Oleh : Dr. Sukaca, SH, M.Si, MH
Prahara yang terjadi di Partai Demokrat menyedot perhatian banyak pihak. Bermula dari pidato Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menenggarai adanya kader yang akan melakukan kudeta terhadap dirinya. Berita yang cukup panas ini membuat kaget dan gaduh banyak pihak karena disebutnya nama Kantor Staf Presiden (KSP). Tidak perlu waktu lama, KSP langsung membantah tudingan tersebut. "Pertemuan yang dilakukan dengan beberapa kader Demokrat tidak ada niat melakukan kudeta, hanya ngopi biasa" ujar KSP.
Jawaban ini sementara waktu dapat mendinginkan suasana, namun ketenangan tidak berlangsung lama. Publik dikejutkan dengan penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) yang berlangsung di Deli Serdang Sumatera Utara yang hasilnya sudah dapat diduga yaitu secara aklamasi mengangkat Moeldoko sebagai Ketua Umum bersama dengan Johny Alen Marbun selaku Sekjen.
Sesuai UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik, hasil KLB yang didalamnya menghasilkan kepengurusan baru, harus didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM agar kepengurusannya secara legal mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
Menyikapi kondisi ini Partai Demokrat Kubu AHY tidak tinggal diam. Dalam posisinya selaku Ketua Umum Partai Demokrat hasil munas tahun 2020, Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itupun menyambangi kantor Kementerian Hukum dan HAM dan Kemenkopolhukam. Langkah ini dapat dimaklumi bagaimanapun sebagai partai politik yang secara legal masih diakui keberadaannya oleh pemerintah sangat berkepentingan untuk menjaga eksistensinya.
Setelah menuai polemik, Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki kewenangan mengakui atau menolak keabsahan kepengurusan partai politik menjadi sorotan masyarakat. Banyak pihak kususnya kubu AHY meragukan netralitasnya karena ada tokoh di pemerintahan didalamnya.
Meski demikian bila dirunut, pada peristiwa kisruh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Matori Abdul Jalil waktu itu sebagai Menhankam tidak serta merta mendapat dukungan dari pemerintah. Kementerian Hukum dan HAM tetap bersikap netral dalam memandang kasus perselisihan di PKB tahun 2001-2002. Dengan kata lain belajar dari kasus tersebut, sebenarnya tidak perlu mencurigai Pemerintah. Dalam era yang serba terbuka ini akan konyol apabila ada pejabat pemerintahan mempermainkan jabatannya.
Meskipun pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM tanggal 31 Maret 2021 telah menolak mengesahkan hasil KLB Deli Serdang, namun faktanya permasalahan Partai Demokrat belum selesai. Hal ini ditandai dengan adanya saling gugat di peradilan. Kubu Deli Serdang menggugat penolakan pengesahan yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM di PTUN Jakarta sedangkan Kubu AHY menggugat di PN Jakarta Pusat. Pertanyaannya adalah bagaimana ujung gugat menggugat tersebut?
Sengketa Partai Politik
Istilah sengketa berasal dari kata “dispute” yang dimaknai sebagai bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan dua pihak atau lebih yang tidak dapat diselesaikan melalui kesepakatan (Bambang Sutiyoso, Yogyakarta, 2006). Dalam peraturan perundangan, tidak terdapat keragaman pemakaian istilah tersebut, ada yang menggunakan istilah perselisihan ada pula yang menggunakan istilah sengketa.
Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 menggunakan istilah perselisihan. Menurut penjelasan pasal 32 ayat (1) UU Parpol, perselisihan parpol terjadi karena perselisihan kepengurusan, b. pelanggaran hak anggota parpol, c. pemberhentian tanpa alasan yang jelas, d, pertanggungjawsaban keuangan dan e, keberatan terhadap keputusan partai politik.
Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang sedang menimpa Partai Demokrat, maka perselisihan yang terjadi adalah masuk dalam kategori perselisihan partai politik.
