Jakarta, BIZNEWS.ID - Masa pemerintahan Joko Widodo selama tujuh tahun diwarnai dengan berbagai peristiwa penting global yang mengiringi perjalanan ekonomi -khususnya sektor industri manufaktur- Indonesia. Beberapa peristiwa dimaksud antara lain penurunan harga beberapa komoditas yang berakibat pada adanya tekanan terhadap ekspor Indonesia, pelambatan ekonomi Tiongkok sebagai entitas ekonomi terbesar dunia yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara global, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menciptakan kembali high cost economy dan mengganggu sisi supply, serta tentunya pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan hebat –utamanya kepada sektor industri- baik dari sisi supply dan maupun sisi demand.
Dengan latar belakang kondisi global yang penuh dengan gejolak dan ketidakpastian tersebut, perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun sektor industri manufaktur yang berdaulat, mandiri, berdaya saing, dan inklusif menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Meski dihadapkan pada sekian tantangan global tersebut, sektor industri manufaktur Indonesia selama tujuh tahun pemerintahan Joko Widodo tetap memainkan peranan penting –bahkan sebagai penggerak dan penopang utama- bagi perekonomian nasional. Pentingnya peranan sektor industri antara lain dapat dilihat dari realisasi investasi sektor industri manufaktur,yang pada periode pertama (2015-2019) menembus total nilai sebesar Rp1.280 Triliun dengan nilai rata-rata investasi tahunan sebesar Rp250 Triliun. Total nilai investasi selama periode lima tahun pertama ini bahkan lebih besar dari nilai investasi yang terakumulasi selama 10 tahun pada kurun waktu 2005-2014.
Pada periode kedua, realisasi investasi di sektor manufaktur tahun 2020 tercatat di angka Rp270 Triliun, lebih tinggi dari nilai rata-rata periode sebelumnya meski sektor industri mendapat hantaman keras (hard hit) dari pandemi Covid-19. Sementara pada Semester I tahun 2021, realisasi investasi di sektor manufaktur telah terhitung sebesar Rp170 Triliun dan diperkirakan terus meningkat seiring dengan perbaikan beberapa indikator ekonomi lain.
Dari sisi ekspor, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap ekspor nasional terus meningkat dari USD108,6 Miliar pada tahun 2015 ke USD127,4 Miliar pada tahun 2019. Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata nilai kontribusi ekspor sektor manufaktur berkisar pada angka 75 persen dari total ekspor nasional per tahun. Nilai kontribusi ini jauh lebih besar dari kontribusi ekspor manufaktur pada periode pemerintahan sebelumnya (2000-2014) yang hanya menyentuh angka di bawah 70 persen dari total ekspor nasional.
Kontribusi ekspor sektor industri manufaktur pada tahun pertama pemerintahan Jokowi jilid II (tahun 2020) justru naik menjadi sebesar USD131,1 Miliar di tengah himpitan pandemi Covid-19. Nilai ekspor manufaktur ini merepresentasikan 80,3 persen ekspor nasional tahun 2020 dan menghasilkan surplus neraca perdagangan sebesar USD21,7 Miliar.
Surplus neraca perdagangan sendiri terus berlanjut hingga bulan September 2021 sebesar USD4,37 Miliar yang merupakan surplus selama 17 bulan secara berturut-turut sejak bulan Mei 2020. Pada periode Januari-Agustus 2021, nilai ekspor sektor manufaktur telah mencapai sekitar USD115,13 Miliar.
Capaian sektor industri manufaktur di bidang investasi dan ekspor mengiringi kontribusi sektor industri manufaktur terhadap penerimaan negara dan kontribusi terhadap pembentukan PDB Nasional yang terus meningkat dan merupakan tertinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Pajak sektor industri pengolahan secara rerata berkontribusi sebesar 28 persen sepanjang tahun 2014 hingga 2020.
Sementara penerimaan cukai sektor industri menyumbang 95 persen dari total penerimaan cukai nasional. Adapun laju pertumbuhan PDB manufaktur pada periode 2015-2019 secara konsisten berada di kisaran mendekati angka 5 persen per tahun.Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional pada tahun 2015 menyentuh nilai Rp2.100 Triliun dan terus naik ke Rp2.783 Triliun di tahun 2019.
