Jakarta, BIZNEWS.ID - Sejumlah kejahatan menonjol terjadi saat pandemi covid-19. Kebutuhan tinggi jelang Ramadan ditengarai turut mempengaruhi. Belum lagi pembebasan ribuan narapidana dengan dalih mengurangi risiko penyebaran di dalam sel bui.
Sejumlah kasus perampokan jadi yang paling menyita perhatian. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan pelaku menargetkan minimarket atau toko yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan peningkatan angka kejahatan selama masa pandemi corona sekitar 11,8 persen.Peningkatan terbanyak saat ini adalah pencurian dengan pemberatan (curat).
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Reza Indragiri mengatakan keterbatasan gerak selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat masyarakat banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Rasa frustasi itulah yang menurut Reza bisa memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dan kejahatan.
"Teori klasik, Teori Frustrasi Agresi. Orang yang frustrasi bisa melakukan kompensasi dengan jalan agresi, kekerasan, dan kejahatan," katanya lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/4). Apalagi masa pandemi dan PSBB diterapkan jelang Ramadan di mana kebutuhan masyarakat makin meningkat.
Reza mengatakan di sejumlah negara barat, hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kejahatan selalu naik setiap hari Natal, utamanya kejahatan properti. Kejahatan properti adalah kejahatan yang termasuk di dalamnya pencurian, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, kejahatan dengan pembakaran atau pencurian barang di toko swalayan.
"Orang-orang mengasosiasikan Natal dengan masa peningkatan kebutuhan. Kejahatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Analoginya, situasi Ramadan boleh jadi demikian," katanya. Reza juga menyoroti pembebasan napi lewat program asimilasi dan integrasi untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menurutnya pembebasan napi boleh jadi tepat sebab penerapan protokol pencegahan corona di lapas, seperti phisycal distancing susah untuk diterapkan. Namun demikian, Reza mengatakan pembebasan para napi justru bisa meningkatkan risiko lain di masyarakat yakni kejahatan. Para napi itu berpotensi untuk mengulangi perbuatan kriminal.
Pemerintah juga yang akan dirugikan karena sudah mengeluarkan biaya untuk membina para napi tersebut, namun ternyata terkesan sia-sia. Reza mengkritik sejumlah pihak yang menyatakan angka residivisme relatif rendah dibanding jumlah keseluruhan napi yang dibebaskan.
Ia mengutip hasil riset Department of Justice Amerika Serikat yang dirilis pada 2018. Hasilnya, 412.731 napi yang bebas di 30 negara bagian pada tahun 2005, hampir 45 persen di antaranya kembali diamankan pihak penegak hukum dalam kurun 1 tahun sejak keluar dari gerbang lapas.
"Yang terbanyak adalah eks-napi penyalahgunaan narkoba, disusul eks-napi kejahatan properti dan eks-napi kejahatan dengan kekerasan," imbuhnya. Sementara itu pengamat sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan corona memang berimbas pada semua aspek kehidupan masyarakat.
Dari mulai pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, hingga kejahatan. Ubedilah juga menyoroti pembebasan napi saat pandemi corona. Menurutnya, sekitar 15 atau 20 persen napi yang dibebaskan memiliki kecenderungan untuk kembali berbuat jahat.
Ubedilah mengatakan, imbas pandemi corona bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di sejumlah negara lain seperti Filipina, India, bahkan di Amerika. Bukan cuma kejahatan, corona juga bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan.
Karena itu ia mengingatkan pemerintah agar tak hanya bekerja keras, namun juga harus cerdas mengatasi hal ini. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk meredam imbas sosial ekonomi wabah corona. Pembagian paket bahan kebutuhan pokok adalah salah satunya.
Bantuan paket sembako bukan hanya datang dari pemerintah daerah juga dari pemerintah pusat. Bantuan ini dikhususkan bagi warga miskin yang terdampak corona.
Photo : google image
Headline
LEAVE A REPLY