Jakarta, BIZNEWS.ID - Sejumlah pengamat dan pakar hukum menemukan kelalaian penulisan yang fatal, setidaknya di dua pasal UU Cipta Kerja, yakni Pasal 6 dan Pasal 175. Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha merujuk ke Pasal 5 ayat (1). Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) itu tidak jelas, sebab dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Kemudian, ada pula kelalaian pengetikan dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja. Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (5) berbicara soal ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum diatur dalam peraturan presiden. Beleid itu merujuk ke Ayat (3) tentang tindakan yang dapat dikabulkan secara hukum.
Padahal, Ayat (3) tidak berbicara soal permohonan yang dapat dikabulkan hukum. Hal tersebut tertuang di Ayat (4), sehingga semestinya Ayat (5) merujuk ke Ayat (4).
Sebelum akhirnya resmi diundangkan, prosedur formal UU Cipta Kerja pun dipertanyakan. Setelah disahkan di rapat paripurna 5 Oktober, jumlah halaman UU Cipta Kerja terus berubah-ubah.
Ia bermula dari dokumen setebal 905 halaman yang disebarluaskan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR kepada wartawan saat hari pengesahan. Kemudian, berubah menjadi setebal 1.035 halaman, 812 halaman, dan terakhir 1.187 halaman saat diundangkan.
Polemik bertambah dengan ditemukannya penghapusan pasal, yaitu ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang diserahkan DPR ke Istana, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Dinilai ugal-ugalan
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, kelalaian penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan. Dia mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
"Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya. Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," tuturnya.
Dia pun menyebut kelalaian penulisan yang cukup fatal ini bisa memperkuat alasan bagi publik melakukan gugatan uji formal UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, permasalahan dalam UU Cipta Kerja bukan hanya soal substansi atau materiil, tapi juga pada prosedurnya yang sejak awal dinilai cacat formil.
"Meski tidak otomatis, ini akan memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan," kata Bivitri.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, kekeliruan pengetikan dalam UU Cipta Kerja hanya sebatas permasalahan administrasi. Ia memastikan kelalaian pengetikan itu tidak memengaruhi implementasi UU Cipta Kerja.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno dalam keterangan pers, Selasa (3/11/2020).
Ia menambahkan, sedianya setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan peninjauan dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis. Kementerian Sekretariat Negara juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk menyepakati perbaikan UU Cipta Kerja.
"Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," ujar Pratikno.
Sementara itu, Bivitri menyatakan kelalaian penulisan di UU Cipta Kerja tak bisa diperbaiki sembarangan. Dia mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan kepastian hukum agar pasal-pasal tersebut bisa dilaksanakan.
"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu. Karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja," ucap Bivitri. Demikian Kompas.com
Headline
LEAVE A REPLY