Pada periode kedua pemerintahan, kontribusi sektor manufaktur sedikit turun ke angka Rp2.760 Triliun di tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19 yang tidak saja menerpa Indonesia tetapi juga seluruh negara di dunia. Akibat tekanan pandemi, sektor industri manufaktur tumbuh minus 2.52 persen di tahun 2020. Ini merupakan kali kedua dalam sejarah sektor industri manufaktur Indonesia mengalami pertumbuhan negatif setelah sempat minus 11,5 persen akibat krisis 1997.
Pertumbuhan sektor industri manufaktur kembali bergairah pada tahun 2021, dengan peningkatan angka pertumbuhan yang signifikan di Triwulan II sebesar 6,91 persen (yoy), sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga bangkit sebesar 7,07 persen (yoy).
Dinamika serupa juga terjadi pada Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia. Di awal periode pertama pemerintahan Jokowi, PMI manufaktur Indonesia berada di bawah 50 poin sepanjang tahun 2015 yang menunjukkan kurang bergairahnya aktivitas di sektor industri sebagai dampak dari tertekannya kinerja ekspor akibat kondisi ekonomi global. Namun, pada tahun-tahun berikutnya kebijakan ekonomi pemerintah mampu membuat PMI Manukfatur Indonesia terus bergerak hingga menyentuh level ekspansif (di atas 50 poin). Rata-rata nilai PMI Manufaktur Indonesia berada di angka 50,08 pada tahun 2017 dan meningkat ke angka 50,9 pada tahun 2018.
Namun, perang dagang AS-Tiongkok yang berlanjut dengan pandemi Covid-19 pada kurun waktu 2019-2020 menekan PMI Manufaktur ke level 49,7 di tahun 2019 dan secara dalam ke level terendah pada April 2020 dengan angka 27,5 ketika PSBB jilid I diterapkan di ibu kota yang membuat operasional dan kegiatan industri nyaris lumpuh.
Dalam menghadapi pandemi di masa awal, sektor industri memang mengalami shock dan masih kikuk dalam menghadapi situasi yang sedemikian cepat berubah. Pemerintah pun masih melakukan trial and error guna mencari formula yang tepat dalam penangangan pandemi untuk mencari keseimbangan antara sektor kesehatan dengan sektor ekonomi. Kesehatan dan ekonomi merupakan dua sektor yang tidak dapat dipisahkan karena sama-sama memiliki dampak yang besar dan luas terhadap kehidupan masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). IOMKI merupakan terobosan kebijakan yang menyelamatkan eksistensi industri manufaktur di masa pandemi. Dengan memegang IOMKI, perusahaan industri dapat terus melakukan kegiatan industri selama pandemi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan melaporkan setiap perkembangan kegiatan industri dan penerapan protokol kesehatan kepada pemerintah.
Kebijakan IOMKI seiring waktu berhasil mendorong terciptanya keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi di sektor industri manufaktur dan memacu para pelaku industri untuk percaya diri dan dapat segera beradaptasi dengan kondisi pandemi dengan memperhatikan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kepercayaan diri dan daya adaptasi industri di masa pandemi tercermin dari bangkitnya kembali PMI Manufaktur Indonesia ke level ekspansif sejak November 2020 dan terus menguat hingga Juni 2021.
Bahkan, pada tahun 2021 ini PMI Manufaktur Indonesia mencetak rekor angka tertinggi sepanjang sejarah dalam tiga bulan berturut-turut, yakni 53,2 pada bulan Maret, 54,6 pada bulan April, dan 55,3 pada bulan Mei. Ini menunjukkan adanya optimisme yang tinggi di sektor industri manufaktur dalam menilai prospek ekonomi Indonesia ke depan.
Sayangnya, merebaknya varian delta di Indonesia memaksa Pemerintah untuk memberlakukan kebijakan PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang kemudian direvisi menjadi PPKM berlevel. Ini membuat gairah pelaku industri harus terhenti sementara sehingga PMI Manufaktur Indonesia kembali turun ke level 40,1 pada bulan Juli 2021. Namun seiring kondisi yang semakin terkendali dan dibukanya kembali aktivitas industri secara penuh -serta didukung dengan daya adaptasi sektor industri yang telah terbangun sebelumnya- PMI Manufaktur Indonesia kembali ke level ekpansif pada angka 52,2 pada bulan September 2021.
