Jakarta, BIZNEWS.ID - Selama ini kita kenal luas bahwa untuk menilai keampuhan suatu vaksin, termasuk vaksin COVID-19, digunakan dan dibandingkan angka efikasinya yang didapat dari uji klinik fase tiga. Sebenarnya ada juga cara lain untuk menilai apakah vaksin itu bagus atau tidak, yaitu dengan menilai imunogenesitasnya, kendati hal ini memang lebih kompleks.
Efikasi pada dasarnya menilai seberapa besar vaksin dapat mencegah terjadinya penyakit dengan membandingkan jumlah orang yang tertular pada kelompok yang mendapat vaksin dibandingkan dengan kelompok yang dapat suntikan plasebo. Jadi kalau efikasi vaksin COVID-19 angkanya 90% misalnya, maka angka itu didapat dengan membandingkan angka risiko relatif (RR-relative risk) menjadi sakit COVID-19 pada mereka yang mendapat suntikan plasebo dibandingkan dengan yang dapat suntikan vaksin, sehingga interpertasinya memang relatif lebih mudah dipahami.
Selain membandingkan jumlah yang tertular maka dapat juga dibandingkan berapa yang penyakitnya jadi berat, berapa yang harus dirawat di rumah sakit dan atau berapa yang meninggal antara mereka yang dapat suntikan vaksin dibandingkan dengan yang dapat suntikan plasebo. Karena membandingkan jumlah orang yang dihubungkan dengan keadaan yang jelas (tertular, atau masuk RS, atau meninggal) maka angkanya akan lebih mudah didapat dan dilaporkan, juga lebih mudah dimengerti masyarakat luas.
Di pihak lain, penilaian imunogenesitas didasarkan pada jenis respons imun yang dihasilkan vaksin itu pada tubuh seseorang. Cara penilaian dan perhitungannya cukup kompleks, terlebih pada virus SARS-CoV-2 yang memang merupakan infeksi yang baru mulai ditemukan pada 31 Desember 2019. Sedikitnya ada dua tantangan yang dihadapi para pakar dalam menilai imunogenesitas vaksin.
Tantangan yang dihadapi pakar
Pertama adalah bagaimana menentukan kriteria respons imun yang dihasilkan oleh vaksin dianggap “berhasil baik”. Idealnya hal ini didapat dengan membandingkan respon imun akibat vaksin dibandingkan dengan respon imun yang timbul secara alamiah.
Sulitnya, karena COVID-19 baru sekitar satu tahun maka sampai sekarang para ahli masih menganalisa bagaimana sebenarnya efek respons imun yang terjadi secara alamiah, sehingga angka pembanding memang belun ada secara pasti. Karena belum ada nilai pembanding yang sahih maka interpertasi hasil tentang respon imunnya terbentuk memang dapat saja menjadi ajang perbedaan pendapat para pakar.
Tantangan kedua, belum tersedianya standarisasi global secara baku tentang variasi metodologi pemeriksaan respons imun ini. Misalnya saja, ada beberapa teknik immunoassay yang mungkin digunakan untuk menilai satu saja bentuk respons imun, seperti contohnya antibodi netralisasi. Juga, mungkin ada perbedaan dalam reagen yang dipakai dan atau proses skrining yang dilakukan. Karena berbagai variasi metodologi di berbagai laboratorium di dunia maka memang belum terlalu mudah membandingkan data imunogenesitas dari berbagai vaksin COVID-19 yang ada.
Di kepustakaan memang ada laporan perbandingan imunogenesitas beberapa jenis vaksin, misalnya antara BNT162b1 dan BNT162b2 yang dipublikasi di New England Journal of Medicine 17 Desember 2020, atau pada vaksin ChAdOx1 nCoV-19 yang dibandingkan pada usia muda dan tua sebagaimana dilkaporkan pada jurnal Lancet 18 November 2020, tapi semuanya memang sudah dirancang sejak awal dengan metodologi dan teknik serta reagen yang sama, sehingga hasilnya memang dapat diperbandingkan, semacam “apple to apple”. Hal ini tidak dapat diterapkan pada uji klinik vaksin COVID-19 yang berbeda yang dilakukan dengan metodologi masing-masing yang mungkin tidak sama.
Untuk menilai imunogenesitas suatu vaksin maka para penelitian biasanya menilai dua hal, yaitu antibodi dan sel T. Secara umum antibodi dapat dinilai dalam aspeknya untuk mengikat (“binding”) dan kegiatan netralisasi (“neutralizing”). Jadi ada yang bersifat mengikat (“binding”) untuk membuat tanda (“marking”) sehingga dapat dihancurkan oleh mekanisme imun yang ada, dan ada pula yang langsung bersifat netralisasi yang langsung menghambat kemungkinan virus menginfeksi sel di tubuh manusia.
Untuk netralisasi ini seringkali digunakan kriteria berapa konsentrasi untuk dapat menetralisasi 50%, 80% atau 90% dari virus yang ada. Di pihak lain, sel T dapat mengaktifkan respon imun melalui berbagai cara. Ada beberapa jenis sel T yang berhubungan dengan COVID-19, antara lain sel T “helper” dan sel T sitotoksik. Sel T “helper” akan memproduksi semacam signal yang akan merangsang sistem imun, sementara sel T sitotoksik memang langsung mengeliminasi infeksi yang ada.
Pemahaman yang lengkap dan rinci memang amat diperlukan dalam menilai kinerja vaksin COVID-19, suatu modalitas penting dalam penanggulangan pandemi sekarang ini. Demikian liputan6.com
Penulis adalah Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
Headline
LEAVE A REPLY