Jakarta, BIZNEWS.ID - Di tengah upaya Pemerintah memprioritaskan penanganan isu-isu di dalam negeri, Indonesia secara khusus dipercaya untuk membantu dalam mitigasi dan upaya solusi atas krisis keuangan dunia dalam Global Crisis Response Group (GCRG). Presiden Joko Widodo mewakili Presidensi G20 dipercaya oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menjadi anggota GCRG bersama dengan Perdana Menteri Bangladesh, Perdana Menteri Barbados, Perdana Menteri Denmark, Kanselir Jerman, dan Presiden Senegal.
Pembentukan GCRG yakni untuk mengadvokasi dan memfasilitasi konsensus global terhadap aksi-aksi untuk menghindari, memitigasi dan merespon dampak-dampak krisis pangan, energi dan keuangan bagi negara-negara yang rentan, terutama akibat imbas dari Pandemi Covid-19 dan perang Ukraina dan Rusia. Meski dipercaya untuk berfokus pada solusi keuangan, Indonesia tetap sangat terbuka untuk menyampaikan masukan saran dan rekomendasi terkait krisis pangan dan energi.
Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia yang sering ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun 2022 berkomitmen terus mendorong anggota G20 untuk bekerja sama untuk menyeimbangkan kepentingan di seluruh keanggotaan yang beragam, dan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Dalam Media Briefing yang digelar secara hybrid di Media Center Kemenko Perekonomian, Jumat (10/06), Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso selaku Sherpa GCRG menyampaikan bahwa selama bulan Mei, telah dilaksanakan dua pertemuan Sherpa GCRG dan satu kali pertemuan Steering Committee. Pertemuan itu dilakukan untuk mempersiapkan pertemuan tingkat kepala negara/pemerintahan pada tanggal 20 Mei 2022. Meski Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Denmark berhalangan hadir dalam pertemuan tingkat kepala negara/pemerintahan, Sekjen PBB telah melakukan pembicaraan langsung secara online dengan Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Mei 2022 dan dengan Perdana Menteri Denmark pada tanggal 24 Mei 2022.
Hasil pembicaraan Sekjen PBB dengan para kepala negara/pemerintahan GCRG dituangkan dalam Policy Brief Nomor 2. Policy Brief Nomor 2 tersebut merupakan kelanjutan dari Policy Brief Nomor 1 yang dikeluarkan oleh UNCTAD sebelumnya.
Secara singkat, Policy Brief Nomor 1 UNCTAD menyampaikan rekomendasi antara lain untuk krisis pangan, perlu dilakukan upaya untuk tetap membuka pasar pangan dan pupuk dunia, melaksanakan program jaring pengaman sosial, mendukung penghidupan petani kecil, menjaga harga pupuk dan bahan bakar, dan menjaga stabilitas biaya transportasi global; Untuk krisis energi perlu menjaga stabilitas harga bahan bakar fosil dan bio-fosil, dan mendorong transisi energi; Untuk krisis keuangan perlu meningkatkan fleksibilitas dan likuditas keuangan global, meningkatkan bantuan finansial dan mendukung inisiatif penghapusan atau penjadwalan ulang hutang.
Policy Brief Nomor 2 GCRG
Sebanyak 1,2 milyar penduduk dunia rentan terhadap krisis pangan, keuangan dan energi, dengan situasi yang berbeda-beda pada tiap Kawasan dan sub Kawasan. Beberapa negara lebih rentan daripada yang lain, dan segera membutuhkan bantuan:
1. Negara-negara di Afrika Sub-Sahara, tetap merupakan wilayah yang sangat rentan. Satu dari setiap dua orang Afrika terdampak pada ketiga krisis tersebut.
2. Wilayah Amerika Latin dan Karibia merupakan kelompok terbesar kedua yang menghadapi krisis biaya hidup. Pengaruh sangat besar terjadi pada hampir 20 negara.
3. Kemiskinan ekstrem mengancam kehidupan dan mata pencaharian 2,8 juta orang di Timur Tengah dan Afrika Utara.
4. Wilayah Asia Selatan saat ini mengalami tingkat gelombang panas yang tinggi. Diperkirakan 500 juta orang mengalami krisis pangan dan keuangan yang parah.
5. Negara-negara di Eropa Timur dan Asia Tengah terpapar krisis energi dan keuangan, mengingat pentingnya pengiriman uang dan ekspor energi dari Rusia.
