Home Nasional Wapres Maruf: Relaksasi sebagai Improvisasi

Wapres Maruf: Relaksasi sebagai Improvisasi

0
SHARE
Wapres Maruf: Relaksasi sebagai Improvisasi

Jakarta, BIZNEWS.ID - Hari Raya Idulfitri tinggal beberapa jam lagi. Seluruh umat Islam bergembira menyambut hari kemenangan setelah satu bulan berpuasa. Namun, perayaan Idulfitri kali ini akan sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tak lain karena wabah virus korona (covid-19) yang belum mereda.

Meski wabah ini menunjukkan adanya tanda-tanda pelambatan, umat Islam di Tanah Air kecil kemungkinan bisa merayakan dengan meriah dan bisa bersilaturahmi dengan kerabat di tengah kekhawatiran gelombang infeksi korona.

Newsmaker Medcom.id berkesempatan mewawancarai Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin beberapa hari lalu. Ma’ruf berbicara mengenai persiapan Lebaran, data bantuan sosial (bansos) yang tumpang tindih, mudik dan pulang kampung, hingga kontroversi kartu prakerja. Berikut wawancara khusus Newsmaker Medcom.id dengan Wapres Ma’ruf Amin:

Situasi pandemi belum sepenuhnya bisa ditaklukkan, bagaimana pendapat Wapres?

Saya kira pemerintah sudah melakukan upaya-upaya untuk menghadapi atau istilahnya menghentikan perkembangan covid-19. Baik melalui penanganan covid-19 itu sendiri maupun penanganan pada dampaknya.

Untuk (penanganan) covid-19, pemerintah melakukan upaya-upaya tes masif, tes yang dilakukan terus hingga mengetahui jumlah sesungguhnya yang terpapar. Kedua adalah upaya pelayanan. Intesifikasi pelayanan kesehatan, isolasi, dan pengobatannya. Dan itu dampaknya kita lihat dari yang sembuh-sembuh. Kemudian juga menurunnya korban yang meninggal. Tes masif sudah menjangkau hampir mencapai 10.000 orang per hari sehingga makin banyak yang diketahui.

Ketiga, untuk menghentikan wabah ini adalah dengan pembatasan melalui aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Dampaknya sudah ada yang mulai terkendali. Artinya kasus tidak naik tapi ada juga yang masih belum terkendali. Masih ada pelonjakan-pelonjakan, utamanya (disebabkan) itu karena ada transmisi lokal. Kalau sebelumnya itu dari daerah ke daerah, sekarang di daerah itu terjadi transmisi. Nah, ini yang belum terkendali. Sekarang kita mencoba untuk mengendalikan.

Aspek dampaknya ada dua, yaitu aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial adalah melalui sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan terutama kartu prakerja, melalui bansos dan padat karya yang dibuat di daerah-daerah sehingga banyak yang bisa bekerja di sana. Dan dampak ekonominya melalui stimulan-stimulan, relaksasi-relaksasi, pembebasan bunga, penundaan pengembalian pinjaman pokoknya. Terutama untuk UMK (usaha mikro kecil), supaya bisa bertahan untuk menghadapi masa pandemi.

Kemarin ada wacana pelonggaran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengatakan supaya bisa berdamai dengan situasi seperti sekarang ini. Itu seperti apa?

Kan ekonomi sangat terdampak dan luas sekali. PHK (pemutusan hubungan kerja) juga begitu besar, pertumbuhan ekonomi kita di kuartal pertama sudah turun dan hanya sampai 2,97 persen. Kita juga belum tahu nanti pertumbuhan seperti apa. Makanya kita ingin bagaimana menahan, tentu harus ada yang digerakkan. Makanya ada ide relaksasi yang muncul. Tapi tentu agar ide relaksasi tidak merusak apa yang kita sudah lakukan. Saya menyebutnya improvisasi. Ini bisa dilakukan kalau sudah terkendali. Bukan hilang atau habis. Terkendali artinya kasus covid-19 tidak naik, tapi pelan-pelan turun sehingga kebijakan relaksasi itu tidak membahayakan.