Pada aspek ketenagakerjaan, sektor industri pengolahan di masa pemerintahan Jokowi periode I menunjukkan peningkatan penyerapan jumlah tenaga kerja. Data BPS menunjukkan pertambahan jumlah tenaga kerja yang sangat signifikan di sektor industri pengolahan sebesar hampir 4 juta orang dalam kurun waktu 5 tahun, naik dari posisi 15,25 juta orang pada tahun 2014 ke 19,2 juta orang pada tahun 2019. Peningkatan jumlah tenaga kerja yang terjadi pada tahun 2015-2019 ini lebih besar dari peningkatan jumlah tenaga kerja pada periode 2010-2014 yang menyentuh angka 2,41 juta orang.
Namun demikian, akibat dampak pandemi Covid-19 jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan secara bertahap berkurang menjadi 18,7 juta orang pada Februari 2020 dan 17,5 juta orang pada Agustus 2020. Seiring dengan mulai pulihnya sektor industri pengolahan dari dampak pandemi, jumlah tenaga kerja di sektor ini kembali meningkat ke angka 17,82 juta pada Februari 2021.
Melihat indikator-indikator kinerja di atas, di tengah berbagai tantangan global, kinerja industri manufaktur Indonesia di masa pemerintahan Jokowi secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan yang selalu positif dari tahun ke tahun. Ini terlihat dari kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang selalu meningkat, nilai investasi sektor manufaktur yang selalu bertambah, kontribusi ekspor yang selalu dominan dalam struktur ekspor nasional, jumlah kontribusi pajakterhadap penerimaan negara, jumlah tenaga kerja yang bertambah, dan resiliensi yang tinggi terhadap gejolak lingkungan termasuk krisis. Ini sekaligus menepis pandangan bahwa tengah terjadi deindustrialisasi di Indonesia.
Berbagai Upaya Mewujudkan Nawacita
Kehendak dan tekad untuk membangun industri manufaktur yang berdaulat, mandiri, berdaya saing, dan inklusif telah tertuang dalam visi dan misi Pemerintahan Jokowi periode I yang terkenal dengan Nawacita. Dalam Nawacita, setidaknya ada 4 (empat) poin yang relevan dengan upaya pembangunan sektor industri manufaktur yakni: poin (3) membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; poin (5) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan; poin (6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan; poin (7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Sementara pada awal masa pemerintahan periode II, Presiden Jokowi kembali menegaskan pentingnya pembangunan SDM dan transformasi ekonomi berbasis pada peningkatan industri bernilai tambah.
Aspek penting dari upaya membangun Indonesia dari pinggiran dalam konteks pembangunan industri manufaktur adalah aspek keadilan yang mencakup pemerataan dan inklusivitas. Pembangunan Industri didorong untuk meningkatkan industri di luar pulau jawa. Berdasarkan data BPS, ada peningkatan jumlah industri besar dan sedang (IBS) di luar Jawa pada masa pemerintahan Jokowi. Sebagai gambaran, jumlah IBS naik dari 4,273 unit pada tahun 2014 ke 6.621 unit pada tahun 2016. Pertambahan jumlah IBS luar Jawa ini terbilang cukup signifikan bila dibandingkan dengan perkembangan IBS pada periode 2009-2014. Meski jumlah ini sedikit menyusut menjadi 5,626 unit pada tahun 2018, namun jumlah IBS luar Jawa yang bertahan masih lebih tinggi dari angka baseline tahun 2014.
