Jakarta, BIZNEWS.ID - Berbagai pemberitaan media massa dan sosial media dipenuhi dengan ucapan “Selamat Tahun Baru 2021” dengan berbagai doa dan penghargaan untuk dapat lebih maju, lebih berhasil, lebih sukses dan tentunya agar kebahagiaan hakiki dapat terpenuhi.
Pengharapan baru pada tahun baru dengan kekuatan baru untuk membangun suasana baru, terngiang dan mengharu biru disetiap kalbu yang diliputi dengan semangat yang menggebu untuk memperoleh capaian baru. Tetapi Tahun Baru 2021 saat ini dapat dilalui tanpa kembang api, atau bunyi-bunyian yang mengharubirukan langit di malam pergantian tahun, sungguhpun ada juga yang masih ingin mencoba dengan memancing bunyian mercon seperti pada tahun sebelumnya, artinya pergantian tahun itu dapat dilalui dengan cara yang sederhana. Memang Tahun Baru merupakan sebuah momentum, tetapi yang perlu diingat kondisi pandemic Covid-19 juga belum reda, dan masih perlu menyimpan tenaga untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat.
Apakah kesederhanaan itu suatu pertanda ketidakmampuan dan ketidakberdayaan, dan apakah yang terjadi sebenarnya pada awal atau penghujung Tahun Baru 2021? Kesederhanaan itu merupakan suatu cara untuk menyimpan energi, sehingga tidak hilang percuma oleh hal-hal yang kurang bermanfaat.
Di sisi yang lain perayaan tahun baru yang hinggar-bingar tidak akan mempengaruhi jumlah hitungan jam dengan hari sebelumnya atau jumlah hari dalam tahun yang akan datang, dan tidak ada suatu yang keistimewaannya. Tetapi itulah sebuah perjalanan “Sang Waktu” yang terus menggulung detik demi detik menjadi jam, kemudian menjadi hari, minggu, bulan dan akhirnya tahun yang tidak kasat mata namun memberikan dampak yang nyata dalam setiap kehidupan.
Tetapi, Tuhan menunjukkan kekuasaannya dalam ruang dan waktu, sehingga setiap ruang dapat terisi oleh hadirnya waktu untuk kehidupan makhluk-Nya, dan waktu pulalah yang sangat jujur memberikan catatan demi catatan setiap perubahan yang ada, sehingga tersusun rapi seperti sebuah dokumen yang terperinci, tanpa ada yang dapat mempengaruhinya.
Pertanyaan baru pasti muncul, apakah yang akan diperbuat di Tahun Baru 2021? Tahun Baru 2021 merupakan perpanjangan proses sebelumnya, seperti sebuah kelanjutan hidup untuk membuat dan mengkreasi agar hidup menjadi lebih hidup, sehingga kehidupan dapat menjadi lebih hidup.
Dalam proses perpanjangan itu tentunya ada hal yang belum terpenuhi pada tahun sebelumnya, sehingga mau tidak mau perwujudannya harus di realisasikan pada tahun berikutnya sebelum dinyatakan akhir. Sebuah resiko bagi yang memiliki janji namun tidak dapat direalisasikannya.
Banyak contoh dalam kehidupan yang bisa disaksikan langsung maupun yang masih bertirai dan hanya beberapa yang mampu menyibakkan tirai itu. Dalam perhelatan negara sering ada pergantian baik bersifat sementara, maupun pergantian antar waktu yang semua itu menunjukkan sebuah dinamika dalam menata dan mengolah kehidupan bernegara. Kalau pergantian personal itu mampu dan segera memperbaiki masalah itu merupakan sebuah prestasi yang patut diacungi jempol, namun bila itu yang terjadi kira-kira sama atau sebaliknya, artinya justru terjadi blunder atau keruwetan masalah sedang dimulai.
Di satu sisi pokok permasalahannya tidak terurai, pada sisi yang lain timbul energi baru untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi baru untuk menyamakan persepsi terhadap laju perkembangan yang diharapkan bersama, sehingga menghambat laju perkembangan proses yang sudah semestinya terjadi. Problem juga timbul kepada personal yang baru untuk beradaptasi dan sesegera mungkin sama pemahamannya dalam pola pikir, pola tindak dan kebijakan yang akan diambil berkaitan dengan kelanjutan visi dan misi program.
Seperti reshuffle kabinet yang dilakukan pemerintah di penghujung tahun 2020, memang ukurannya terletak pada user, bukan pada pemirsa dan pemerhati. Namun pertimbangannya harus juga sampai kepada perasaan pemirsa dan pemerharti dan pembaca yang biasanya ikut merasakan dampak dari perubahan itu. Ada beberapa pertimbangan yang bisa saja luput dari perhatian karena berbanding dengan waktu dan kebutuhan, artinya apakah harus terjadi pergantian, atau program yang dilaksanakan tidak benar dan terjadi penyimpangan.
