Home Nasional Magnet Demokrat dan Manuver Politik Menuju 2024

Magnet Demokrat dan Manuver Politik Menuju 2024

Oleh Pandu Dewa Natha

0
SHARE
Magnet Demokrat dan Manuver Politik Menuju 2024

Perhelatan pemilihan presiden (pilpres) relatif masih jauh. Bagi yang mengincar posisi puncak pemerintahan, tentu 2024 seperti sudah di depan mata. Itulah sebab, sebagian elit istana, elit partai politik koalisi dan pihak-pihak lain yang berambisi, berpikir ekstra keras untuk memasuki kontestasi pilpres itu dengan beragam manuver. Anehnya, langkah manuver visual yang dimainkan  menabrak kanan-kiri, Partai Demokrat (PD) menjadi sasarannya.  Why?

Tak dapat disangkal, PD pasca Kongres V tahun lalu yang mengantarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum secara aklamasi, relatif solid. Meski ada riak-riak kekecewaan pasca kongres, seperti diberitakan, itu hal lumrah dalam mengelola energi dan managemen sebuah partai, apalagi terkait suara dari para mantan kader dan anasir yang terlempar dalam struktur baru DPP PD.  

Dinamika internal partai, partai apapun juga, tentu memiliki warna warni. Dan komandan partai tentu pula memiliki hak prerogratif menyusun pasukan yang dinilai tepat sesuai perhitungan subyektivitas kematangannya.

Dengan dalih kondisi internal demokrat, seperti alibi yang tersampaikan, ternyata dijadikan celah pintu masuk pihak eksternal menjalankan misi destruktifnya. Setidaknya tergambar ada misi ganda yang dimainkan dari riuhnya isu PD saat ini; pertama, adanya pihak yang berusaha mengambil-alih struktur kekuasaan partai sebagai jalan pintas dengan mendorong Kongres Luar Biasa (KLB), melalui pendekatan kekuasaan dan uang.

Kedua, manuver meloyokan partai berlambang mercy yang notabene sebagai partai oposisi yang gencar mengkritisi kebijakan pemerintahan saat ini. Keduanya memiliki misi sama, diharapkan PD bisa dikooptasi dan dikontrol hitam putihnya sesuai selera, termasuk misi bargaining saat perhelatan pilpres kelak.

Mengapa berusaha menguasai PD? Cukup simpel untuk dibaca. Meski – hasil pemilu legislatif 2019 lalu – PD hanya menduduki posisi ke tujuh (7,7%) dari 15 partai yang ikut pemilu. Tapi, PD tetap masih magnetik. Dan baru-baru ini – sekedar ilustrasi faktual – lembaga survey Indonesia Development Monitoring (IDM) 31 Januari lalu mencatat, andai pemilu nasional diselenggarakan hari ini, maka partai yang mendapat kepercayaan publik adalah PD urutan ketiga dengan score sebesar 11,6%, di bawah posisi PDIP (16,7%) dan Golkar (16,1%). Berarti, ada kenaikan signifikan dari perolehan pemilu 2019. Partai Demokrat rebound.

Tingkat prosentase versi IDM itu memang sangat mungkin berubah di masa mendatang. Bisa turun, bisa juga naik. Tergantung managemen partai dalam menjaga soliditas partai dan kinerjanya yang pro rakyat. Namun demikian dan hal ini sulit dipungkiri, keberadaan AHY sebagai ketua umum adalah personifikasi tokoh muda yang cerdas dan mumpuni dari sisi pengetahuan, trah darah biru karena putra SBY, dan secara personal menarik, khususnya di mata kaum  hawa dan milenial.

Simpati kaum hawa dan para ibu rumah tangga tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut catatan KPU 2019 lalu, terdapat angka 126.000 lebih banyak perempuan dibanding pemilih pria. Memang tidak sampai jutaan perbedaannya. Tapi, dalam sistem demokrasi, beda satu suara pun bisa menjadi faktor pemenang.

Keunggulan komparatif AHY sangat korelatif dengan tingkat magnetik PD. Bagaimanapun juga partai ini pada 2009 sebagai pemenang pemilu dan mengusai legislatif senayan. Mengalahkan partai papan atas seperti PDIP, Gerindra dan Golkar.  Bukan perkara tidak mungkin jika partai ini bangkit lagi, apalagi gerbong struktur pengurusnya banyak diisi anak muda, yang energik dan militan.

Karena positioning PD juga – tak bisa dipungkiri – masih tergolong powerful pasca Gerindra hengkang dari barisan oposisi. Karena itu, tak sedikit di antara elit istana dan penguasa, elite partai rivalitas maupun pihak yang merasa berkepentingan di pilpres, merasa perlu “menggoreng” PD. Tentu dengan target menguasai struktur dan menjalankan misi-misi khusus dan tersembunyi lainnya.

Masalah menjadi runyam, manakala yang berambisi menguasai struktur partai justru datang dari pihak ekternal.  Hal ini mengundang tanya. Secara persyaratan (AD/ART), pendatang baru yang belum ber-KTA jelas tak bisa dibenarkan untuk menggapai posisi puncak. Meski PD bisa menyelenggarakan KLB, tapi tak ada hak bagi pihak eksternal sedikitpun untuk memasuki arena PD manakala berhajat. Karena itu, problem persyaratan tersebut memperjelas motif di balik upaya ambisius bermanuver ke PD dan atau personalitas AHY sebagai Ketua Umum.