Estimasi dari Program Pangan Dunia (WFP) PBB menunjukkan data sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk yang masuk dalam kategori sangat rawan pangan meningkat dua kali lipat, dari 135 juta orang sebelum pandemi, menjadi 276 juta orang, hanya dalam waktu dua tahun.
2. Efek perang di Ukraina diperkirakan akan meningkatkan jumlah tersebut hingga 323 juta orang pada tahun 2022.
3. Indeks harga pangan terbaru dari FAO mencapai rekor tertinggi pada bulan Februari 2022 sebelum perang, dan mengalami kenaikan tertinggi dalam sejarah, dengan rekor tertinggi pada bulan Maret 2022.
Konflik Rusia dan Ukraina juga menyebabkan peningkatan harga energi dalam jangka waktu menengah dan panjang:
1. Harga minyak mentah kini telah mencapai lebih $120 per barel dan harga energi secara keseluruhan diperkirakan akan meningkat sebesar 50 persen pada tahun 2022, dibandingkan pada tahun 2021.
2. Harga gas alam di Eropa saat ini telah meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2020.
Di sektor keuangan, naiknya suku bunga dan ketidakpastian investor global telah mengikis nilai mata uang negara berkembang, serta kemampuan untuk meminjam pada pasar luar negeri. Setelah 100 hari pertama perang Rusia-Ukraina, mata uang 142 negara berkembang rata-rata terdepresiasi sebesar 2,8% terhadap Dollar AS, dan bonds yields meningkat 77 poin secara rata-rata.
Biaya energi yang lebih tinggi terutama solar dan gas alam, pembatasan perdagangan, dan terhambatnya pasokan pupuk dari Federasi Rusia dan Belarus menyebabkan harga pupuk meningkat, bahkan lebih cepat dari harga pangan. Produksi pangan global pada tahun 2023 diperkirakan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pangan dunia.
Laporan GCRG dalam Policy Brief No 2 menekankan pentingnya dua hal pokok. Pertama, perlunya stabilisasi pasar pangan dan energi global untuk mengatasi kenaikan harga global. Kedua, urgensi untuk dapat segera membantu negara-negara dan komunitas-komunitas miskin dunia dengan sumber daya dan instrumen-instrumen yang tersedia.
Untuk itu Laporan GCRG menyampaikan rekomendasi antara lain sebagai berikut:
1. Perlunya melakukan stabilitasi pasar global, mengurangi volatilitas dan mengatasi ketidakpastian harga komoditas serta menanggulangi rising cost of debt.
2. Tidak akan terdapat solusi efektif untuk krisis pangan tanpa mengintegrasikan kembali produksi pangan Ukraina, serta produksi pangan dan pupuk Rusia ke dalam pasar dunia.
3. Untuk meningkatkan ketahanan energi, perlu peningkatan investasi energi terbarukan secara signifikan pada seluruh teknologi, seperti surya, angin, hidrogen, dan lainnya.
4. Meningkatkan kapasitas negara-negara dunia dalam menghadapi krisis. Ini berarti mendukung negara-negara yang terpapar krisis dalam membantu populasi miskin dan rentan.
5. Cara yang dapat ditempuh adalah meningkatkan ruang fiskal dan akses likuiditas pada negara-negara tersebut sehingga dapat memperkuat sistem perlindungan sosial dan jaring pengaman sosial nasional.
6. Semua mekanisme rapid disbursement yang tersedia pada lembaga keuangan internasional harus diaktifkan kembali, dan Special Drawing Rights (SDR) baru bagi negara-negara berkembang perlu tersedia segera.
7. Menciptakan political will yang kuat di seluruh fora multilateral, dimana forum G7 dan G20 perlu bangkit bersama dalam menghadapi tantangan krisis global dengan mengedepankan instrumen restrukturisasi utang yang tepat sasaran.
“PBB mengharapkan peranan penting Indonesia sebagai Presidensi G20. GCRG dan G20 diharapkan dapat berkolaborasi untuk memastikan ketahanan pangan dan nutrisi global yang berkelanjutan. G20 juga perlu menyelaraskan agenda transisi energi yang mendukung upaya pencapaian SDGs, memastikan akses energi yang berkelanjutan, handal dan terjangkau dan mendorong kemudahan akses pendanaan dan teknologi bagi negara berkembang. Sinergi G20 dan GCRG juga perlu diupayakan dalam kebijakan keuangan dan moneter global terutama untuk membantu negara-negara yang menghadapi hutang,” kata Sesmenko Susiwijono.
