Jakarta, BIZNEWS.ID - Negara Indonesia tergolong rawan bencana geologi, khususnya bencana gempa bumi. Hal ini berkaitan dengan keberadaan sumber gempa bumi yang terbentuk akibat interaksi empat lempeng tektonik yang terdapat di Indonesia, yaitu, Lempeng Benua Eurasia yang bergerak lambat ke arah tenggara dengan kecepatan sekitar 0,4 cm/tahun, Lempeng Samudera Indo - Australia yang bergerak ke arah utara dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat dengan kecepatan sekitar 11 cm/tahun dan Lempeng Laut Philiphina yang bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan sekitar 8 cm/ tahun (Minster dan Jordan, 1978 dalam Yeats, 1997).
Pertemuan antar lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya cekungan muka, cekungan belakang, jalur magmatik, pola struktur geologi dan sumber gempa bumi yaitu: zona subduksi, zona kolisi, dan sesar aktif.
"Berdasarkan catatan dari Badan Geologi, sejak tahun 2000 hingga 2021 telah terjadi sebanyak 5 hingga 26 kejadian gempa bumi merusak (destructive earthquake) di Indonesia, artinya kejadian gempa bumi tersebut telah mengakibatkan terjadinya korban jiwa, kerusakan bangunan, kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda," ujar Koordinator Mitigasi Gempa Bumi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo, Selasa (4/1) seperti dikutip esdm.go.id.
Tahun 2021, Badan Geologi mencatat telah terjadi sebanyak 26 kejadian gempa bumi merusak di Indonesia. Kejadian gempa bumi merusak pada tahun 2021 merupakan tertinggi dalam kurun 20 tahun terakhir.
Kejadian gempa bumi merusak tahun 2021 diawali dengan gempa bumi di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah tanggal 4 Januari 2021 dan diakhiri oleh kejadian gempa bumi Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku pada tanggal 30 Desember 2021. Kejadian gempa bumi merusak tersebut mengakibatkan jumlah korban jiwa 119 orang meninggal dan 6.803 orang luka-luka.
"Selama tahun 2021 kejadian gempa bumi yang mengakibatkan dampak besar adalah gempa bumi Mamuju tanggal 15 Januari 2021 dengan magnitudo (M 6,2) pada kedalaman 10 km. Kejadian gempa bumi ini mengakibatkan 105 meninggal, 6.489 orang luka-luka dan kantor Gubernur Sulawesi Barat mengalami rusak berat. Selain itu terjadi gerakan tanah cukup masif yang menutup jalur trans Sulawesi di daerah Tappalang, retakan tanah dan likuefaksi," jelas Supartoyo.
Sepanjang tahun 2021, terdapat satu kejadian gempa bumi merusak yang memicu terjadinya tsunami yaitu kejadian gempa bumi Teluk Taluti, Kabupaten Maluku Tengah tanggal 16 Juni 2021. Tsunami dipicu oleh gerakan tanah akibat guncangan gempa bumi dengan magnitudo (M 6,1) pada kedalaman 10 km. Tsunami teramati di Pelabuhan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah dengan tinggi rendaman (flow depth) sekitar 1 meter.
Pada tahun 2021 terjadi gempa bumi swarm (swarm earthquake) pada tanggal 23 Oktober hingga awal bulan November 2021 yang mengakibatkan kerusakan bangunan di daerah Ambarawa, Kabupaten Semarang. Menurut BMKG kejadian gempa bumi swarm ini diakibatkan oleh sesar aktif berarah utara - selatan. Sesar aktif ini sebelumnya belum teridentifikasi.
Kejadian gempa bumi merusak tahun 2021 sebagian besar bersumber dari sesar aktif, dan beberapa yang bersumber dari zona penunjaman. Dari kejadian gempa bumi merusak tahun 2021 itu, terdapat beberapa kejadian gempa bumi yang sumbernya belum teridentifikasi sebelumnya, seperti gempa bumi Tehoru, Maluku Tengah, tanggal 16 Juni 2021, gempa bumi Mamasa tanggal 22 Juli 2021, gempa bumi Tojo-Una-Una (tanggal 26 Juli 2021 dan 28 Agustus 2021), gempa bumi Brebes tanggal 28 September 2021, gempa bumi Bangli-Karangasem tanggal 16 Oktober 2021, gempa bumi Ambarawa tanggal 23 Oktober hingga awal bulan November 2021, gempa bumi Seram Utara tanggal 4 November 2021, dan gempa bumi Kepulauan Selayar tanggal 14 Desember 2021.
Supartoyo mengingatkan, kegiatan penyelidikan gempa bumi harus terus dilakukan guna mengetahui karakteristik sumber-sumber gempa bumi yang belum teridentifikasi.
"Karakteristik sumber-sumber gempa bumi tersebut harus diidentifikasi sebagai masukan untuk melakukan pemutakhiran Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gempa Bumi. Peta KRB Gempa Bumi berguna untuk mendukung kegiatan mitigasi gempa bumi dan masukan pada revisi penataan ruang. Hanya dengan upaya mitigasi, risiko dari kejadian gempa bumi yang mungkin akan berulang di kemudian hari akan dapat diminimalisir," tutup Supartoyo.
Home
Nasional
Tertinggi Selama 20 Tahun, Terjadi 26 Kejadian Gempa Bumi Merusak Sepanjang Tahun 2021
LEAVE A REPLY