Jakarta, BIZNEWS.ID - Dengan langkah tergopoh-gopoh, Wage Rudolf Supratman bergegas masuk ke dalam gedung Sin Po di Jalan Asemka 29, Batavia. Ia hendak menemui Ang Yan Goan, direktur sekaligus redaktur Sin Po, surat kabar yang dikelola orang-orang Tionghoa peranakan dengan tiras yang sangat besar pada masanya. Supratman memang biasa mendiskusikan pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan para wartawan Sin Po.
Sejak September 1925, Supratman dikenal sebagai salah satu koresponden aktif untuk Sin Po. Ia mengenal baik seluruh karyawan koran itu dan Ang Yan Goan menilai Supratman sebagai sosok nasionalis sejati, pecinta seni, dan begitu menyenangi pekerjaan pers. Supratman biasa datang tengah hari ke Asemka menjelang deadline, sehingga kerap makan siang bersama para staf media tersebut.
Namun khusus hari itu, Supratman datang ke kantor Sin Po lengkap dengan biola kesayangannya. Di hadapan Ang Yan Goan, ia menunjukkan syair lagu berjudul "Indonesia" yang pertama kali digubah di Bandung. Supratman kemudian menyanyikan syair tersebut dengan lembut, lengkap dengan iringan biola.
Di dalam memoarnya, Ang Yan Goan menuturkan pertemuan bersejarah dengan Supratman itu. Ia terkesima dengan alunan nada yang keluar dari biola Supratman, seraya memuji kualitas syair dan musik yang dimainkan. Sekalipun tidak bercorak langgam Indonesia, Ang Yan Goan menganggap syairnya begitu menggugah hati, terutama pada bait "Marilah kita berseru, Indonesia bersatu."
Setelahnya, Supratman menanyakan kepada Ang Yan Goan mengenai kemungkinan Sin Po memuat syair tersebut. Ang Yan Goan tidak keberatan, mengingat hal itu tentu akan bermanfaat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak awal kemunculannya pada 1 Oktober 1910, Sin Po memang sudah dikenal sebagai salah satu pendukung kemerdekaan Indonesia.
Menurut Sin Po, baik orang Tionghoa dan orang Indonesia memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama mengalami perlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan sama-sama dianggap sebagai bangsa yang ditaklukkan. Sin Po berkeyakinan, pemerintahan sendiri akan menghapuskan ketidakadilan dan diskriminasi, hingga menuju ke sasaran akhir, yakni kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, Sin Po menganggap baik orang Tionghoa maupun orang Indonesia seharusnya bisa saling bersimpati dan tolong-menolong, berdasarkan persamaan nasib sebagai bangsa terjajah.
Setelah melewati rapat redaksi, disepakati bahwa syair tersebut dimuat di Sin Po Wekelijksche Editie (Sin Po Edisi Mingguan) pada 10 November 1928. Syair itu pertama kali muncul dengan judul "Indonesia", dan di dalamnya tidak menyebut kata "merdeka" sama sekali. Supratman masih menggunakan diksi "mulia".
Sin Po pun menjadi media pertama yang memuat syair tersebut, lengkap dengan partiturnya. Hal itu sontak mengejutkan sebagian pembaca Sin Po. Mereka bertanya-tanya mengapa syair "Indonesia" tidak dimuat di koran terbitan kaum bumiputra terlebih dulu.
Supratman ternyata sempat mengajukannya ke beberapa koran terbitan Indonesia untuk dimuat, tetapi tidak ada satupun yang bersedia. Mereka khawatir terhadap ancaman beredel dari pemerintah kolonial. Apalagi Belanda sudah pernah kecolongan ketika Supratman memainkan syair tersebut untuk pertama kalinya dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Sugondo Djojopuspito, pimpinan kongres tersebut, adalah orang yang meyakinkan Supratman untuk memainkannya.
Disita Polisi Belanda
Ide awal Supratman untuk menggubah "Indonesia Raya" berawal dari tantangan yang ditulis majalah Timboel (diterbitkan di Solo) yang berbunyi: “Alangkah baeknya kaloe ada salah saorang dari pemoeda Indonesia jang bisa tjiptaken lagoe kebangsaan Indonesia, sebab laen-laen bangsa semoea telah memiliki lagoe kebangsaannja masing-masing!”
Merasa tertantang, Supratman pun mulai menyusun syair lagu tersebut yang berhasil ia selesaikan pada 1924 dan kemudian ia beri judul "Indonesia".