Makanya Presiden menunda supaya relaksasi dilakukan setelah Lebaran. Diperkirakan dalam setengah bulan (ke depan). Setengah bulan ini diupayakan supaya pandemi ini terkendali sehingga tidak terjadi lonjakan-lonjakan. Kalau itu tidak terkendali, kita balik ke awal lagi kemudian memperpanjang musim pandemi. Yang sudah terkendali diperkuat jangan sampai turun dan yang belum diupayakan terkendali. Baru kita masuk ke langkah relaksasi dan improvisasi. Menurut pendapat saya begitu.

Ada pembagian tugas antara Presiden dan Wapres? Presiden menugaskan Bapak untuk mengurusi kehidupan agama?

Sebenarnya tidak ada pembagian tugas secara khusus. Penanganan covid-19 ini dilakukan secara terpadu, terkoordinasi, dan terpusat. Penanganan ini langsung di bawah Presiden dan dibantu oleh Wapres dan semua menteri. Secara teknis operasional dilakukan oleh Gugus Tugas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Dalam hal-hal strategis, langkah-langkah diputuskan dalam sidang kabinet. Ini menjadi satu kesatuan dan terorganisasi.

Seperti saya katakan ada penanganan covid dengan berbagai langkah dan ada upaya penanganan dampaknya. Ini terpusat dan terus dilakukan monitoring dan evaluasi. Tetapi memang ada masalah-masalah yang khusus berkaitan dengan ajaran-ajaran keagamaan yang sangat berkait dengan penanganan covid-19 ini. Misalnya soal ibadah, salat berjemaah seperti salat Jumat, Tarawih, dan juga (salat) Idulfitri yang banyak melibatkan orang.

Kemudian ada juga penanganan jenazah. Dalam situasi seperti ini tidak bisa dilakukan seperti biasa atau namanya tazyinul janaiz (penanganan jenazah). Itu harus ada panduan dan fatwanya. Dalam hal-hal ini saya koordinasi dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) supaya kegiatan peribadatan dan keagamaan itu tidak menimbulkan permasalahan dan kesulitan dalam menangani covid-19 sehingga ini bisa terkoordinasi dan disinkronkan. Agama itu tidak menyulitkan, tapi mempemudah. Bagaimana ibadah selama situasi normal dan ibadah dalam situasi tidak normal seperti dalam situasi kritis dan bahaya. Itu semua ada (pedomannya). Tapi perlu dirumuskan sehingga masyarakat paham. Ini saya melakukan dengan MUI dan ormas-ormas Islam yang lain.

Sejak awal, untuk penanganan covid-19, pusat dan daerah sering berbeda. Antarkementerian sering ada keputusan berbeda-beda. Sebetulnya seperti apa koordinasinya? Sudah beres apa belum?

Iya memang ini soal penafsiran-penafsiran terkait PSBB. Ada pengecualian, yang bagaimana? Ada yang memunculkan pendapatnya lalu dibereskan di sidang kabinet, sehingga semuanya sama. Begitu juga dalam penanganan-penanganan lainnya. Kita ingin dalam mengimplementasikan dan menafsirkan sebuah aturan tidak ada perbedaan. Bahwa sebelumnya ada (pemikiran berbeda), boleh. Lalu dibawa ke ratas (rapat terbatas), diselesaikan. Yang benar itu yang disepakati. Sebelum diputuskan ada ide-ide, bisa muncul dari pejabat pemerintah daerah dan lain-lain tapi belum jadi keputusan pemerintah.

Pada akhirnya semua bisa disatukan dan disamakan melalui rapat-rapat. Sehingga koordinasi-koordinasi terus dilakukan. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan di daerah antara pusat dan daerah sama. Dilakukan rapat koordinasi yang dihadiri Presiden dan para gubernur, wapres, dan para menteri untuk melakukan sinkronisasi. Sekarang sudah mulai.

Itu juga dilakukan dalam upaya kita melakukan tes masif. Koordinasi masalah penanganan, pelayanan, bagaimana soal isolasi, pembatasan-pembatasan di daerah, itu jangan terlalu maju dan terlalu kendur. Jangan sampai tidak ada pembatasan, orang bisa ke mana-mana, tapi juga tidak boleh terlalu maju, lalu menghalangi logistik, hal berkaitan ekonomi dan membawa barang-barang untuk distribusi. Itu jangan sampai terhalang juga. Karena kebijakan-kebijakan pembatasan di daerah juga dikoordinasikan.

