Home Nasional Ramai-ramai Menolak New Normal

Ramai-ramai Menolak New Normal

0
SHARE
Ramai-ramai Menolak New Normal

Jakarta, BIZNEWS.ID - Rencana pemerintah menerapkan new normal di tengah pandemi virus corona yang masih berlangsung menuai kritikan dan penolakan. Terlebih, hingga saat ini kurva kasus virus corona di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda menurun.

New normal rencananya akan diterapkan mulai bulan Juni. Ada 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota yang akan merasakan new normal.

Empat provinsi tengah dipersiapkan menyongsong new normal adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat; dan Gorontalo. Daerah yang menerapkan new normal harus memenuhi syarat indeks penularan di bawah 1. Berikut penolakan dari beberapa politikus terhadap rencana new normal:

Fadli Zon

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengkritik persiapan kebijakan new normal. Terlebih, saat ini jumlah kasus positif virus corona di Indonesia masih terus meningkat.

Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan mengambil keputusan tak tidak tegas dan inkonsisten.

"Kebijakan mencla-mencle dan penanganan COVID-19 penuh inkonsistensi bisa menjadi “new disaster” (bencana baru), bukan “new normal”," kata Fadli dalam keterangannya, Rabu (27/5).

Fadli juga menilai kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia bisa hilang karena kebijakan penanganan COVID-19 tidak jelas. Menurutnya, hal itu dapat berdampak pada pelarangan WNI yang akan berpergian ke luar negeri.

"Tak hanya soal kasus penyebarannya, tapi kepercayaan dunia terhadap kita makin pudar. Bisa jadi kita tak bisa masuk ke banyak negara. Mudah-mudahan prediksi saya salah," ujarnya.

Mardani Ali Sera

Senada, Politikus PKS Mardani Ali Sera juga mengkritik sikap pemerintah yang menyiapkan new normal di sejumlah daerah. Menurutnya, kebijakan ini bisa menjadi bencana besar karena dilakukan saat penyebaran virus masih tinggi.

"Salah bila kita gembar gembor new normal di saat penyebaran yang masih tinggi dan vaksin yang belum ditemukan. Bunuh diri massal namanya," ujar Mardani kepada kumparan.

Mardani menilai new normal tepat dilakukan jika tingkat penyebaran virus sudah menurun drastis. Sejumlah negara, kata dia, melonggarkan lockdown ketika virus corona sudah bisa dikendalikan.

Sementara yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. New normal diterapkan saat penyebaran masih tinggi dan bisa menyebabkan peningkatan jumlah positif corona.

Nur Nadlifah

Anggota Komisi Kesehatan DPR, Nur Nadlifah, menganggap kebijakan new normal pada Juni terlalu dini dan cepat. Penerapan new normal, kata dia, seharusnya jangan langsung diterapkan di banyak daerah karena belum seluruh wilayah mampu mengendalikan COVID-19.

"Misalnya, kita akan terapkan di 30 persen, kita 10 persen saja dulu. Sambil pemanasan dikit-dikit. Itu mungkin masih oke, kemudian bertahap," kata Nur saat dimintai tanggapan, Rabu (27/5).

Politikus PKB ini khawatir penerapan new normal di banyak daerah akan menjadi beban baru bagi para tenaga kesehatan yang masih berjuang melawan pandemi virus corona.

"Tetapi kalau pembukaannya sudah mulai persentasenya banyak, ini ngeri lho. Saya kasihan nakes (tenaga kesehatan). Enggak selesai selesai tugasnya. Sementara mereka kan juga butuh istirahat. Mereka juga melihat mal dibuka, mereka juga butuh refreshing juga. Tetapi, Mereka juga ikut bertanggungjawab menyelesaikan persoalan kesehatan ini," jelasnya.

Darul Siska

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Fraksi Golkar Darul Siska menilai penerapan new normal harusnya tergantung pemda karena merekalah yang menerapkan PSBB. Sebab, pemda lebih mengetahui dinamika penyebaran virus serta aktivitas masyarakatnya.

"Jadi biar masing-masing kepala daerah, Gugus Tugas yang mengevaluasi kondisi di daerahnya kemudian bisa terapkan tata kelola kehidupan baru," kata Darul kepada kumparan.

Menurutnya, setiap daerah yang menerapkan PSBB juga wajib melakukan evaluasi berkala dan menyeluruh terhadap tingkat penyebaran virus, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan memenuhi target jumlah tes per hari.

"Waktunya itu sangat tergantung secara wilayah. Jadi enggak bisa ditentukan satu waktu untuk seluruh republik ini. Jadi masing-masing wilayah harus evaluasi terhadap kondisi di daerahnya sesuai indikator WHO itu, tingkat penyebaran, ketersediaan rumah sakit, tenaga medis, faskes, dan tes harian harus memenuhi target," ucapnya. Demikian Kumparan

Photo : google image