Ada dua alasan, yakni pertama terkait dengan kepengurusan. Kubu KLB Deli Serdang mendaftarkan kepengurusannya, sementara dilain pihak kubu AHY menganggap KLB kubu Deli serdang illegal sehingga produk kepengurusannya otomatis ilegal.
Kedua, Selain soal kepengurusan parpol, pemberhentian keanggotaan partai oleh kubu AHY kepada 12 inisiator KLB Deli Serdang juga termasuk ranah sengketa parpol. Merujuk pasal 32 UU Parpol, penggugat harus mengajukan keberatan kepada Mahkamah Parpol yang putusannya bersifat final dan mengikat secara internal.
Apabila ada keberatan terhadap keputusan mahkamah parpol, barulah dapat menggugat di pengadilan negeri. Pengadilan negeri memiliki waktu 60 hari untuk memeriksa dan memutuskannya. Putusan pengadilan negeri tidak dapat diajukan banding namun langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan perlu waktu 30 hari Mahkamah Agung memeriksa perkara ini.
Pengadilan negeri maupun Mahkamah Agung akan memeriksa apakah peraturan internal partai telah dilaksanakan dalam pembentukan kepengurusan parpol. Apabila obyek perselisihannya terkait dengan pemberhentian anggota partai, maka yang dinilai adalah apakah mekanisme pemberhentian telah sesuai dengan peraturan parpol atau belum.
Ini berarti AD/ART parpol memiliki nilai sangat penting. Dengan kata lain majelis hakim pengadilan negeri dalam memeriksa perkara menjadikan AD/ART parpol sebagai rujukan utama.
Permasalahan selanjutnya adalah justru terletak pada AD/ART Parpol, menurut kubu Deli Serdang, AD/ART Parpol hasil munas tahun 2020 dianggap cacat hukum, beberapa pengaturannya dianggap melenceng dari UU Parpol. Bila hal ini dipermasalahkan, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang?
Akan lebih bermanfaat apabila permasalahan itu diuji di PTUN dalam tenggang waktu 90 hari sejak disahkan oleh Menkumham. Pasal 5 ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwa perubahan AD/ART merupakan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai dan diajukan kepada Kemenkumham untuk mendapat pengesahan.
Meski demikian bukan berarti penggugat telah mati jalan, ia masih bisa melakukan uji materi ke MA mengingat peraturan parpol adalah peraturan yang derajatnya dibawah undang-undang.
Terlepas dari itu semua, prosedur dan substansi penyelesaian perselisihan parpol yang sederhana dan waktu singkat (90 hari) akan memudahkan penyelesaian perkara, meski demikian kubu Deli Serdang tidak memanfaatkan cara ini, ia terkesan membiarkan Menteri Hukum dan Ham menolak permohonannya.
Setidaknya ada dua alasan mengapa tidak menggunakan cara yang diatur dalam UU Parpol. Pertama, menghindari pemeriksaan di Mahkamah Partai sebab bila melalui Mahkamah Partai sangat disadari hampir dipastikan tidak akan menguntungkan mengingat struktur keanggotaan mahkamah partai bukan dari pihaknya.
Alasan kedua, tunduk kepada pemeriksaan Mahkamah Parpol sama artinya tunduk pada AD/ART Parpol yang juga dipermasalahkan oleh kubu Deli Serdang. Dalam UU Parpol tidak diatur secara tegas apakah setelah melalui putusan Mahkamah Agung, PTUN tidak diberi wewenang memeriksa kasus yang terkait dengan sengketa parpol.
Celah inilah agaknya yang dimanfaatkan oleh kubu Deli Serdang, tidak heran apabila setelah Menteri Yasonna Hamonangan Laoly menolak pengesahan pendaftaran hasil munas. Kubu Deli Serang seolah berbuat diam, padahal pengajuan gugatan ke PTUN oleh Kubu Deli Serdang kepada Menkumham dipandang lebih efektif mengingat tindakan Menteri Hukum dan HAM menolak pendaftaran kepengurusan hasil KLB merupakan produk tata usaha Negara yang bersifat kongkret, individual dan final. (Pasal 1 angka 13 UU NO 5 Tahun 1986 tentang PTUN).