Sepanjang programnya masih dapat diperbaiki dan orangnya masih bisa diarahkan akan lebih menghemat pikiran dan waktu, dari pada mengganti nahkoda baru yang masih memerlukan adaptasi.
Begitu juga pada suguhan tontonan yang sering dijumpai dalam layar televisi dengan perdebatan-perdebatan kebijakan negara atau kebijakan public dari berbagai dimensi yang berbeda, seru, menakjubkan, bahkan ada narasumber yang emosinya meluap-luap seperti sedang mendapatkan bangku kehormatan untuk menyampaikan pemikirannya yang terkubur dalam hati sanubari.
Masyarakat umum tidak tahu apakah suguhan tontonan itu realistis atau ada bingkai-bingkai yang melindungi agar tema dan pembahasannya tidak keluar dari topik yang sedang hangat atau ada pesan-pesan tersembunyi dari para pemasang iklan. Masyarakat dan pemerhati belajar dari setiap sisi yang berkaitan dengan tontonan layar televisi.
Adakalanya hanya sebagi penonton pasif tetapi ada yang memang memperhatikan atau bahkan melakukan riset. Yang menjadi kontradiksi dan juga merusak suasana serta iklim ketika narasumber atau pembawa acaranya juga merupakan orang yang patut dipersalahkan salam suatu perkara, sehingga menjadi buyar dan bersifat kamuflase.
Sebenarnya dalam menjalani hidup itu yang sangat diperlukan adalah sebuah keseimbangan antara lahir batin, antara materi dan spirit, sehingga ketika membawakan peran dalam kehidupan sehari-hari tidak ada yang berlebihan, dan suasana yang terjadi menjadi harmonis dan tidak ada gesekan-gesekan kepentingan yang mengarah kepada pencapaian tujuan. Kesadaran dalam menjaga sikap dan perasaan terhadap suatu perubahan menggambarkan manusia yang memiliki adab dan budaya yang tinggi, serta menyadariny sebagai makhluk monodualis, sebagai makhluk sosial dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak hal-hal sebenarnya sangat sederhana, untuk dipraktikan namun sering pula dilupakan atau dikesampingkan dalam hidup. Banyak anggota masyarakat dengan tetangga sendiri tidak kenal sama sekali, padahal dalam kehidupan sehari-hari kadang bersinggungan dan bahkan memiliki kepentingan yang sama. Ini yang perlu digali dan menjadi pekerjaan rumah, para tokoh masyarakat, para ulama, para pendeta, pastor, bhiksu, rokhaniawan maupun tokoh lainnya tidak pernah yang mengajarkan sikap acuh terhadap tetangga atau lingkungan.
Kalau dalam lingkungan rumah tangga saja sudah tidak ada kepekaan dan toleransi, sudah pasti masalah demi masalah akan timbul dan bergantian saling menyusul. Memang tidak ada kaitannya secara langsung, namun realitanya hidup seperti itu.
Bisa jadi satu sama lain berkaitan atau bisa saja menyimpan sebuah rahasia, sehingga satu sama lain menjaga perasaan dan memiliki rasa yang sama, yaitu rahasianya terkuak.
Pesan orang tua atau kakek-nenek agar dalam kehidupan tidak meremehkan orang lain apapun profesinya, sehingga keberkahan hidup itu selalu ada, sungguhpun dalam keterbatasan materi. Kalau diperhatikan secara seksama ini merupakan sebuah siklus hidup yang berkelanjutan, sehingga membuat matarantai yang saling berhubungan dan menjalankan sebuah mekanisme hidup, hal sepertinya ini juga luput dari perhatian masyarakat pada umumnya, karena setiap hari disibukkan oleh aktivitas untuk mencari dan mendapatkan materi.
Kalau saja orangtua, guru dan pemangku kepentingan sadar bahwa pengelolaan khususnya mempersiapkan sumberdaya manusia itu sangat penting dan vital, tentunya tidak pernah terjadi pelanggaran etik dalam memberikan pembelajaran kepada generasi muda.
Dimulai dari cara mengajarkan anak-anak dapat menjadi pendengar yang baik, karena menjadi pendengar yang baik tidak mudah dan merupakan kunci dari sebagian masalah yang ada, atau berikan waktu kepada mereka untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri-sendiri. Anak sedih, murung, frustasi, cepat marah itu merupakan masalah mereka, tugas orangtua dan guru adalah mengawasi dan memberikan solusi sekiranya mereka sudah tidak lagi dapat menjawab masalahnya. Dengan demikian anak dapat dan mampu memahami ruang penerimaan diri terhadap orangtua dan lingkungan dalam konsep hidupnya.