Jadi itu adalah ide-ide awal yang belum sempat dikoordinasikan lalu dimunculkan ke publik saja? Apakah mereka yang memunculkan ke publik karena belum dikoordinasikan sudah diberi teguran?

Iya, diluruskan saja. Diluruskan mana yang harus disampaikan hasil kesepakatan rapat terkait kebijakan-kebijakan terbaik. Tidak pakai menegur, tapi meluruskan. Seperti mudik, awal kan diimbau, lalu jadi polemik. Akhirnya keputusan terakhir dilarang karena bahayanya besar sekali. Akhirnya semua satu bahasa.

Termasuk soal apa bedanya mudik atau pulang kampung dan seterusnya?


Iya, intinya pergerakannya jangan sampai menimbulkan polemik. Terpenting esensinya bukan pada istilah. Istilahnya boleh ‘mudik’ atau ‘pulang kampung’. Bagi saya bukan suatu hal yang perlu dipertentangkan.

Pembagian bantuan sosial menuai kritik dari banyak pihak. Pangkalnya karut-marutnya persoalaan data?

Sebenarnya kalau yang sudah existing, yang regular, itu sudah ada. Sebesar 25 persen sudah ada yang menerima bantuan langsung tunai (BLT), walaupun ada perubahan-perubahan di bawah. Yang tadinya jadi penerima bansos lalu berubah statusnya pada masa sekarang kehidupan (statusnya) lebih bagus. Ini belum divalidasi. Artinya masih butuh divalidasi. Yang paling sulit (adalah) yang miskin baru (misbar). Ini datanya belum ada. Maka antara (pemerintah) pusat dan pemda melakukan koordinasi-koordinasi, karena ini baru belum ada data yang valid. Itulah yang timbul. Sepertinya salah sasaran atau tidak tepat.

Bansos itu ada yang dari pusat seperti dari Kemensos (Kementerian Sosial) atau Kemendes (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi). Antara Kemensos dan Kemendes harus dikoordinasikan karena masing-masing punya data sendiri-sendiri. Nah, ini perlu dikoordinasikan.

Ada juga bansos daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Seperti contoh di DKI Jakarta menurut hitungan ada 3,7 juta (warga yang membutuhkan bansos). Ini data 3,7 (juta) itu datanya banyak yang baru. Ini ada data dari DKI ada data dari pusat. Pembagiannya DKI 1,1 (juta) dan yang dari pusat 2,6 (juta). Total 3,7 juta. Ketika diterapkan di lapangan tentu ada saja yang belum sinkron. Karena data misbar itu baru. Kalau ini udah beres, sinkronisasi selesai, data ini menjadi valid.

Ini menjadi semacam momentum untuk melakukan perbaikan-perbaikan pendataan. Iya reformasi sosiallah sehingga kita punya data yang valid untuk ke depannya. Akibat adanya pandemi ini warga miskin itu akan bertambah. Tidak seperti jumlah yang lama. Ini sedang kita validasi. Ketika recovery juga diketahui sebenarnya jumlah warga miskin kita berapa.

Nanti penanganan pemulihannya tentu tidak seperti sebelum adanya pandemi karena jumlahnya berbeda. Jadi, memang ini pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan karena terjadinya pandemi, banyak warga miskin baru, kemudin miskin baru itu jadi jumlah yang nanti akan diwariskan pada langkah-langkah berikutnya dalam rangka recovery tersebut.

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal data kemiskinan hanya 10 persen daerah yang tertib memperbarui data itu? Bila ini momentum memperbaiki data, lalu dari mana memulainya?

Iya mulai dari mencocok-cocokkan antara data pusat dan daerah. Terus di lapangannya seperti apa. Nanti yang menjadi dasar itu realitas di lapangan. Setelah dicoba data disinkronkan di lapangan, kadang-kadang juga belum sinkron. Data provinsi dan pusat sudah sinkron, tapi ketika di lapangan ternyata belum sinkron. Mungkin pendataan di bawah ada yang kurang tepat, ada juga kepentingan-kepentingan di dalamnya.