Pada 1929, Supratman mengganti judul syair tersebut menjadi "Indonesia Raja" dan menyematkan frasa "Lagu Kebangsaan Indonesia" di bawahnya. Dengan bantuan Sin Po, Supratman kemudian memperbanyak dan mendistribusikannya dalam bentuk selebaran. Hanya dalam waktu singkat, syair itu telah menyebar ke seluruh penjuru Batavia.
Dua tahun sebelumnya, Supratman menghubungi beberapa perusahaan rekaman di Batavia untuk merekam lagu tersebut. Ia menghubungi Odeon dan kemudian ditolak. Selanjutnya, Supratman menghubungi Tio Tek Hong, untuk kemudian ditolak kembali. Kedua perusahaan tersebut memberikan alasan yang sama, yaitu khawatir akan berurusan dengan polisi Belanda.
Tidak patah arang, Supratman pun kemudian menawarkan ide tersebut ke Yo Kim Tjan, pemilik Roxi Cinema House dan Lido di Tanjung Priok yang memproduksi dan mendistribusikan film serta rekaman melalui Toko Populair. Kebetulan saat itu Supratman juga bekerja sebagai pemain biola paruh waktu untuk Yo Kim Tjan di Orkes Populair.
Yo Kim Tjan menyetujui rencana Supratman dan bahkan menyarankan dua rekaman yang berbeda, yaitu "Indonesia Raya" versi asli yang dinyanyikan Supratman dan Indonesia Raya versi keroncong. Proses rekaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi di kediaman Yo Kim Tjan di Jalan Gunung Sahari 37, Batavia dengan bantuan seorang ahli dari Jerman.
Master versi keroncong kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak, sebelum dikirim kembali ke Batavia. Supratman bahkan memberikan hak kepada Yo Kim Tjan untuk memperbanyak dan menjual lagu tersebut melalui tokonya.
Namun polisi Belanda mengetahuinya dan segera bertindak cepat dengan menyita seluruh rekaman, termasuk rekaman yang dikirimkan dari Inggris ke Batavia. Sementara master dari versi keroncong kemungkinan besar juga dihancurkan pemerintah kolonial.
Diklaim Pemerintah Republik
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Supratman meminta kepada Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan satu-satunya master yang tertinggal. Semasa Revolusi, putri tertua Yo Kim Tjan, Kartika Kertayasa (Yo Hoey Gwat), berhasil menyelamatkan rekaman tersebut dalam proses evakuasi menuju Karawang, Tasikmalaya, Garut, dan beberapa kota lainnya.
Pada 1947, Yo Kim Tjan beserta keluarganya mengunjungi Belanda. Ketika makan di salah satu restoran Indonesia di Amsterdam, Yo Kim Tjan terkejut mendengar "Indonesia Raya" versi keroncong dimainkan sang pemilik restoran. Ia pun berupaya meyakinkan sang pemilik restoran bahwa lagu yang dimainkan merupakan hasil rekamannya. Yo Kim Tjan bahkan menunjukkan paspornya sebagai bukti. Pada akhirnya, Yo Kim Tjan harus membayar 15 gulden untuk mendapatkan rekaman yang ia produksi sendiri.
Setelah pengakuan kedaulatan, Yo Kim Tjan berencana memperbanyak rekaman tersebut pada 1953 agar "Indonesia Raya" bisa lebih dikenal khalayak luas. Ia pun berusaha mendekati Maladi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Djawatan Radio Republik Indonesia, untuk meminta izin memperbanyak rekaman tersebut. Namun Maladi menolaknya.
Dalam wawancara terakhir Udaya Halim, seorang budayawan Tionghoa, dengan Kartika Kertayasa, disebutkan bagaimana pada 1957 Kusbini, seorang pengarang lagu terkemuka, mendekati Yo Kim Tjan dan menjanjikannya untuk dapat lisensi memperbanyak rekaman "Indonesia Raya". Namun Kusbini kemudian menyerahkan rekaman tersebut ke pemerintah dan pada 1958 Yo Kim Tjan menerima surat yang menyatakan seolah-olah ia menyerahkan rekaman tersebut secara sukarela.
Maka terhitung sejak 1958, pemerintah Indonesia menjadi satu-satunya pihak yang memegang hak penuh untuk memperbanyak dan mendistribusikan lagu tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, stanza pertama "Indonesia Raya" digunakan sebagai lirik resmi dari lagu nasional Indonesia, yang masih digunakan hingga detik ini.
Penulis: Ravando Lie
Ravando Lie adalah kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, Australia. Ia menekuni studi tentang peranakan Tionghoa di Indonesia dan menulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017). Demikian tirto.id
Headline
LEAVE A REPLY