Jakarta, BIZNEWS.ID - Sebanyak 62 nyawa telah melayang menjadi korban insiden jatuhnya pesawat Sriwijaya Air nomor penerbangan SJ-182, Sabtu (9/1). Tak hanya keluarga dan kerabat, hari-hari ini kita semua berduka. Insiden tragis di perairan Kepulauan Seribu itu kembali menyadarkan kita semua bahwa kematian tak akan pernah mampu kita duga.
Namun, terlepas dari takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, tentu musibah yang dialami pesawat Sriwijaya itu tak lepas dari sebab-musababnya. Hingga kemarin atau tiga hari setelah kecelakaan, tim evakuasi dan investigasi masih terus bekerja. Mereka mengumpulkan jasad korban sekaligus data-data untuk menyibak apa penyebab sebenarnya musibah itu.
Terlalu dini memang jika menyimpulkan bahwa insiden tersebut diakibatkan oleh pesawat yang sudah tua atau tidak mendapatkan perawatan semestinya. Terlalu dini pula jika kita menjustifikasi bahwa kecelakaan tersebut dipicu kru yang cukup lama tak terbang lantaran akibat kelesuan bisnis penerbangan kala pandemi Covid-19. Di tengah situasi penuh kedukaan, sudah selayaknya asumsi-asumsi itu diminimalkan sementara. Apalagi, tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga tengah bekerja sehingga tidak tepat untuk membuat kesimpulan tanpa ada dukungan prosedur investigasi yang kuat.
Toh begitu, sebagai bagian informasi awal, asumsi-asumsi yang juga patut diserap. Sembari menghimpun data di lapangan, tim patut mengonfirmasi asumsi-asumsi yang muncul di publik tersebut ke otoritas terkait. Soal usia pesawat SJ-182 yang tua misalnya karena mencapai 26 tahun, memang menurut hukum yang berlaku di penerbangan tidak berkorelasi dengan faktor kecelakaan. Namun, keyakinan ini pun harus dipahami bukan harga mati. Sejauh mana tingkat perawatan pesawat-pesawat Sriwijaya Air, lebih-lebih di kala pandemi perlu dicek dalam lagi.
Soal kekhawatiran terjadinya pengaratan atau korosi mesin dan katup mesin SJ-182 dari pesawat berjenis Boeing 737-500 itu sebenarnya jauh hari telah diwanti-wanti oleh Federasi Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat (AS). Lewat circular Emergency Airworthiness Directive (EAD), Boeing menyatakan, korosi sangat mungkin terjadi jika pesawat terparkir dalam tempo yang lama seperti kala pandemi mendera saat ini.
Asumsi awal inilah yang patut didalami lagi. Investigasi lengkap di wilayah ini layak dilakukan, apalagi dilihat dari perkembangan bisnisnya, Sriwijaya Air banyak mengalami guncangan dalam beberapa tahun terakhir. Munculnya pandemi Covid-19 kian membuat Sriwijaya makin berat untuk bisa terbang. Dan, kru yang harus dirumahkan serta pesawat yang “dihanggarkan” adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Keterbatasan anggaran membuat perawatan untuk pencegahan korosi seperti wanti-wanti FAA berpotensi tak maksimal diantisipasi.
Terlepas apakah asumsi ini akan menjadi kebenaran atau tidak, faktor lain yang tak bisa dikesampingkan adalah sejauh mana prosedur pengawasan pesawat yang jadi tugas Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan. Sudahkah pengawasan detail sebagaimana mandat peraturan Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) dan UU No 1/2009 tentang Penerbangan sudah dilakukan? Sudahkan pengecekan memenuhi standar Civil Aviation Safety Regulation (CASR) dan manual pabrikan pesawat atau aircraft maintenance manual?
Asumsi-asumsi ini harus diurai demi menciptakan keselamatan penerbangan di masa mendatang. Cukuplah insiden Sriwijaya Air Sj-182 ini menjadi peringatan bersama bahwa nyawa manusia adalah menjadi hak prerogatif Tuhan. Namun, jangan sampai demi kepentingan bisnis atau kepentingan sesaat, nyawa penumpang menjadi taruhan dan seolah menjadi harga murahan. Demikian SINDOnews.com
Photo : google image
LEAVE A REPLY