Ketika sudah sinkron yang pusat dengan daerah, kemudian lapangan, nanti jadi data standar yang kita jadikan ukuran untuk melakukan beberapa bulan ke depan. Ini yang kita sebutkan tiga bulan sampai enam bulan. Ini nanti datanya semakin baik. Kita akui karena situasinya yang mendadak dan tidak dipersiapkan, maka ketika terjadi pandemi kita belum punya data. Data yang dulu itu 25 persen sekarang bertambah menjadi 40 persen. Ini besar sekali.

Seberapa cepat pemerintah mampu menyelesaikan sinkronisasi data?

Saya berharap tidak terlalu lama. Ketika sinkronisasi pusat dan daerah, kemudian implementasi di lapangan, terjadi ketidakcocokan lalu divalidasi kembali, sesudah itu saya harap datanya sudah akurat atau valid.

Jadi, sekarang bansos turunkan saja dulu sebab rakyat menunggu. Meskipun datanya belum beres karena tidak mungkin rakyat menunggu hingga data beres. Setelah diturunkan nanti bakal ada reaksi, warga ini belum dapat, ini belum. Baru kemudian dilengkapi. Jadi, kita tidak menunggu data valid dulu, tapi diturunkan sambil validasi di lapangan. Kalau enggak nanti pembagian bansos ini terhambat. Sementara pakai data yang ada dulu.

Terkait kartu prakerja, ada yang menyebut bahwa itu praktik mengambil uang secara terselubung? Klarifikasi dari pemerintah seperti apa?

Kartu prakerja ini program pemerintah untuk 2020. Rencananya itu kira-kira 10 juta kartu prakerja. Kemudian PMO (project management office)-nya sudah ada, panduannya sudah ada. Itu program muncul belum memperhatikan pandemi. Artinya, itu program normal. Sekarang ditambah jadi 20 juta (penerima). Bentuk dari kartu prakerja yang sekarang itu jadinya kombinasi antara bansos dan pendidikan atau pelatihan.

Awalnya semata-mata murni pelatihan. Sekarang ini perpaduan antara bansos dan pelatihan. Karena ini baru dan mendadak tentu masih banyak hal yang belum matang persiapannya. Tapi sudah bisa dikatakan baik. Karena itu kita akan perbaiki yang belum baik. Misalnya pendaftarnya benar enggak adalah yang terkena PHK? Betulkah pelatihan yang memang dibutuhkan masyarakat? Model memilih adalah model yang coba ditawarkan market.

Kita mengukur seberapa efektif sistem pelatihan melalui online ini. Ini sesuatu yang baru, kita mulai dalam situasi pandemi. Tentu saja hal ini bisa dimaklumi, yang penting kita mulai dulu. Sambil perbaiki yang belum baik. Itu memang melibatkan lembaga pelatihan, platform, startup-startup, lembaga pelatihan, lalu kemudian lembaga untuk bayar. Ini harus disinkronkan karena mendadak sekali situasi pandemi masuk.

Jadi program ini dijalankan setelah uji coba dengan analisis, dengan satu catatan akan terus diperbaiki. Jangan takut salah, kalau tidak dicoba kita tak tahu di mana salahnya. Kalau dimulai akan tahu, kritik itu nanti memberi tahu mana yang harus diperbaiki. Klarifikasi itu yang salah paham saja, kalau yang salah paham ya diluruskan salah pahamnya (dibenarkan).

Yang menganggap di situ ada permainan, ya, itu diklarifikasi enggak ada itu permainan. Bahwa ini memang melalui seleksi-seleksi yang tepat. Misalnya ada pelatihan kurang memenuhi, ya, itu diperbaiki. Jadi ada memang yang harus diklarifikasi ada pula yang harus diperbaiki. Kritik-kritik itu memang perlu ada sehingga ada tindak lanjut untuk memperbaiki. Dua hal masukan-masukan itu. Nah, yang sifatnya karena kesalahpahaman ya diklarifikasi. Sementara kritik-kritik bagus yang membawa perbaikan tentu diterima untuk menjadi perbaikan-perbaikan ke depan.

Kapan kira-kira prediksi pandemi di Indonesia akan berakhir?

