Home Nasional Wolter Mongisidi, Mati Muda Demi Indonesia

Wolter Mongisidi, Mati Muda Demi Indonesia

0
SHARE
Wolter Mongisidi, Mati Muda Demi Indonesia

Jakarta, BIZNEWS.ID -  Secarik kertas lusuh terselip di dalam lembar-lembar Alkitab yang ditemukan di ruangan pengap itu. Di situ tertulis tajuk: “Setia Hingga Terakhir dalam Keyakinan”. Catatan itulah yang menjadi pesan terakhir Robert Wolter Mongisidi, seorang anak muda yang rela mati lebih dini demi mempertahankan kemerdekaan tanah airnya, Indonesia.

Bote, begitu panggilan akrabnya, memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius. Kitab suci selalu menjadi pegangan hidup anak ke-4 dari 11 bersaudara pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa ini. Tepat di hari kasih sayang 14 Februari 1925, Bote dilahirkan di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara.

Malalayang adalah desa kecil yang diapit oleh lautan dan rimba belantara. Di sinilah Bote ditempa hingga nantinya menjadi seorang anak muda pejuang bernyali tinggi dan tak kenal menyerah. Dari pelosok Celebes, inilah kisah Robert Wolter Mongisidi yang ditembak mati Belanda di Makassar pada usia 24 tahun.

Berjuang Sejak Belia

Usai menamatkan pendidikan dasarnya, Bote langsung merantau. Pergilah ia ke Manado untuk melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco di Manado. MULO adalah sekolah menengah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan di Manado, sekolah yang dinaungi Yayasan Katolik Don Bosco itu terbilang bagus.

Bote lulus dari MULO ketika kekuasaan Belanda di Indonesia baru saja berakhir, digantikan oleh pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942. Ia kemudian masuk ke dua sekolah sekaligus, yakni sekolah pertanian bentukan Jepang dan Sekolah Keguruan Bahasa Jepang, keduanya di Tomohon.

Mengantongi kemampuan berbahasa Jepang, ia pulang ke Malalayang dan menjadi guru di sana. Bote yang pada saat itu berusia 18 tahun juga mengajar di beberapa daerah lainnya seperti Minahasa, Liwutung, hingga Luwuk Banggai. Tapi, 2 tahun berselang, tak lama setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Bote hijrah ke Makassar.

Di pusat peradaban Sulawesi Selatan itu, Bote atau yang kini sudah cukup dikenal dengan nama aslinya, Mongisidi, terhenyak karena kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat tiba-tiba terancam. Belanda datang lagi dengan wujud anyar: Netherlands Indies Civil Administration alias NICA dengan tujuan berkuasa kembali di Indonesia.

Tak pelak, darah muda Bote mendidih, dan dengan tegas ia memutuskan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di usianya yang masih remaja. Robert Wolter Mongisidi turut dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.

Meski masih belia, keberanian Mongisidi sudah teruji. Beberapa kali ia turut dalam peperangan melawan NICA yang bersenjatakan lebih canggih. Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.

Secara struktural, jabatan Mongisidi di LAPRIS adalah sekretaris. Namun, ia juga berperan sebagai perencana operasi militer dan tak jarang harus menyamar untuk menentukan sasaran (Agussalim, Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, 2016:219). Cukup banyak serangan LAPRIS yang berhasil berkat informasi Mongisidi.

Keberanian Tanpa Tanding

Salah satu sudut Kota Makassar itu masih sepi ketika sebuah jip militer milik Belanda menembus sunyi menuju tangsi. Di depan sana, telah menunggu 4 orang, berpakaian tentara juga yang tidak lain adalah Mongisidi bersama 3 pejuang lainnya yaitu Abdullah Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng Matari.

Jip dihentikan, Mongisidi menodongkan pistol ke arah kepala satu-satunya orang yang ada di mobil itu, seorang kapten rupanya. Seragam dan tanda pangkat sang kapten dilucuti, lalu dikenakan oleh Mongisidi.