Secara simplistis, penggangguan itu setidaknya mengarah pada langkah sistimatis meloyokan PD, sekaligus upaya menenggelamkan figure AHY untuk ikut berkontestasi di RI 1-2. Jika skenario peloyoan PD berhasil, praktis posisi tawar AHY lemah.

Skenario inilah yang tampaknya dikehendaki perancang kudeta atau para elit partai rivalis. Agar, kader mereka melangkah tanpa bayang-bayang figuritas AHY dan atau SBY di PD.  Sekali lagi, selama AHY masih bercahaya, para rivalis kalah cahaya, meski dirinya dari partai besar sekalipun.  

Menyadari posisi kalah cahaya dibanding sinar terang AHY, manuver dan gerilya kasar pihak lawan dimainkan. Organ istana yang dirasa tepat digerakkan, dengan mengeksploitasi para mantan kader dan anasir internal partai.

Sang aktor dari lingkaran Istana bisa jadi sengaja disuguhkan sebagai figure kamuflatif sejumlah pihak yang bermain. Yang jelas mereka, bisa diidentifikasi  sebagai pihak perekayasa kekuasaan demi kelanggengan oligarkinya. Setidaknya inilah manuver picik, diluar jangakauan etika, dijalankan ala doktrin Machiavelli yang menghalalkan segala cara  ke PD.
 
Tentu kita miris melihat perilaku kekuasaan politik seperti ini. Bicara kudeta parpol sebenarnya lagu lama yang tidak bermetamorfosa. Bukankah era Jokowi, eksistensi partai politik koalisi yang berkuasa kebanyakan, terlegitimasi hasil dari kekisruhan dan intervensi.

Jadi jangan heran seperti diyakini banyak pihak, “kualitas” parpol dan pejabat partai eksisting saat ini sesunggunya tidak lebih hanya sekedar proxy boneka dari pemilik modal. Jangan biarkan tata-krama politik nakal itu kian eksis. Beruntungnya dalam kasus di PD gagal total.

Karena itu, jika memang menghendaki posisi kekuasaan tertinggi pilpres 2024, sudah selayaknya para elite istana, elit partai rivalitas ataupun pihak pihak yang berambisi, mengajarkan etika politik santun dan bermartabat. Walaupun itu dirasa mustahil. Fatsoen politik kotor dan tak beretika  harus dihentikan. Tak perlu dilestarikan. Agar kontestasinya lebih berkualitas. Dan ada harapan baru untuk menghadirkan sosok pemimpin yang berintegritas, mumpuni dan sejalan dengan cita-cita konstitusi bagi rakyat bangsa.

Kegagalan kudeta di PD ini tentu membawa angin segar, paling tidak  masih ada harapan kontestasi pilpres dan pemilu kedepan masih diwarnai panorama politik parpol yang sehat, bukan proxy boneka. Yang kelak diharapkan menjalankan peran politiknya dengan baik dan benar sebagai salah satu partai yang berlandaskan pilar demokrasi.

Juga, agar langkah menuju kontestasi diwarnai panorama politik yang sehat. Penuh nuansa persatuan dan harapan. Implikasinya jelas: lapisan bawah (masyarakat) akan ikut nyaman dalam menikmati perjalanan politik bangsa dan negara.

Sebuah renungan lebih jauh, apakah benar manuver organ Istana (KSP) murni manuver perorangan sebagai wujud ambisinya ke gelanggang pilpres belaka? Atau juga layak kita curiga sisi lainnya. Bukankah tidak tetutup kemungkinan barisan ini sebenarnya dirancang untuk melenggangkan gerakan amandeman kelima dengan fokus utama pengabsahan masa jabatan Presiden. Dari dua periode menjadi tiga periode. Jika misi itu dijalankan tentu banyak pihak yang menolak. Semua elemen pasti bergerak, dengan segala benturan dan resikonya.

Masalahnya who knows? Dengan posisi fraksi yang hampir semuanya dikooptasi, kecuali Partai Demokrat dan PKS, maka tidak tertutup kemungkinan gerakan amendeman kelima itu digulirkan. Inilah beberapa catatan yang perlu kita simak lebih jauh. Agar kontestasi menuju 2024 tetap lancar tanpa manuver jahat yang menghalalkan segala cara. Juga, konstitusi tetap terjaga, meski amandemen kelima sebuah keniscayaan.

Namun demikian, amandemen kelima akan proporsional jika arahnya bukan perpanjangan masa kekuasaan RI 1-2. Jika memang ada niat mulia dalam mengetengahkan amandemen kelima, kita bisa melihat kembali posisi MPR RI dan DPD RI yang perlu diperkuat kembali fungsinya.

Kedua lembaga tinggi negara itu kini hanya asesoris dalam sistem ketatanegaraan kita saat ini. Untuk menciptakan perimbangan kekuatan legislatif-eksekutif. Bagaimanapun, dominasi kekuatan salah satu lembaga tinggi negara tidak akan menyehatkan sistem ketatanegaraan.

Karena muaranya mudah ditebak, kebijakan yang diukir dan jalankan dipastikan tidak akan pro rakyat. Rakyat justru menjadi obyek dan korbannya.  Jika itu yang terjadi, lupakan konsep trias politika atau konsep modern teori bernegara. Karena itu menjadi formalitas, fatamorgana belaka.  Akhirnya, sekedar flashback berkontemplasi, bisa jadi, konsep klasik Ratu adil atau Satrio Piningit, dengan kehadiran figurnya, merupakan jawaban dari semua penyelesaian kemelut bangsa ini. Kita lihat saja.

*Penulis adalah Founder Indonesia Berkibar