Soal prediksi banyak sekali, tergantung dari berbagai penerapan. Ada yang prediksi Juni selesai tapi ada juga yang memperkirakan sampai September. Ada yang bilang hingga Oktober. Tergantung bagaimana kita mengendalikan pandemi ini. Penerapan PSBB dan kepatuhan masyarakat adalah hal yang harus dijalankan. Kalau masyarakat disiplin menjalankan PSBB, penerapannya tepat, dan sampai vaksin ditemukan mungkin bisa lebih cepat lagi. Tapi kalau ini belum, ya, bisa lama.

Sekarang ada daerah yang terkendali tapi masih ada juga yang belum terkendali. Bila ini mengarah kepada standar pengendalian, itu sebenarnya tinggal mempercepat prosesnya. Jadi, bagaimana pengendalian ini bisa kita lakukan kemudian setelah itu melakukan percepatan untuk menghentikan pandemi.

Skenario pemerintah sendiri seperti apa?

Kita akan melakukan upaya pengendalian, pelayanan, kemudian vaksin, alat diproduksi dan tes masif. Ini semua yang dilakukan dalam upaya itu. Pembatasan-pembatasan dan pencegahan terjadinya penularan-penularan melalui transisi lokal. Kita juga mewaspadai kemungkinan sumber penularan baru, seperti PMI (pekerja migran Indonesia) akan pulang ke Indonesia. Juga Jamaah Tabligh dari India, kemudian overstay dari Saudi Arabia, Uni Emirat Arab dari negara yang ada WNI-nya. Seperti di Malaysia yang sudah harus pulang karena di sana musim pandemi. Ini adalah sumber penularan baru yang harus kita antisipasi sejak kedatangan mereka itu. Termasuk nanti setelah Lebaran, kembalinya orang mudik. Jangan sampai kemarin membawa ke daerah nanti malah membawa ke Jakarta lagi. Khawatir terjadi arus balik wabah. Semua sedang diantisipasi.

Kali ini Idulfitri dengan cara berbeda, kira-kira apa hikmah yang bisa dipetik di balik pandemi?

Pertama tentu tergantung pada situasi ketika hari raya itu terjadi. Kalau (larangan) mudik sudah kita lakukan. Tidak boleh karena berbahaya. Kemudian di hari raya itu ada dua kemungkinan, pertama salat Id-nya sendiri, kedua gerakan silaturahminya. Berlebaran itu gerakan silaturahminya. Kalau situasinya masih tetap begini maka tentu harus dicegah.

Kepada umat Islam dan tokoh-tokoh agama Islam semua harus satu arah bahwa situasi ini belum membaik betul, masih ada bahaya yang bisa terjadi. Maka ini harus difatwakan, disampaikan kepada mereka. Dan mereka harus tahu bahwa Lebaran tahun ini adalah Lebaran dalam situasi bahaya, karena itu kita harus memabatasi diri. Silaturahmi itu bisa dilakukan melalui media handphone, WA (WhatsApp) grup, dan silaturahminya bisa ditunda karena nanti ada pengganti libur panjang pada Iduladha.

Mudah-mudahan Iduladha tidak ada pandemi dan masyarakat bisa pulang. Sekarang silaturahminya bisa lewat media online (daring). Melalui itu esensi silaturahminya tidak berkurang. Hanya syiarnya yang berkurang dan itu bukan yang utama. Kita harus tahu bahwa Islam sudah memberikan jalan. Kalau situasi normal kayak begitu, kalau tidak normal (sulit/musyakka) itu ada namanya proses taisir (pemudahan-pemudahan).

Kalau memaksa, itu bukan agama, itu namanya nafsu. Wong situasinya bahaya kok maksa. Ya, itu nafsu namanya. Agama itu tidak mengajarkan hal itu. Melainkan mengajarkan kemudahan. Tapi, kalau nanti kesulitan mau ditabrak, itu bukan agama lagi melainkan nafsu. Itu sebagai bimbingan kepada masyarakat.

Pemerintah juga harus melihat dan menentukan situasi ini dalam keadaan bahaya (pandemi), jangan sampai kalau pemerintah membuka bahwa ini kedaruratannya sudah kurang alias lemah itu pasti masyarakat mengatakan tidak alasan untuk melarang. Kira-kira begitu.

Photo : google image