Mobil pun diambil-alih, Mongisidi dan seperkawanan menjalankannya ke arah tangsi. Tak dikenali,mereka berhasil masuk ke kandang musuh. Suasana mendadak riuh saat Mongisidi memberondongkan senapannya ke area tangsi. Para penghuninya pun panik, bubar, dan lari menyelamatkan diri ke segala penjuru.

Salah satu aksi heroik Mongisidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan (Syahrir Kila, Kelaskaran 45 di Sulawesi Selatan, 1995:87). Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak-menembak lagi. Monginsidi nyaris saja tertangkap, tapi lolos.

Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kini mengenali sosok Mongisidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya. Tanggal 28 Februari 1947, ia terjaring dan dipenjarakan.

Pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Mongisidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang dimasukan ke dalam roti. Granat pun diledakkan, seisi kompleks penjara kacau-balau. Melalui cerobong asap dapur, Mongisidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri.

Setahun berselang, Mongisidi terkepung di sebuah gang. Ia tidak mengira posisinya diketahui oleh Belanda. Rupanya ada yang berkhianat! Belakangan diketahui bahwa mereka yang menikam dari belakang itu justru tiga kawan Mongisidi yang sebelumnya sama-sama tertangkap, yakni Abdullah Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng Matari (Noldi Mandagie, belanegarari.com, 2009). Mereka menerima uang suap dari Belanda!

Mongisidi sebenarnya punya sebuah granat yang bisa saja ia lemparkan. Tapi, terlalu tinggi risikonya karena gang tempatnya terkepung itu juga menjadi area pemukiman warga. Mongisidi pun akhirnya menyerah demi keselamatan rakyat.

Tangan dan kaki Mongisidi dibelenggu dengan rantai, kemudian dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makassar. Dalam masa itu, Belanda kerap membujuk Mongisidi agar mau bekerjasama, tapi ia selalu tegas menolak. Akhirnya, pada 26 Maret, ia divonis akan menjalani hukuman mati.

Mati dengan Kebanggaan

Pihak Belanda masih sempat menyarankan kepada Mongisidi mengajukan grasi agar mendapatkan pengampunan, setidaknya lolos dari vonis mati, dengan syarat, ia bersedia bekerjasama. Tapi, Mongisidi tetap tidak mau. Ia memang telah dikhianati, namun ia anti menjadi pengkhianat.

“Minta grasi? Itu berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman. Salam pada teman-teman. Saya setia sampai mati!” serunya lantang (Yusuf Bauti, Intisari, Maret 1975).

Selama menunggu maut menjemput di sel tahanan, Mongisidi kian mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melahap ayat-ayat Alkitab. Selain itu, Mongisidi juga sempat mengguratkan sejumlah catatan berisi pesan-pesan perjuangan, bahwa ia pantang menyerah, bahwa ia tak pernah takut maut demi harga diri dan bangsa.

“Saya telah relakan diri sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. Saya percaya penuh bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.”

“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.”

Begitu bunyi sebagian guratan pena bermakna Mongisidi dari dalam penjara yang ditulisnya di lembaran kertas dengan judul “Setia Hingga Terakhir dalam Keyakinan”.

Hari penghakiman datang juga. Senin dini hari, 5 September 1949, tepat hari ini 70 tahun lalu, Mongisidi dibawa ke hadapan regu tembak. Mata dan hatinya terbuka menghadapi eksekusi. Mongisidi ingin menikmati saat-saat terakhirnya dengan kebanggaan, “Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.”

Sesaat sebelum pelatuk ditekan, Mongisidi berucap kepada para algojo di hadapannya, “Laksanakan tugas, saudara! Saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan. Saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.“

"Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku," tambahnya.

Dan, bersamaan dengan tiga kali pekikan merdeka, 8 peluru menembus raganya: 4 di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 di pelipis kiri, dan 1 di tepat pusar. Mongisidi tersimpuh, gugur pada waktu subuh di umur yang juga masih terbilang dini, 24 tahun. Demikian tirto.id


photo : google image