Jakarta, BIZNEWS.ID - Globalisasi begitu deras menerpa kehidupan dalam diri pribadi dan sebagai anggota masyarakat berbangsa dan bernegara, membuat setiap pribadi untuk bergerak agar tidak asing dalam pluralisasi, dan tetap eksis dalam menjaga komunitasnya. Banyak perubahan yang terjadi ketika globalisasi menjadi alasannya, bukan hanya sekedar terhindar dari trendy, tetapi telah bergerak menjadi kebiasaan dan bisa menjadi sebuah budaya dikemudain nanti.
Banyak hal yang sudah bergerak dan berubah cukup signifikan, kalau dahulu orang berbelanja karena memang membutuhkan barang-barang atau memang persediaannya sudah menipis. Sehingga dapat dikatakan berbelanja hanya sebatas keperluan untuk hidup. Berbeda dengan kondisi saat ini, belanja berubah menjadi suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu.
Tentu saja hal ini akan membawa masyarakat ke arah konsumerisme tanpa disadari kapan dimulai? Karena akan tumbuh hedonisme baru yang hanya mementingkan kesenangan tanpa mau memperhatikan situasi dan kondisi di sekelilingnya. Tentu saja ada faktor-faktor yang mendorong lahirnya hedonisme ini, karena mereka yang tidak siap sikap dan mentalitasnya langsung dihadapkan kepada pluralitas yang semakin membingungkan untuk menyikapinya, dan yang perlu di perhatikan juga dampak yang akan ditimbulkannya sungguhpun memang manusia lahir itu memiliki hak untuk bahagia.
Tumbuhnya perasaan ingin bersenang-senang dan berbahagia itu patut di syukuri karena itu memang sebuah karunia Tuhan Yang Maha Esa, tetapi ada hal yang selalu mengintip yaitu perilaku yang cenderung kepada perbuatan korupsi jika tidak diwaspadai, apalagi jika memang ada niat dan memiliki kesempatan.
Korupsi dapat dikatakan sebuah warisan tanpa surat wasiat di negeri kita dan hampir menjangkiti semua segi kehidupan. Tentu ada pertanyaan yang mengusik bagaimana bisa terjadi korupsi? Apakah cukup dari gaya hidup belanja menyebabkan korupsi, apakah tidak boleh menikmati hasil jerih payah atau kekayaan dalam hidup itu?
Jawabannya bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak dan bahagia, namun ada beberapa yang perlu di pertimbangkan dalam menikmati gaya hidup dan kekayaan, mengingat dalam lingkungan kita yang penuh dengan toleransi, tepa selira dan tenggang rasa. Sehingga setiap tingkah laku kita dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Korupsi memang sudah ada sejak manusia mengenal tata kelola administrasi, dan kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media tidak terlepas dari kekuasaan, birokrasi maupun pemerintahan. Korupsi sering dikaitkan dengan pemaknaan politik, sungguhpun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum.
Pada umumnya penyebab korupsi dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi, yang umumnya dari aspek moral seperti: lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku: misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang mendorong seseorang berperilaku korup.
Sedangkan faktor eksternal merupakan penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar yang bisa dilacak dari aspek ekonomi seperti gaji tidak mencukupi kebutuhan, dari aspek politik misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, kemudian berlanjut kepada sebuah dinasti yang sangat susah untuk memberantasnya, karena pertaliannya sudah sangat mengakar dan menyebar ada dimana-mana.
Jika dibiarkan akan melahirkan kubu-kubu baru dan golongan-golongan yang nantinya akan saling serang dan saling menggerogoti satu sama lain yang berseberangan. Model ini dulu dikenal dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang anehnya justru yang menggembor-gemborkan malah yang melakukan korupsi, atau pinjam istilah “maling teriak maling”.
Dari aspek manajemen dan organisasi misalnya ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum terlihat dari buruknya perwujudan perundang-undang dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial berupa lingkungan masyarakat yang kurang mendukung pergerakan dan perilaku anti korupsi. Juga pada penataan tupoksi yang kurang jelas yang mengakibatkan menumpuknya fungsi pada satu sisi, dan keengganan untuk menjelaskan pada sisi yang lain.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik yang berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Karena ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang “mendewakan” materi, maka dapat memaksa terjadinya permainan uang dan koorupsi (Ansari Yamanah: 2009).
Pandangan lain yang mengidentifikasikan faktor penyebab korupsi, antara lain disebabkan karena:
(1) aspek perilaku individu, sebab-sebab orang korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, sebagai keinginan, niat atau kesadaran untuk melakukannya.
(2) aspek organisasi dan
(3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Tingginya kasus korupsi umumnya disebabkan oleh:
(1) kurangnya keteladanan dan kepemimpinan elit bangsa
(2) rendahnya pendapatan pegawai
(3) lemahnya komitmen dan konsistensi penegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan
(4) rendahnya integritas dan profesionalisme
(5) mekanisme pengawasan internal di semua lembaga keuangan dan birokrasi belum mapan,
(6) kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan dan lingkungan masyarakat dan
(7) lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Suguhan tontonan yang dilakukan oleh para tokoh dan elit bangsa sudah sangat banyak dan berulang-ulang, sehingga timbul benak masyarakat yang mempertanyakan, apakah seperti itu yang diinginkan oleh bangsa ini? Bangsa yang besar dengan keragaman flora dan faunanya dengan berbagai latarbelakang beragam budaya, adat istiadat dan agama.
Terus dimana letak kata-kata bangsa ini warisan anak cucu, kalau hari ini sumberdaya yang ada sudah dikuras untuk kepentingan yang tidak jelas? Belum lagi pertanyaan tentang tujuan bangsa menuju kesejahteraan sosial yang berkeadilan?.
Penulis adalah Dosen Stikom InterStudi, Jakarta
e-mail : riyantocawas67@gmail.com
Headline
LEAVE A REPLY