Upaya pemerataan industri juga ditempuh melalui pengembangan kawasan industri di luar Jawa. Pada 7 tahun masa pemerintahan Jokowi, 8 (delapan) kawasan industri baru di luar Jawa telah berhasil dibangun dan beroperasi. Ini belum termasuk 4 (empat) kawasan industri yang sedang dalam tahap konstruksi dan 2 (dua) KI lainnya yang masih dalam tahap perencanaan. Sebagai dampak positif dari pembangunan kawasan industri di luar Jawa, kinerja ekspor pada wilayah-wilayah tersebut meningkat sangat pesat. Sebagai contoh, kinerja ekspor Provinsi Sulawesi Tengah naik 5 kali lipat kinerja ekspornya pada periode 2016-2020. Pada tahun 2016 ekspor provinsi ini hanya tercatat sebesar USD 1,5 Miliar, sedangkan pada tahun 2020 telah mencapai USD 7,5 Miliar.
Pemerintah juga melakukan pengembangan kawasan industri prioritas. Pada tahun 2020-2024, direncanakan pengembangan 19 kawasan industri prioritas, yaitu 9 (sembilan) di Pulau Sumatera, 6 (enam) di Pulau Kalimantan, 1 (satu) di Pulau Madura, 2 (dua) di Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, serta 1 (satu) di Pulau Papua. Kawasan industri tersebut antara lain berbasis industri agro, industri migas, industri logam, industri batubara, industri kedirgantaraan, dan industri lainnya.
Sejalan dengan konsep Indonesia-sentris yang juga merupakan pengejawantahan dari “membangun Indonesia dari pinggiran”, pemerintah Jokowi juga terus memacu pertumbuhan Industri Kecil Menengah (IKM) di luar Pulau Jawa. Sepanjang kurun waktu 2015-2019 telah berhasil dibangun 22 sentra IKM di luar pulau Jawa. 5 (lima) Sentra IKM baru di luar jawa bertambah di tahun 2020. Sedangkan di tahun 2021 ditargetkan terbangun sentra baru di 26 kab/ kota melalui skema anggaran Dana Alokasi Khusus. Pemerintah juga mengembangkan digitalisasi IKM melalui program e-smart IKM. Hingga tahun 2020 sebanyak 2.216 IKM telah bergabung dalam program ini.
Kualitas sumber daya manusia dan daya saing industri manufaktur merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Daya saing industri manufaktur tidak akan terwujud jika tidak ditopang oleh SDM yang terampil dan kompeten. Presiden Jokowi sendiri mengarahkan agar pembangunan SDM harus terorkestrasi dengan baik dengan orientasi pada kebutuhan industri.
Dalam menyiapkan SDM industri yang terampil dan kompeten, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian secara konsisten menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan vokasi yang terintegrasi dengan dunia industri. Seluruh atau 100 persen lulusan pendidikan vokasi Kemenperin diserap oleh industri atau menjadi wirausahawan. Sejak tahun 2015 hingga 2019, Kementerian Perindustrian telah menghasilkan lulusan tenaga kerja industri tingkat terampil dan ahli yang terserap di dunia kerja sebanyak 22.642 orang. Pada tahun 2020 telah terserap oleh industri sebanyak 5.755 orang yang merupakan lulusan dari SMK dan Politeknik/Akademi Komunitas. Sementara untuk tahun 2021 lulusan diproyeksikan sebanyak 5.588 orang yang telah dipesan oleh industri.
Dalam rangka mengintegrasikan pendidikan dengan industri, Kementerian Perindustrian menyelenggarakan program SMK yang Link and Match dengan industri. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pembinaan program link and match, peningkatan kompetensi guru, fasilitasi tenaga silver expert, pengembangan sistem informasi (database), peningkatan kapasitas teaching factory, dan monitoring serta evaluasi.
Hingga tahun 2020, telah dilakukan link and match antara 2.615 SMK dengan 856 industri melalui 5.000 perjanjian kerja sama. Untuk mendorong industri masuk dalam pengelolaan pengembangan SDM, di tahun 2021 ini Kemenperin juga telah menyelenggarakan Coaching clinic super tax deduction kegiatan vokasi bagi 316 perusahaan.
Di samping melalui penyelenggaraan pendidikan formal, penyiapan SDM industri juga ditempuh melalui pelatihan berbasis kompetensi. Dalam kurun waktu 2015-2019, telah diselenggarakan pelatihan tenaga kerja industri dengan sistem 3-in-1 (pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja) bekerja sama dengan industri. Program pelatihan ini telah menghasilkan 151.010 orang tenaga kerja industri kompeten yang terserap di dunia industri. Kegiatan diklat 3 in 1 juga diselenggarakan bagi para penyandang disabilitas. sebanyak 523 orang.
