Home Nasional Kisruh PJ Kepala Daerah, Sumarsono Dorong Kemendagri Terbitkan PP Teknis

Kisruh PJ Kepala Daerah, Sumarsono Dorong Kemendagri Terbitkan PP Teknis

0
SHARE
Kisruh PJ Kepala Daerah, Sumarsono Dorong Kemendagri Terbitkan PP Teknis

Jakarta, BIZNEWS.ID - pengangkatan 5 penjabat (PJ) gubernur menjelang pilkada serentak 2024 menuai banyak kontroversi. Pasalnya, status penjabat yang biasanya hanya 3-5 bulan, kini bisa mencapai 2,5 tahun bahkan lebih dari setengah masa jabatan gubernur. Apalagi dalam UU no 10 tahun 2016 Tentang Pemilihan gubernur, bupati, Dan walikota menyebutkan PJ gubernur maksimal hanya bisa dipilih 2 kali satu tahun.


"Lalu, sisa yang 7 bulan akan diisi oleh siapa? Kalau tidak dijembatani dengan peraturan pemerintah yang lebih teknis akan bermasalah" ujar mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Dr. Sumarsono, MDM dalam program Kontroversi mengangkat teman "Tarik Menarik Pejabat Kepala Daerah" yang disiarkan Metro TV, 11 Mei 2022.

 

Menurut Sumarsono, saat ini dalam PJ penjabat kepala daerah pemerintah masih mengacu pada PP No 6 tahun 2005 dan PP 49 tahun 2009 yang sudah kadaluwarsa. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengeluarkan terobosan dengan memberikan panduan terkait mekanisme penujukan PJ. "Kemendagri harus membuat peraturan pelaksana teknisnya agar tidak ada kekosongan pemerintahan meski hanya 1 detik pun. Ini harus dibuat untuk mengantisipasi tahun 2023 dan agar lebih ada kejelasan," ujar ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara ini.


Terkait legitimasi politik terhadap pemilihan PJ gubernur, Sumarsono mengatakan tidak ada masalah dengan legitimasi karena penunjukan PJ dilakukan oleh Presiden yang notabene telah mendapakan legitimasi dari rakyat. "Penunjukan PJ merupakan appointed elected dan bukan political elected yaitu ASN yang ditunjuk menjadi pejabat politik yaitu pendelegasian dari presiden untuk menjadi seorang penjabat gubernur. jadi menurut regulasi sudah sah," tambahnya.


Terhadap kekhawatiran rendahnya dukungan dari DPRD bagi PJ terpilih, Sumarsono mengatakan tidak terlalu khawatir karena berdasar pengalaman ketika menjabat sebagai PJ Gubernur Sulawesi Utara, Plt DKI Jakarta dan PJ Gubernur Sulawesi Selatan, komunikasi menjadi kunci utama mendapat dukungan dari wakil rakyat di daerah. "Tiga hari pertama saya menjabat sebagai PJ, saya melakukan komunikasi dan koordinasi dengan DPRD, Forkominda dan melakukan kunjungan ke masyarakat untuk menjelaskan keberadaan saya sebagai PJ," bebernya.

 

Menurutnya, seorang PJ harus memiliki menajemen interaktif dan kemampuan membaca konstelasi politik di daerah. "DPRD ibarat istri bagi seorang gubernur, jadi harus rukun. itu kunci utamanya," tambah Sumarsono.


Terkait kekhawatiran dimanfaatkanya PJ untuk kepentingan pilkda 2024, Sumarsono tidak menampik kemungkinan tersebut. "Nawaitu awalnya tidak demikian, namun tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi karena politik selalu berubah. Kuncinya ada pada kontrol sosial termasuk media, netralitas politik dan menjaga jarak dengan partai politk dan kontestan pemilu, tandasnya.


Pada kesempatan yang sama Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Bima Arya Sugiarto mengatakan penjabat kepala daerah setidaknya harus memiliki beberapa  kriteria. "Tiga isu penting penjabat gubernur adalah legitimasi. Semakin rendah legitimasi maka semakin sulit mendapat dukungan dewan. Yang kedua adalah pemahaman politik pemerintahan dan yang ketiga adalah skill politik untuk memobilisasi berbagai kekuatan daerah termasuk tokoh masyarakat. Ketiganya sangat penting untuk menentukan jalannya pemerintahan," ujar politisi Partai Amanat Nasional ini.


Untuk itu, dalam penentuan penjabat kepala daerah ia menyarankan agar pemerintah benar-benar memperhatikan legitimasi politik. "Dalam penentuannya harus dilakukan seleksi yang transparan dengan memperhitungkan aspirasi daerah, DPRD dan ASN. Selain itu harus ada pengawasan yang ketat saat menjabat," tambah walikota Bogor ini.


Lebih lanjut ia mengatakan APEKSI mengusulkan kepada pemerintah untuk mempriortaskan sekretaris daerah (sekda) menjadi salah satu calon PJ di daerah. "Pemerintah daerah seharusnya bisa mengusulkan beberapa nama kemudian bisa dikritisi, dilakukan public hearing dan proses lainnya untuk memastikan PJ dapat menjalankan tugas mengelola APBD, melakasanakan RPJMD dan tugas lainnya. Dengan tanggung jawab yang sebesar itu, masa tidak ada konsultasi kepada publik?, ucap Bima Arya heran.


Diakhir diskusi ia mengusulkan dibentuk sebuah panitia seleksi (pansel) sehingga dalam proses seleksinya publik bisa mengkritisi calon PJ nya, proses dilakukan secara transparan dan partisipatif serta bisa meminimalisir moral hazard. (ATS)