Jakarta, BIZNEWS.ID - “Sejarah mencatat bahwa jejak kejayaan Indonesia sebagai negara maritim lahir dari kerajaan-kerajaan yang menguasai lautan. Lewat bentangan garis laut yang mengelilingi Nusantara, Majapahit, dan Sriwijaya telah mempersatukan ribuan pulau di Indonesia. Kuasailah Lautmu! Jalesveva Jayamahe!”
Ceknricek.com -- Mungkin pekik dan teriakan seperti di ataslah yang disampaikan R.E Martadinata ketika memberikan pendidikan di Sekolah Angkatan Laut. Atau ketika ia menyelenggarakan Special Operation (SO) di Sarangan, Magetan, untuk para calon perwira laut yang akan bertugas memimpin kapal cepat demi menembus blokade Belanda tahun 1948.
Pahlawan Nasional bernama lengkap Raden Eddy Martadinata, lahir tepat pada tanggal hari ini, 29 Maret 1921 di Bandung, Jawa Barat. Ia pernah berjaya di lautan ketika melakukan pelucutan senjata tentara Jepang pasca kemerdekaan lewat “Barisan Banteng Lautnya”. Namun dalam pengabdiannya yang terakhir terhadap negara, nasib tragis merenggut nyawanya ketika heli yang ia tumpangi menabrak tebing batu, di Riung Gunung, Bogor. Ia gugur di udara.
Batas Langit dan Laut; Cakrawala di Mata Martadinata
Lahir dari pasangan Raden Ruchijat Martadinata dengan Raden Soehaeni, Martadinata sejak kecil memang sudah berminat pada sektor kelautan. Ia mengawali bangku sekolah dengan masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Lahat (1927-1934) kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B) Bandung tahun (1934- 1938) dan Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta (1938-1941).
Setelah lulus sekolah AMS, keinginan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya dilakukan dengan masuk pendidikan tinggi Zeevaart Technische School Jakarta pada 1942. Sayangnya Martadinata tidak tamat di sekolah tersebut karena masuknya tentara Jepang yang mengakhiri kolonialisasi Belanda, namun menjadi tonggak awal fasisme di Indonesia.
Tahun 1943, ketika pemerintah pendudukan Jepang membuka kesempatan bagi para pemuda pribumi untuk masuk Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT), Martadinata pun mendaftar dan berhasil menyelesaikan dengan nilai terbaik sehingga ia diangkat menjadi guru SPT Jakarta.
Di sela-sela mengajarkan ilmu kelautan kepada murid-muridnya inilah Martadinata juga sering menanamkan jiwa nasionalisme dengan semboyan “ Kuasailah Lautanmu”. Semboyan tersebut merupakan ungkapan semangat dari sanubari yang paling dalam dari anak pribumi karena selama berabad-abad lautan Indonesia dikuasai oleh bangsa asing.
Masih dalam lingkungan SPT, ia diberi kepercayaan untuk memimpin kapal latih Dai-28 Sakura Maru pada 1 November 1944. Dengan bekal keahliannya dalam ilmu pelayaran, R.E. Martadinata bersama-sama dengan para pemuda lulusan SPT, para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut aktif membantu persiapan kemerdekaan.
Barisan Banteng Laut Melucuti Senjata
Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, R.E. Martadinata memiliki peranan cukup penting. Tahun 1945, ia ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut di Jawa Barat yang menjadi cikal bakal TNI AL. Selain itu, ia merupakan salah satu penggagas dibentuknya Barisan Banteng Laut di Jakarta.
Kelompok yang bermarkas di Penjaringan Jakarta dalam upaya memperjuangkann kemerdekaan tersebut, menjelang proklamasi 17 Agustus 1945 berhasil menghubungi Bung Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyampaikan informasi dalam rangka membantu persiapan proklamasi.
Dalam Barisan Banteng Laut, Martadinata merupakan tokoh sentral yang intensif melakukan komunikasi dengan laskar-laskar pemuda untuk mempersiapkan kemerdekaan, pasca-runtuhnya kedigdayaan kolonial Jepang di Perang Asia Timur-Raya. Bersama para pemuda laut inilah Martadinata berhasil merebut kapal-kapal milik Jepang di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.
Berjaya di Laut, Gugur di Udara
Tahun 1965, seiring dengan meletusnya Gerakan 30 September, Martadinata menyeru kepada mahasiswa dan kalangan santri untuk mengganyang PKI yang diduga merupakan dalang dari peristiwa tersebut. Tindakan itu ternyata tidak berkenan di hati Soekarno. Martadinata "diasingkan" ke luar negeri sebagai Dubes Luar Biasa RI untuk Pakistan.
Tugas itu pun diembannya. Awal Oktober 1966 ia kembali ke Tanah Air. Presiden Soekarno memberinya kenaikan pangkat menjadi laksmana, dalam sebuah peringatan HUT TNI pada 5 Oktober 1966. Selain itu, Martadinata juga diminta untuk mendampingi tiga tamu kenegaraan dari Angkatan Laut Pakistan.
Sehari kemudian, 6 Oktober 1966, Martadinata mengajak tiga tamunya berkunjung ke Puncak, Bogor, dengan menumpang helikopter yang dipiloti oleh Letnan Laut Charles Willy Kairupa. Menjelang kembali ke ibu kota, Martadinata menawarkan diri untuk mengambil-alih kemudi helikopter berjenis Alloute A IV 422 itu.
Malang bagi Martadinata dan tamunya. Dalam perjalanan pulang, cuaca tiba-tiba memburuk. Helikopter yang dikemudikan Martadinata hilang kendali dan menabrak tebing di Riung Gunung. Helikopter itu meledak hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya tewas, termasuk R.E. Martadinata yang saat itu masih berusia 45 tahun.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di Kalibata dengan inspektur upacara Jenderal TNI Soeharto. Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangannya serta mengangkat Laksamana TNI R.E. Martadinata sebagai Pahlawan Nasional melalui Skep Presiden tanggal 7 Oktober 1966. Demikian ceknricek.com
Headline
LEAVE A REPLY