tapi kebijakan yang diambil sangat rasional di tengah pandemi yang melanda dunia.
"Di dalam bidang penegakan hukum, saya harus mengatakan bahwa ada beberapa kebijakan pemerintah yang cq dalam hal ini oleh Menteri Hukum dan HAM memang kebijakan yang menimbulkan kontroversi, tetapi saya harus mengatakan itu adalah kebijakan yang sangat rasional," kata Eddy Hiariej.
"Sudah merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa terjadi overkapasitas di lapas. Jadi lapas kita itu hanya bisa menampung 160.000, di lapas kita itu yang ada 270.000, artinya apa, terjadi 110.000 over capacity," katanya.
Ketika merujuk pada Udang-Undang Pemasyarakatan, seseorang dalam masa asimilasi boleh bekerja di luar dan kembali ke penjara. Namun hal itu tidak mungkin terjadi pada masa pandemi.
"Bisa dibayangkan lapas yang over capacity ketika 1-2 orang terjangkit, maka bisa seluruh lapas itu terjangkit karena apa tidak mungkin ada social distance di dalam lapas," ujarnya. "Karena itu saya katakan, kebijakan itu adalah kebijakan kontroversi yang paling rasional di tengah (pandemi covid-19)," katanya. (Baca juga: Wamenkumham Eddy Hiariej Segera Berbagi Tugas dengan Yasonna Laoly )
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebut kebijakan yang dilakukan Kemenkumham dijadikan referensi oleh Kepolisian dalam menangani kasus-kasus.
Ubah Mindset Kasus Pidana
Edward Omar Sharif Hiariej meminta masyarakat mengubah mindset terkait kasus pidana untuk tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif. Model keadilan retributif menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan kejahatan, maka hukuman yang diterima oleh pelaku merupakan hukuman yang ditujukan untuk membalas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan pelaku.
"Mengapa demikian? Saya kasih contoh konkret, masyarakat kita itu mindset-nya ketika berkaitan dengan kasus pidana, yang mereka mau tuh pelakunya ditangkap dihukum seberat-beratnya. Jadi apa? Masyarakat kita, even aparat penegak hukum yang ada mindset-nya apa? Keadilan retributif, keadilan pembalasan padahal, new paradigm in the world regarding criminolog," kata Eddy.
Eddy menekankan bahwa paradigma baru yang berkaitan dengan hukum pidana secara universal itu tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. "Dan ini akan terjawab ketika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu disahkan menjadi KUHP," katanya.
Menurut Eddy, ada sekitar 7 jenis pidana dan pidana penjara itu diletakan paling terakhir. Kemenkumham harus mengubah paradigma masyarakat agar tidak lagi hanya fokus pada hukuman semata tapi ada restorasi justice dalam pengertian keadilan yang dipulihkan.
"Jadi ini merupakan satu kesatuan ketika kita berbicara bagaimana membenahi lapas, maka dimulai dengan hukum materialnya KUHP ini segera disahkan supaya apa bagaimana kita mencoba mengubah mindset masyarakat bahwa jangan apa-apa dilemparkan ke lapas, apa-apa dilemparkan ke lapas," katanya.
"Anda bisa bayangkann koruptor, pemerkosa, pembunuh, pencuri, ini kok semua diserahkan kepada lapas untuk dibina? it doesnt makes sense," ujarnya.
Padahal, kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia terbatas yakni hanya bisa menampung sekitar 160.000 orang sedangkan narapidananya berjumlah sekitar 238.000 orang.
"Kapasitas yang kecil sementara masyarakat maunya menghukum seberat-beratnya, jadi ini tidak match. Karena itu bagaimana membenahi lapas itu bukan hal yang mudah. Kita berbicara sistem peradilan pidana secara keseluruhan," katanya. (berbagai sumber)
Photo : google image
LEAVE A REPLY