Sinergi G20 dan GCRG
Dalam Media Briefing yang juga dihadiri oleh Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Amerika dan Pasifik Irwan Sinaga, Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral Ferry Ardiyanto, dan Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Persidangan Haryo Limanseto tersebut, disampaikan juga perkembangan terbaru dalam pembahasan G20 untuk disinergikan dengan GCRG. Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun 2022 menekankan kolaborasi dengan negara maju dan berkembang untuk menjadwab berbagai krisis, termasuk pangan, energi, dan keuangan, serta melakukan sinkronisasi dan sinergi concrete deliverables dengan inisiatif yang dibangun oleh negara-negara GCRG.
1. Pembahasan Agriculture Deputies Meeting (ADM) G20 dan GCRG
Sekjen PBB pada forum GCRG mendorong adanya package deals untuk kelancaran pasokan pangan dari Ukraina dan pupuk dari Rusia. Negara G7 telah meluncurkan inisiatif untuk mengatasi krisis pangan antara lain berupa bantuan finansial dan kerja sama dengan Bank Dunia dalam membentuk Global Alliance of Food Security.
2. Pembahasan Energy TransitionS Working Group (ETWG) G20 dan GCRG
Presidensi G20 Indonesia dimanfaatkan untuk mengenalkan skenario Indonesia mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Negara Anggota G20 dan Undangan berfokus pada sumber pendanaan untuk investasi pada transisi energi ke energi terbarukan dan memastikan tidak terjadi ketimpangan dalam mekanisme pendanaan. Fokus pembahasan pada kerjasama bidang teknologi, untuk mengurangi emisi karbon dan juga capacity building pada penerapan teknologi untuk transisi energi. Terdapat concerns terkait kompleksitas isu energi akibat konflik Eropa Timur meliputi dampak pandemi, konflik yang terjadi di Eropa Timur, sanksi yang diberikan kepada pihak yang bertikai, dan keengganan negara Timur Tengah untuk meningkatkan produksi energi.
3. Pembahasan terkait isu Keuangan (Finance Track) dalam G20 dan GCRC
Senegal menyampaikan perlunya penangguhan debt service dan pembahasan Pilot Project dalam G7 dan G20. Sekjen PBB mendorong adanya review atas G20 Common Framework for Debt yang dinilai tidak efektif. Sekjen juga mendorong International Finance Inistitutions untuk merespons cepat kebutuhan finansial negara berkembang, antara lain terkait fleksibilitas dan peningkatan limit pinjaman serta penerapan Resilience and Sustainable Trust (RST). Deputi Sekjen PBB menyampaikan bahwa G20 perlu mereaktivasi DSSI selama 2 dua tahun dan re-design proses.
4. Pertemuan di Forum G20 selanjutnya
Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri G20 tanggal 7-8 Juli 2022 di Bali untuk mendiskusikan perkembangan pembahasan G20, bagaimana G20 mendukung negara berkembang, dan isu global lain. Pertemuan Tingkat Sherpa ke-2 pada 10-12 Juli 2022 di Labuan Bajo untuk progress pembahasan pada tingkat Working Group Sherpa Track dan progress usulan concrete deliverables. Pertemuan Finance and Central Bank Deputies ke-4 pada 13-14 Juli 2022 di Bali sebagai pendahuluan Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central. Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central ke-3 pada 15-16 Juli 2022 di Bali untuk pembahasan isu-isu di Finance Track.
“Pemerintah Indonesia akan mengamplifikasi peran aktif dan kepercayaan pada tingkat global ini di forum GCRG dan mengaitkannya dengan pembahasan pada forum G20. Sherpa GCRG Indonesia akan membangun komunikasi intensif dengan para negara anggota GCRG dan G20 karena pembahasan harus difokuskan pada langkah konkrit, tepat dan cepat untuk mengatasi krisis, tidak hanya krisis karena perang Ukraina – Rusia, namun juga krisis karena efek pandemi Covid-19. Selain itu, Sherpa GCRG Indonesia juga akan mengedepankan aspek kemanusiaan dalam perang Ukraina – Rusia yang masih berlangsung hingga saat ini,” pungkas Sesmenko Susiwijono. Demikian ekon.go.id.
LEAVE A REPLY