Dalam persidangan majelis hakim akan menilai keputusan Menkumham dari 3 aspek, a. kewenangan b. prosedur dan c. substansi (Pasal 52 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan), Penggugat pasti tahu substansi tersebut karena itu tinggal membuktikan adanya salah satu unsur tidak terpenuhi oleh Menkumham dalam menolak pengesahan hasil KLB Deli Serdang.
Sebagai contoh, pemberhentian komisioner KPU oleh Presiden karena diputus Dewan kehormatan pemilu, tidak menggugat putusan DKPP yang putusannya bersifat final dan mengikat, akan tetapi memilih menggugat keputusan presiden tentang pemberhentianya sebagai komisioner KPU.
Gugatan TUN yang diajukan kubu Deli Serdang juga membuat posisi Pemerintah lebih diuntungkan sebab tidak akan terseret arus adanya dugaan keberpihakan, artinya bila dikemudian hari PTUN memenangkan gugatan Johny Alen Marbun dkk, benar-benar merupakan putusan lembaga peradilan yang mandiri dan obyektif lepas dari intervensi.
Disinilah kelihatan sikap cerdas kubu Johny Alen Marbun dkk yang luput dari radar pantauan kubu AHY yang memilih terkesan bersuka ria atau setidak-tidaknya merasa diatas angin begitu Menkum dan HAM tidak mengabulkan permohonan kubu Deli Serdang. Mereka tidak berpikir masih ada upaya melalui PTUN.
Seakan terkejut dengan manuver kubu Deli Serdang, kubu AHY mengajak publik mengawasi proses persidangan.
Kubu AHY justru mengajukan gugatan melalui peradilan perdata. Tidak jelas, alasan mengapa gugatan perdata harus diajukan, Seandainyapun kemudian Peradilan perdata mengabulkan gugatannya, berarti penyelenggaraan KLB Deli Serdang dinyatakan merupakan perbuatan melawan hukum, apakah putusan hakim perdata menghalangi pemeriksaan peradilan TUN?
Walaupun seorang hakim tidak terikat oleh putusan peradilan lain, namun mari kita berandai-andai, anggaplah PTUN akan menjadikan putusan peradilan negeri sebagai salah satu pertimbangan hukum. Kalau ini yang terjadi, sudah seharusnya kubu AHY berjuang keras agar peradilan perdata menguntungkan penggugat, akan tetapi fakta berbicara lain. Gugatan kubu AHY no 236.G/Pdt.PN.JKT.PST dinyatakan tidak diterima (Net ontvankelije verklaard/NO).
Putusan NO pada dasarnya selain masih bisa dikoreksi melalui upaya hukum juga masih memberikan kesempatan bagi penggugat untuk memperbaiki gugatan ataupun proses persidangan yang oleh majelis hakim dinyatakan belum dipenuhi oleh penggugat, jenis putusan ini belum memeriksa substansi gugatan.
Meski demikian, pendapat majelis hakim dalam putusannya tersebut yang menyatakan penggugat tidak beritikad baik, sudah pasti merugikan pengguat. Pada saat yang bersamaan justru menjadi energi bagi pihak tergugat yang tidak lain adalah 12 (dua belas) orang inisiator KLB Deli Sedang.
Yang pasti perkara ini agaknya belum akan selesai dalam waktu dekat ini, dalam perkara perdata no 236.G/Pdt.PN.JKT.PST sudah diputus namun masih ada kesempatan bagi Penggugat melakukan upaya hukum, demikian juga perkara tata usaha Negara nomor 150/G/2021/PTUN.JKT yang diajukan Kubu Deli Serdang saat ini masih dalam tahap pembuktian. Ini berarti proses pemeriksaan perkara masih panjang padahal pemilu serentak tahun 2024 tahapannya akan segera dimulai. Semoga kedua belah pihak mampu mengambil langkah penyelesaian terbaik dan tercepat agar tidak mempengaruhi pada tahapan pemilu 2024.
*Penulis adalah Alumni Program S3 Ilmu Hukum Unpad bandung dan Dosen STIPAN
Headline
LEAVE A REPLY