Sementara pada tahun 2021 pelatihan telah menyasar 18.919 orang, melebihi target 16.340 orang yang sebelumnya ditetapkan. Target peserta pelatihan untuk tahun 2021 sebanyak 86.500 orang, tetapi disesuaikan menjadi 43.135 orang akibat adanya kebijakan prioritas anggaran untuk penanganan Covid-19. Hingga bulan September 2021, sebanyak 44.954 orang telah terlatih dan dipekerjakan di industri.
Salah satu faktor penting dalam daya saing industri manufaktur adalah ketersediaan energi. Pemerintah sepenuhnya menyadari bahwa akses industri ke energi yang masih rendah masih menjadi salah satu faktor penghambat akselerasi industri manufaktur di Indonesia. Mengatasi masalah energi dan bahan baku gas untuk petrokimia melalui percepatan pembangunan infrastruktur memerlukan waktu dan investasi yang tidak sedikit. Karena itu, sebagai quick wins pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) dengan harga USD6 per MMBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016, tentang Harga Gas Bumi Tertentu, dengan rata-rata harga yang diterima industri sebelumnya berkisar antara USD9-12 per MMBTU.
Empat tahun berselang, terbit Keputusan Menteri ESDM Nomor 89K tahun 2020 yang memberikan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi industri sebesar USD 6/MMBTU. Sekitar 176 perusahaan dari sektor industri pupuk, Industri petrokimia, industri baja, industri oleokimia, industri kaca, industri keramik, dan industri sarung tangan karet secara bertahap mulai menikmati Harga USD 6/MMBTU mulai April 2020.
Satu tahun setelah kebijakan HGBT ini diimplementasikan, industri telah mampu menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sebagai contoh, tercatat terjadi kenaikan ekspor produk keramik sekitar 25% dan ekspor produk oleokimia yang tercatat naik sekitar 26%. Pemberlakuan HGBT di beberapa pabrik Pupuk (Khususnya PT Pupuk Kujang) telah mengurangi HPP pupuk subsidi, sehingga turut mengurangi angka subsidi pupuk yang harus dikeluarkan oleh negara. Kebijakan HGBT juga telah terbukti meningkatkan kinerja dan daya tahan industri manufaktur terlebih di masa pandemi serta meminimalisasi pemutusan hubungan kerja. Dengan kebijakan HGBT, industri juga perlahan mulai menunjukkan pemulihan pada bulan Desember 2020.
Di samping itu, kepercayaan diri pelaku industri untuk menambah investasi juga meningkat, dengan rencana investasi tercatat senilai Rp. 191 Triliun yang terbagi ke dalam 53 proyek. Dengan sekian manfaat nyata tersebut, Pemerintah berencana memperluas penerima manfaat kebijakan HGBT ke sektor-sektor industri lain. Kementerian Perindustrian juga telah mengajukan usulan penambahan 15 sektor baru penerima HGBT
Peningkatan daya saing dan nilai tambah industri juga dilakukan melalui hilirisasi. Hilirisasi memiliki nilai tambah lain berupa peningkatan investasi dalam negeri, pembukaan lapangan kerja, dan penyerapan tenaga kerja. Salah satu wujud hilirisasi ini dapat dilihat pada program penumbuhan dan pengembangan industri smelter. Penumbuhan dan pembangunan industri smelter logam sampai dengan Triwulan III tahun 2021 sudah mencapai 69 perusahaan (tahap operasi, kontruksi, dan feasibility study) dengan total investasi USD 51,43 Miliar (Rp. 731,58 Triliun) dengan serapan tenaga kerja langsung lebih dari 163.000 orang. Kapasitas smelter yang sudah beroperasi antara lain, untuk nikel diperkirakan mencapai total 12,27 juta ton/ tahun; aluminium 6 juta ton/ tahun; tembaga 3,2 juta ton/ tahun; dan besi baja 18,98 juta ton/ tahun.