Orangtua ingin dihormati oleh anak-anak dan anggota keluarga, tetapi jika sikap orangtua tidak mencerminkan kehidupan orangtua tidak mungkin iklim penghargaan itu akan muncul. Sudah menjadi hokum, kalau tidak melakukan apapun, sudah sepantasnya tidak mendapatkan penghormatan itu, sehingga justru menjadi buah simalakama bagi orangtua itu sendiri dalam proses transfer pengetahuan, teknologi juga emosi, sehingga kesemuanya itu lebih tergantung kepada bagaimana menghargai sebuah prestasi dan keberadaan orang lain di sekitar atau berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari.
Kehadiran orang lain dalam hidup merupakan pintu keberkahan dan kebahagiaan dan keberhasilan yang tidak dapat dibangun dengan opini-opini, tetapi perlu dibangun dengan praktik-praktik yang dapat menghadirkan orang disekeliling menjadi lebih nyaman, lebih senang dan memiliki pengharapan yang dapat dibangun melalui hubungan sebab akibat.
Jikalau saja meremehkan kehadiran seseorang, menceritakan aib teman, menghasut atau mempengaruhi teman agar tidak bergaul dengan seseorang itu merupakan awal hilangnya kebahagiaan dalam pertemanan. Sama halnya dengan kehidupan yang banyak dikeluhkan oleh para guru, menurutnya anak-anak tidak menghormati atau menghargai guru. Itu sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab tentang Mengapa-nya? Apakah komunikasi yang dilakukan kepada anak didik sudah benar? Itulah yang perlu dikaji dengan seksama.
Ada hal-hal yang lupa dalam kehidupan baik dimasa lampau maupun sekarang, baik dalam melakukan sosialisasi ditingkat pertama, kedua atau berikutnya. Yang perlu mendapat garis bawah adalah anak-anak merupakan alat perekam yang baik, jadi kalau guru meminta penghormatan, tentunya sikap penghormatan itu selalu menjadi suguhan setiap hari, begitu juga sebaliknya kalau guru sering marah-marah karena seseorang murid tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) tanpa ditanya sebab dan musababnya, tentu anak-anak hasil didikannya juga memiliki jiwa pemarah.
Padahal semua itu masih dapat diperbaiki dengan mananyakan secara baik-baik dan tidak bersifat menghakimi, sehingga anak-anak dapat menyadari kekeliruan dan kesalahannya. Sikap dapat menyadari kekurangan dan kekeliruan disaat ini sudah menjadi hal yang langka, dan inilah juga salah satu penyumbang bencana nasional berupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal yang luput dan sering dilupakan bahwa anak didik merupakan investasi sumber daya manusia bagi orangtua, guru dan lingkungan.
Kaitannya dengan masa depan seperti apa, termasuk tantangannya terhadap masalah kebangsaan? Masa depan suatu bangsa atau negara juga tidak pernah lepas dari apa yang dilakukan hari ini. Jika ingin menatap masa depan yang baik tentunya persiapan hari ini juga harus baik, tertata dan kohern, bukan saja dalam kepandaian berpikir tetapi juga ketrampilan-ketrampilan yang harus dimiliki berkaitan dengan strategi dan profesi, tetapi juga harus dapat mengambil sikap memanusiakan manusia dan memberikan penghargaan selayaknya manusia dan selebihnya adalah miliknya nasib.
Nasib ini meskipun porsinya kecil namun bisa menyebabkan sebuah kerusakan yang terencana dan terprogram, karena nasib menelusuri jalan yang umumnya sudah dikerjakan oleh para orang tua atau pendahulunya, sehingga membutuhkan jalan tersendiri. Jadi masih ada sifatnya campur tangan manusia.
Jika ingin melakukan sebuah perubahan maka juga harus memperhatikan manajemen perubahan, capaian dan target yang harus dicapai berdasarkan analisa situasi dan kondisi, bahan baku yang diperlukan serta analisa lingkungannya, apakah hasil analisa tersebut dapat mendukung pola perubahan seperti yang dicanangkan. Karena banyak perubahan yang justru seperti mendaur ulang permasalahan yang ada, dan tidak beranjak menuju target sasaran. Yang perlu diperhatikan juga pola dukung dan daya dorong dari berbagai aspek yang meliputinya yang akan dibawa menjadi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, lebih nyaman dan lebih maju, tentunya ada tahapan sosialisasinya dan implementasinya.
Intinya dalam sebuah hidup dan perubahan itu memerlukan perubahan untuk pencapaian tujuan hidup dan kehidupan yang tidak pernah luput dari bantuan dan dukungan orang lain. Tidak ada hidup dan kehidupan yang dapat diselesaikan masalahnya tanpa memerlukan bantuan orang lain, sehingga kehadiran orang lain harus mendapatkan porsi sesuai dengan kontribusinya dalam kehidupan, sehingga iklim perubahan yang dilaksanakan tetap dapat sejalan, seimbang dan berkelanjutan menuju siklus alamai dengan mekanisme yang tertata dan berlangsung dengan baik.
Penilis adalah Dosen Stikom InterStudi
e-mail: riyantocawas67@gmail.com
Headline
LEAVE A REPLY