Jakarta, BIZNEWS.ID - Pembangunan infrastruktur jaringan listrik di kawasan Asia Tenggara (ASEAN Power Grid) diharapkan mampu membantu meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di wilayah tersebut. Kebijakan ini akan mendorong pencapaian komponen EBT dengan target peningkatan kapasitas daya terpasang EBT di ASEAN hingga 35% di tahun 2025.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, pemenuhan terget tersebut sesuai dengan Rencana Aksi Kerja Sama ASEAN (ASEAN Plan of Action of Energy Cooperation/APAEC). "Target ini akan mudah dicapai melalui komitmen kuat dari anggota ASEAN untuk bersama-sama mengintegrasikan strategi dan inisiatif pengembangan energi bersih dan terbarukan karena ini adalah dasar yang kuat untuk kesuksesan transisi energi di masa depan yang lebih berkelanjutan, dan sangat penting bagi generasi kita berikutnya," kata Arifin pada acara Singapore International Energy Week (SIEW) di Singapura, Senin (25/10) seperti dikutip esdm.go.id
Teknologi dan informasi teknologi energi, sambung Arifin, dinilai menjadi aspek penting dalam mendukung pemanfaatan energi di kawasan ASEAN. "Kami sangat berharap ke depan, negara-negara ASEAN dapat saling terhubung melalui ASEAN Power Grid untuk menciptakan kawasan ekonomi regional yang berdaya saing tinggi di bidang pembangunan infrastruktur, kerjasama energi, serta teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) serta menuju net zero emission," harapnya.
Hingga saat ini sudah ada beberapa proyek interkoneksi jaringan sebagai bagian dari mekanisme ekspor-impor listrik EBT di ASEAN, seperti antara pulau Malaysia - Singapura (Plentong - Woodlands); Thailand - Pulau Malaysia (Sadao - Chupping, Khiong Ngae - Gurun), Indonesia - Malaysia (Kalimantan Barat - Sarawak), dan Thailand - Laos. "Saya yakin kerjasama di antara negara-negara anggota ASEAN akan meningkat dalam waktu dekat," ungkap Arifin.
Menurut Arifin, penerapan teknologi tepat guna diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan energi terbarukan dan mengantisipasi sifat intermiten energi terbarukan, seperti matahari dan angin. "Selain smart grid, ada smart metter, dan Battery Energy Storage System (BESS). Penerapan efisiensi energi ini punya pengaruh dalam efisiensi energi pembangkit," tambahnya.
Adanya inovasi smart grid mampu mengurai permasalahan sebagian besar dari pembangkit listrik. Penerapan sistem energi berkelanjutan pada smart grid akan mendukung penerapan EBT yang efisien dan andal karena mampu menganalisis beban dan produksi listrik. "Saat ini terdapat 9 proyek smart grid yang menggunakan berbagai teknologi smart grid seperti two-way communication, smart communication, smart microgrid, dan Advanced Metering Infrastructure (AMI)," beber Arifin.
Arifin menyoroti rencana Indonesia mengembangkan smart grid yang disebut Nusantara Grid mulai tahun 2025. Ide tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan perlu menyediakan akses energi bagi masyarakat lokal. "Super grid juga dimaksudkan untuk mengatasi ketidaksesuaian antara sumber daya energi terbarukan dan lokasi daerah permintaan listrik yang tinggi," jelasnya.
Komitmen dan Solusi Indonesia
Indonesia sendiri berkomitmen mendorong negara-negara di ASEAN untuk mencari sumber EBT dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Termasuk rencana ekspor listrik berbasis energi surya ke Singapura untuk memenuhi kebutuhan listrik di negara tersebut. "Indonesia akan terus mendukung anggota ASEAN lainnya memanfaatkan energi terbarukan atau energi lainnya untuk kebutuhan dalam negeri masing-masing negara," tegas Arifin.
Melalui kerja sama ini, Indonesia berharap mampu ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi dapat tercapai melalui teknologi, bantuan keuangan serta peningkatan kapasitas. "Kita bersama-sama harus bahu membahu, untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih hijau bagi generasi muda kita," harap Arifin.
PLTS sendiri diproyeksikan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan nasional di masa mendatang. Terkait isu intermitensi, Arifin memberikan solusi melalui kombinasi penyimpanan misalnya produksi hidrogen atau penyimpanan pompa selama kelebihan produksi Solar PV akan membantu produksi listrik selama beban puncak. Sistem ini lebih lebih efisien dibandingkan dengan yang menggunakan solar/gas pada saat beban puncak.
"Salah satu teknologi untuk mengatasi masalah intermittency yang sedang diterapkan di Indonesia adalah mengembangkan floating solar PV yang berdampingan dengan pembangkit listrik tenaga air. Salah satunya PLTS Terapung Cirata sebesar 145 MW yang merupakan PLTS Terapung terbesar di ASEAN," jelas Arifin.
Keberhasilan pembangunan PLTS Terapung Cirata ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk mereplikasi pengembangan PLTS terapung di waduk dan danau lain dengan potensi total sekitar 28 Giga Watt di 375 lokasi.
Guna mengimplementasikan proyek-proyek energi rendah karbon, Arifin memberikan solusi kebijakan jangka pendek ke negara-negara ASEAN demi menciptakan ketahanan energi yang kuat. Pertama, memperbaiki sistem pembangkitan dengan menggunakan teknologi rendah emisi. Kedua, menghindari emisi dengan menggunakan teknologi CCS dan terakhir mendukung pengembangan energi terbarukan dan bersih.
Arifin juga mengharapkan keterlibatan sektor swasta selain lembaga keuangan mampu mengurai permasalahan dari segi pembiayaan proyek EBT. Di samping itu diperlukan kebijakan dan regulasi yang lebih baik untuk menciptakan iklim investasi yang baik. "Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," ungkapnya.
Di Indonesia, tutup Arifin, Peraturan Menteri tentang PLTS Atap diterbitkan sebagai insentif bagi masyarakat yang memasang PLTS Atap. Kebijakan Pajak Karbon dimaksudkan untuk mengendalikan peningkatan emisi GRK dan mengubah perilaku kegiatan ekonomi yang berpotensi menghasilkan emisi GRK. "Pajak karbon (cap & tax) akan diterapkan secara terbatas untuk pembangkit listrik tenaga batubara mulai 1 April 2022," jelasnya.
Headline
LEAVE A REPLY