Pemerintah juga tengah memacu proyek gasifikasi batubara yang merupakan industri pionir di Indonesia. Proyek gasifikasi batu bara yang tengah dipacu realisasinya meliputi pabrik coal to chemical di Tanjung Enim dan Kutai Timur dan pembangunan coal to methanol di Meulaboh, Aceh dengan nilai investasi sebesar US$ 560 juta yang akan mengolah 1,1 juta ton batubara menjadi metanol sebesar 600 ribu ton/tahun. Proyek gasifikasi batu bara ini didukung oleh ketersediaan sumber daya batubara yang melimpah.
Cadangan batubara nasional mencapai 38,84 Miliar ton dan cadangan ini dapat bertahan hingga 2091 dengan laju produksi tahunan sebesar 600 juta ton. Proyek gasifikasi batu bara akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan karena akan mengakhiri tradisi penjualan komoditas mentah tanpa ada pengolahan dan nilai tambah.
Di sektor industri agro, Indonesia berhasil melakukan hilirisasi minyak sawit (CPO). Dalam kurun pemerintahan Jokowi, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat dari 20% pada 2010 ke 80% di tahun 2020. Peningkatan industri pengolahan kelapa sawit dan turunannya antara lain refinery dari 45 juta ton (2014) ke 64 juta ton (2019), oleofood dari 2,5 juta ton (2014) ke 2,75 juta ton (2019), biodiesel dari 7,2 juta ton (2014) ke 16 juta ton (2019), dan ragam produk hilir dari 126 produk (2014) menjadi 170 produk (2019).
Program pengembangan industri bahan bakar nabati juga terus dilaksanakan sepanjang tahun 2020 melalui Program B30, B40, B50, dan B100. Program Mandatory Biodiesel 30% (B30) telah berjalan dengan capaian lebih dari 94% dengan serapan Biodiesel FAME sebesar 8,46 Juta KL. Penghematan devisa yang dihasilkan dari pengurangan impor BBM Diesel adalah USD2,66 Miliar atau sekitar Rp. 38,31 Triliun.
Program ini menyerap sekitar 10,2 Juta Ton CPO sebagai bahan baku dan berperan sebagai alat untuk demand management, menyerap oversupply produksi CPO dunia, dan mempertahankan harga CPO dunia, termasuk menjaga harga beli tandan buah segar di tingkat petani tetap tinggi. Dengan program B30, tercipta nilai tambah CPO sebesar Rp. 13,19 Triliun, penyerapan tenaga kerja dari sektor industri hilir dan hulu perkebunan sebesar 834.000 orang, dan pengurangan emisi gas rumah kaca setara CO2 sebesar 16,98 Juta ton.
Sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, Indonesia dalam empat tahun terakhir telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk hilir rumput laut menjadi sebesar USD 96,2 juta di tahun 2020. Indonesia juga dikenal sebagai pengolah kakao terbesar ketiga dunia. Dengan kapasitas terpasang sekitar 800 ribu ton per tahun, ekspor produk olahan kakao menyentuh angka USD 1,12 milyar pada tahun 2020.
Di sektor farmasi dan alat kesehatan, pemerintah tengah memacu penguatan industri farmasi berbasis fitofarmaka, dimana kita sudah mengembangkan dan memproduksi beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa negara di Eropa.Indonesia juga sudah mampu membuat ventilator dan generator/ konsentrator oksigen dalam negeri.
Prototipenya sudah tersedia dan kini tengah menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian juga mendorong pengembangan 79 produk alat kesehatan prioritas, dengan 43 produk di antaranya telah diproduksi di dalam negeri dengan nilai TKDN bervariasi hingga 92,23%.
Di sektor industri mineral logam, saat ini telah terbangun industri stainless steel terintegrasi dari hulu yang menghasilkan produk turunan nikel dengan kapasitas 4 juta ton per tahun. Kapasitas produksi ditargetkan pada tahun 2022 mencapai 6 juta ton per tahun. Pemerintah juga telah membangun fasilitas pengolahan bijih bauksit ke alumina dengan kapasitas produksi 3 juta ton per tahun.
