Jakarta, BIZNEWS.ID - Banyak perusahaan tekstil yang tumbang dan terpaksa menutup usahanya atau melakukan berbagai langkah efisiensi akibat penurunan produksi yang signifikan. Salah satunya adalah penutupan pabrik BATA yang melakukan penutupan pabrik dan melakukan PHK ribuan karyawannya.
Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara
terdapat 6 pabrik tekstil (PT S Dupantex, PT Alenatex, PT Kusumahadi Santosa,
PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, dan PT Sai Apparel) yang telah
gulung tikar dan menyebabkan lebih dari 11 ribu pekerja mengalami PHK.
Sementara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat bahkan
mencatat sudah ada 22 pabrik yang tutup di daerah Jawa Barat.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Prof. Dr.
Ariawan Gunadi, S.H., M.H mengatakan Pemerintah harus segera mengambil beberapa
langkah strategis untuk menyelamatkan industri tekstil. "Pemerintah perlu melakukan optimalisasi
kebijakan instrumen trade remedies
terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh China sangatlah penting. Hal ini
dapat dimulai dengan menerapkan kebijakan safeguard berupa Bea Masuk Tindakan
Pengamanan (BMTP) Kain," ujar Ariawan di Jakarta, 27 Juni 2024.
Menurutnya kebijakan ini bertujuan melindungi industri dalam
negeri dari lonjakan impor kain dari China yang mengakibatkan kerugian signifikan.
Pelaksanaan kebijakan ini dapat diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Selain itu, lanjut Ariawan, pemerintah juga perlu
mengimplementasikan kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Kebijakan ini
dirancang untuk menyeimbangkan dampak harga rendah yang tidak adil dari barang
impor yang dijual di bawah nilai pasar atau biaya produksi.
Cara lain untuk menyelamatkan industri tekstil adalah dengan
penerapan kebijakan countervailing duties.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengimbangi subsidi yang diberikan oleh
pemerintah asing kepada eksportir mereka. "Langkah-langkah strategis ini,
jika dilaksanakan secara efektif, dapat membantu melindungi industri dalam
negeri dari praktik perdagangan yang merugikan dan meningkatkan daya saing
ekonomi Indonesia di pasar global," Guru Besar Universitas Tarumanagara
ini.
Menurutnya, Pemerintah RI juga perlu mengoptimalkan sistem
pemeriksaan bea cukai dengan mengimplementasikan teknologi pemindai berbasis
kecerdasan buatan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan
akurasi dalam proses pemeriksaan barang yang masuk dan keluar dari negara.
Dengan pemanfaatan kecerdasan buatan, potensi kecurangan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab dapat diminimalisir dan upaya penyelundupan barang ilegal
bisa dideteksi lebih awal.
Ariawan menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan
adanya ancaman terhadap industri tekstil nasional diantaranya adanya kelebihan
pasokan yang menyebabkan gelombang ekspor melebihi permintaan, khususnya di
China, ketegangan geopolitik yang semakin meruncing telah memicu terjadinya
fragmentasi hubungan internasional, nilai tukar rupiah mengalami penurunan yang
signifikan terhadap dolar Amerika Serikat yang hampir mencapai rekor tertingginya
sepanjang sejarah di kisaran 16.800 per dolar AS dan meningkatnya impor ilegal
dengan model borongan/kubikasi serta adanya mafia impor yang menyebabkan
penumpukan kontainer di pelabuhan.
Dampak nyata yang dirasakan industri tekstil adalah adanya
ketidakstabilan dalam industri ini yang menyebabkan perusahaan terpaksa
mengurangi jumlah karyawan untuk menekan biaya operasional. Karena industri
tekstil berkontribusi besar terhadap ekspor nasional, maka gejolak di sektor
ini dapat mengurangi volume ekspor, yang pada akhirnya mempengaruhi devisa
negara.
"Ketidakstabilan dalam sektor tekstil dapat mempengaruhi
rantai pasok dari berbagai industri lain yang bergantung pada produk tekstil.
Akibatnya, keseluruhan ekosistem industri yang saling terkait menjadi terganggu,
menciptakan efek domino berkepanjangan yang dapat merugikan berbagai sektor
ekonomi yang lebih luas," tandas Ariawan.
LEAVE A REPLY