Jakarta, BIZNEWS.ID - Di tengah upaya pemerintah mendorong proses pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, terdapat berbagai tantangan yang muncul terutama dari sisi eksternal. Salah satunya tekanan yang kompleks akibat konflik antara Rusia dan Ukraina yang terus mengalami eskalasi sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang mengalami perlambatan, sesuai proyeksi beberapa lembaga dunia.
“Kondisi ekonomi global menghadapi tekanan dari terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina dengan tensi geopolitik yang meningkat. Ini menimbulkan tekanan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam pertemuan musim semi ini, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTa pada Rabu (20/04).
Dalam paparannya pada acara CORE Quarterly Review 2022, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Moh. Faisal mengatakan bahwa sebelum adanya konflik Rusia dan Ukraina, pertumbuhan ekonomi dunia sudah diproyeksikan melambat 1 persen dibanding tahun 2021. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan lebih signifikan lagi setelah terjadinya konflik.
“Jadi akhir tahun lalu sudah diproyeksi pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat dibanding 2021. Sebelum konflik, ekonomi diproyeksi melambat 1 persen dari 5,9 ke 4,9. Proyeksi OECD setelah konflik bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia lebih dari 1 persen,” papar Faisal seperti dikutip Kemenkeu.go.id.
Momentum pemulihan ekonomi global mengalami tekanan yang berat akibat eskalasi konflik Rusia dan Ukraina. Tidak hanya itu, dampak negatif seperti kenaikan harga-harga komoditas juga tak terelakkan. Tekanan geopolitik ini pun turut membuat proyeksi inflasi dikoreksi.
“Proyeksi inflasi di negara maju naik dari 3,9 ke 5,7 dan negara negara berkembang inflasinya juga melonjak dari 5,9 ke 8,7. Jadi ini tadi yang dalam pertemuan kita dengan berbagai negara-negara emerging dengan IMF disampaikan yang seharusnya naik malah turun yaitu pertumbuhan ekonomi yang seharusnya diharapkan naik malah mengalami tekanan menurun dan yang seharusnya turun malah naik, yaitu inflasi yang diharapkan menurun malah justru meningkat,” ungkap Menkeu.
Dalam kesempatan yang sama, hal senada juga diungkap Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam. Menurutnya, saat ini kondisi inflasi global sudah merangkak naik. Secara rata-rata, tingkat inflasi di negara-negara G20 peningkatannya cukup drastis dan yang terbesar terjadi pada negara-negara maju.
“Penyebab kenaikan inflasi di negara-negara maju ini pertama disebabkan oleh kenaikan demand yang tidak diikuti dengan ketersediaan pasokan sebab pandemi memicu global supply chain disruption. Di Amerika Serikat, inflasi sudah mencapai 7 persen dan merupakan yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Demikian juga di Jerman, tingkat inflasinya sangat tinggi dan tertinggi selama 30 tahun terakhir. Di Turki bahkan mencapai di atas 60 persen, sudah hyperinflation. Jika kita bandingkan dari sisi inflasi, Indonesia relatif baik-baik saja meski sudah merangkak naik dibandingkan tahun 2021,” tutur Piter.
LEAVE A REPLY