Peningkatan daya saing dan nilai tambah industri manufaktur juga sangat tergantung pada kemampuan industri dalam merespon tuntutan global. 3 (tiga) tuntutan global dewasa ini antara lain perubahan teknologi, pembangunan industri hijau, dan peningkatan pasar di sektor industri halal. Dalam rangka menjawab tuntutan perubahan teknologi, pada tahun 2018 Pemerintah telah meluncurkan kebijakan Making Indonesia 4.0 sebagai inisiatif untuk percepatan pembangunan industri memasuki era industri 4.0.
Penerapan Industri 4.0 akan mendorong revitalisasi sektor manufaktur agar lebih efisien dan menghasilkan produk berkualitas. Kementerian Perindustrian telah membentuk Ekosistem Indonesia 4.0 (SINDI 4.0) yang bertujuan untuk membangun sinergi dan kolaborasi antar pihak guna mempercepat proses transformasi industri 4.0. SINDI 4.0 yang terdiri dari 5 (lima) stakeholder, yaitupemerintah, industri/asosiasi industri, akademisi dan R&D, technology provider, konsultan, dan pelaku keuangan.
Berbagai upaya telah dilakukan di antaranya: 1) self assessmentINDI 4.0 pada 775 industri; 2) penghargaan INDI 4.0 kepada 18 industri; 3) penetapan 2 industri sebagai Global Lighthouse Network oleh WEF dan 3 industri sebagai national lighthouse; 4)pendampingan industri 4.0 bagi 45 industri; 5) menghubungkan 13.000 IKM kemarketplace melalui program E-Smart IKM; 6) melatih 760 agen transformasi industri 4.0. Di samping itu, Kementerian Perindustrian juga tengah merampungkan pembangunan Pusat Industri DIgital 4.0 (PIDI 4.0)yang terdiri dari 5 pilar layanan, yaitu: Showcase Center, Capability Center, Ekosistem Industry 4.0, Delivery Center, dan Innovation Center.
Tuntutan berikutnya adalah pembangunan industri hijau (green industry) sebagai bagian dari Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs). Tujuan dari pengembangan industri hijau adalah penurunan emisi gas rumah kaca, efisiensi energi dan air, penerapan ekonomi sirkular, efisiensi material, penurunan pencemaran lingkungan, dan peningkatan serapan tenaga kerja. Pemerintah telah menetapkan tujuh aspek standar industri hijau, yaitu bahan baku, energi, air, emisi gas rumah kaca, proses produksi, produk, pengelolaan limbah, dan manajemen pengusahaan.
Dari perspektif lingkungan, penerapan industri hijau pada tahun 2019 berhasil menurunkan 39,22 juta ton CO2equivalen, penghematan energi senilai Rp. 3.5 Triliun, dan penghematan air setara Rp. 230 Miliar. Hingga saat ini, 895 perusahaan industri telah mendapatkan penghargaan atas upayanya dalam membangun industri hijau.
Tuntutan lain yang tak boleh luput adalah peningkatan peluang pasar dan investasi di sektor industri halal. Potensi pasar industri halal pada tahun 2023 diperkirakan sebesar USD 3 Triliun. Angka ini akan semakin meningkat seiring semakin bertambahnya populasi penduduk muslim dunia dan seiring dengan semakin banyaknya negara yang menerima konsep halal sebagai salah satu faktor penentu mutu sebuah produk. Mengingat sangat penting dan strategisnya industri halal, Pemerintah telah mendirikan unit kerja khusus bernama Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) di bawah Kementerian Perindustrian.
PPIH merupakan unit kerja pertama di bawah kementerian yang khusus menangani industri halal dan merupakan sebuah terobosan yang sebelumnya belum pernah ada sepanjang sejarah perkembangan industri halal di Indonesia. Pemerintah juga telah menyiapkan tiga kawasan industri yaitu Modern Cikande Industrial Estate, Bintan Inti Industrial Estate, Kawasan Industri Halal Safe & Lock, Sidoarjo, Jawa Timur. Untuk memacu pemberdayaan industri halal, dalam waktu dekat akan diselenggarakan Indonesia Halal Industry Awards tahun 2021. Ajang penghargaan industri halal ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia bagi pihak-pihak yang proaktif dalam pengembangan industri halal nasional. Demikian kemenperin.go.id
LEAVE A REPLY