Home Hukum Membedah Program PRESISI di Kasus Polisi Tembak Polisi

Membedah Program PRESISI di Kasus Polisi Tembak Polisi

0
SHARE
Membedah Program PRESISI di Kasus Polisi Tembak Polisi

Keterangan Gambar : Rommy Edward Pryambada, SS, M.IKom, CCPS, CRP (Pengamat Keamanan Publik)

BIZNEWS.ID - Jakarta, Bicara tentang kasus penembakan polisi yang terjadi di Komplek Duren Tiga, dilihat dari prespektif keamanan, baik di lingkup TNI atau Polri tentu mempunyai standar operation prosedur (SOP). Ada konteks SOP yang harus dilakukan. Misalnya soal mengeluarkan senjata, yang memiliki standarisasi tersendiri.

Seorang aparat mendapat ancaman, sekalipun ancaman itu berakibat fatal terhadap petugas, tidak boleh langsung mengeluarkan senjata dan mengarahkannya. Ada prosedur tembakan peringatan terlebih dahulu.

Menyoal kasus ini baru 3 hari setelah kejadian baru ditangani. Tentu saja Polri harus berhati-hati dalam kasus menanganinya. Ketika kasus ini berada di ranah hukum maka biarkanlah langkah-langkah hukum ini diselesaikan. Sangat cepat dan akurat dengan langsung menonaktifkan pejabat Polri dan melakukan olah TKP.

Dalam suatu instutisi, baik TNI atau Polri ada sebuah hirarki yang tidak bisa dikesampingkan; perintah atasan “menjadi kewajiban” bagi para bawahannya.

Di dunia keamananpun dilakukan hal yang sama. Apa yang diperintahkan oleh atasan adalah menjadi keharusan untuk dilaksanakan. Persoalan nanti apakah benar atau tidak, ini masuk ke ranah propam tersendiri.

Opini masyarakat terhadap instansi Polri menimbulkan ketidakpercayaan karena lambannya penanganan kasus ini. Ini menjadi tantangan bagi instansi kepolisian, bagaimana menuntaskan kasus ini secara cepat, terang benderang dan mengambil langkah-langkah yang signifikan.

Kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa seluruh masyarakat tidak menyukai institusi Polri. Persoalan masyarakat yang tidak puas atas kinerja Polri, menjadi pekerjaan rumah, bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Polri akan memperlakukan sama dalam penanganan semua kasus yang ditangani dan berlaku bagi aparat penegak hukum sendiri. Kita patut mengapresiasi terhadap Kapolri, keterbukaan itu sudah dilakukan dengan melakukan publish terhadap masyarakat umum. Terlepas terhadap masyarakat yang tidak puas atas kinerja kepolisian, menjadi persoalan lain. Perlu digaris bawahi institusi Polri melalui Pak Kapolri telah melakukan penanganan kasus ini dengan cepat dan baik.

Terkait SOP tentang penggunaan senjata, pihak kepolisian telah melakukan physikotes terhadap anggotanya secara procedural. Yang perlu dibenahi bukan undang-undangnya, melainkan ditambahkan aturan atau poin-poin dalam melakukan test physikotes tersebut.

Yang paling penting adalah melakukan pelatihan kembali atau ada kalender pengetesan physikotes yang harus rutin dilakukan untuk memantau apakah petugas masih layak memegang senjata.
Polri PRESISI adalah program kerja Pak Kapolri yang memuat 16 pont di dalamnya. Salah satunya Polri harus humanis, harus lebih dekat dengan masyarakat, Polri harus bertanggung jawab. Tanpa pengawasan dari masyarakat, program tersebut akan sia-sia.

Kinerja polisi pun sekarang sudah cukup baik, pelayanan terhadap masyarakat sudah cukup meningkat, minimal itu menjadi tolak ukur bagimana Polri PRESISI itu terimplementasi dengan baik.

Mengubah citra itu tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang di sebuah institusi kepolisian. Karenanya Polri PRESISI menjadi stackholder bagi instasi kepolisian yang harus didukung oleh masyarakat. Bahkan institusi Polri sekarang sudah ontrack.

Penetapan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka adalah bukti nyata institusi Polri melalui Pak Kapolri melihat kasus ini adalah sebagai pembuktian bahwa program PRESISI itu benar-benar dilaksanakan. Tentu saja kita harus mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan kepolisian dan menempatkan kasus ini sebagai prioritas untuk mengembalikan kepercayaan terhadap masyarakat. (Tim) 

Video Terkait: