Oleh: Riyanto
Menjelang peringatan hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia ke – 76 ini merupakan memomentum yang tepat untuk melakukan intstrospeksi dalam mengkaji nilai kebangsaan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat dan bagian dari masyarakat dunia yang tengah dilanda pandemic Covid-19 dalam situasi yang global.
Di saat pergantian tahun hijriah, yang berarti mengingatkan kepada arah perubahan “move-on” ke arah sebuah usaha dan kebangkitan untuk mencapai kemashuran dan kejayaan yang masih tertunda karena permasalah internal bangsa yang masih belum kunjung selesai. Selain itu juga merupakan perubahan hitungan delapan tahunan yang diyakini tahun ini merupakan awal dari sebuah harapan yang terpedam dan belum terealisasikan.
Kebangkitan dari keterpurukan, ketertinggalan dan kemiskinan serta wabah pandemik yang masih menghantui sebagian masyarakat dunia, terlepas pandemik itu ulah manusia atau sebuah peringatan dan Tuhan yang menciptakan alam semesta. Yang jelas semua itu harus ada ikhtiar manusia untuk keluar dari permasalahan yang berkepanjangan, karena kondisi yang saling serang saling menyalahkan untuk menunjukkan siapa yang paling berperan dan paling berjasa dalam sebuah kehidupan sosial dan kemasyarakatan berbangsa dan bernegara.
Memang sebuah problematika sebagai sebuah Negara Kebangsaan (national-stage) Indonesia modern pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah panjang pencarian identitas nasional yang dilakukan oleh para elit pergerakan sejak awal abad-20. Meskipun secara resmi momentum Proklamari 1945, diperingati bangsa Indonesia sebagai hari kebangkitan, pembebasan dan kemerdekaan, namun format Indonesia sebagai sebuah Negara modern yang dapat dibingkaikan pada seluruh unsur bangsa yang amat beragam, etnis, ras, suku bangsa, golongan, kelompok, lingkungan territorial dan juga keragaman agama belum terbentuk secara utuh. Hal ini memang merupakan ciri khas dari karakteristik bangsa Indonesia sebagai bagian bangsa dunia (Kaelan, 2018).
Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 dapat dipandang sebagai upaya mentransformasikan bentuk nasionalisme Indonesia dari Cultural Nationalism ke dalam Political Nationalism yang dianggap sebagai nasional modern sebagaimana berkembang di negara- negara Barat (Kaelan, 2018). Meskipun dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan dan penyempurnaan berkaitan dengan perbedaan latar belakang kebudayaan, adat istiadat dan agama yang mendorong perbedaan output nasionalisme.
Perubahan perkembangan nasionalisme modern Indonesia sebagai suatu Nation-State dari kesadaran dari berbagai elemen sosial budaya, keanekaragaman budaya, kelompok, ras, etnis, golongan, dan juga berbagai macam agama menentukan kesamaan pandangan, cita-cita, dan tujuan dalam suatu kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Dari sini rasa kebangsaan itu dipertanyakan kembali baik sebagai individu, keluarga dan masyarakat berbangsa dan bernegara untuk mengisi kemerdekaan, membangun dan mengejar ketertinggal dan bangsa lain dan melanjutkan perjuangan itu karena adanya kesadaran bangsa masa depan bangsa dan negara terletak di generasi muda bangsa. Artinya di dalam mekanisme ini ada tugas dan kewajiban yang diikuti hak sebagai akibat pertanggungjawaban logis.
Dalam situasi bangsa yang sedang membangun dan mengejar ketertinggalan, sudah tentu membutuhkan negeri dan biaya yang tidak sedikit serta konsentrasi tenaga dan pikiran yang ekstra. Berbagai daya upaya dipertaruhkan untuk menjaga dan menguatkan kepada masyarakat bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang dianugeragi Tuhan Yang Maha Esu berupa kekayaan alam berlimpah, dengan letak geografis yang strategis untuk menjadi bangsa yang besar, modern dan maju sejajar dengan bangsa lainnya.
Kekayaan yang berlimpah memberikan peluang bangsa untuk semakin mengenali potensi yang tersimpan dan perlu mendapat sentuhan agar kekayaan itu memiliki nilai tambah. Artinya agar memiliki nilai ekonomi dari semula mengekspor bahan mentah dapat ditingkatkan untuk mengekspor barang setengah jadi atau bahkan barang jadi.
Komoditi yang semula harus dioleh di luar negeri, perlu diupayakan agar anak bangsa dapat menstransfer ilmu pengetahuan dan teknologinya sehingga komoditi itu dapat diolah di dalam negeri, artinya timbul penghematan biaya dan tenaga dan peningkatan kemampuan dan daya saing bangsa yang juga berarti sebagai bentuk Ketahanan Nasional Bangsa.
Visi untuk menjadi bangsa yang maju harus dikuatkan kembali, dalam kerangka persatuan nasional di atas keanekaragaman budaya, adat istiadat dan kepercayaa. Agar kehidupan sosial bangsa terangkat dan terjaga dalam meningkatan citra bangsa di mata dunia internasional. Pada saat seperti ini segala harapan dan keinginan tercurahkan dalam usaha pembangunan nasional bangsa yang hasil-hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai hasil pembangunan.
Suksesi kepemimpinan nasional juga harus dapat berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang demokratis. Kondisi ini perlu suasana kebatinan yang dalam, kedewasaan yang ikhlas dan sportivitas yang tinggi, artinya semua pihak harus dapat menahan diri dan selalu berusaha memberikan contoh dan tauladan kepada setiap komponen bangsa.
Dalam kondisi ini yang masih sangat memprihatikan dalam perjalanan bangsa Indonesia yang telah dirintis sedemikian rupa oleh founding fathers. Masih banyak di kalangan masyarakat atas, menengah dan bawah yang ingin selalu ditokohkan, dituakan atau didengar kata-katanya, namun dalam sikap sehari-hari tidak mencerminkan ketokohannya, ketuaannya dan kepemimpinannya. Masyarakat semakin ke depan semakin dapat membedakan dan bahkan dapat merasakan hakekat yang sesungguhnya. Sehingga ketokohan, ketuaan dan kepemimpinan itu juga akan menjadi boomerang bagi orang-orang yang hanya minta ditokohkan, dituakan atau dianggap pemimpin.
Kebijakan, kedewasaan, dan pelajaran suksesi kepemimpinan akan berjalan dengan mekanisme yang ada melalui perjalanan waktu serta seleksi alam yang akan memberikan petunjuk bagaimana perjalanan sebuah kepemimpinan itu. Disinilah moralitas antar generasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting bagi terwujudnya tujuan negara.
Sehinngga nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai kenegaraan, nilai-nilai kepemimpinan menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi dan diformulasikan menjadi lebih objektif lagi untuk memudahkan masyarakat untuk menjabarkan dalam tingkah laku secara kongkrit, karena hal demikian ini akan dihadapkan kepada norma dan etika serta hukum dalam melengkapi sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk Tuhan. Walaupun etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang, namun etika sangat bermanfaat dalam menggapai kebahagian hakiki dalam hidup.
Masih banyak tokoh masyarakat yang tidak mau menggunakan masker ketika berdada di tempat umum atau ditengah kerumunan orang banyak padahan pandemi Covid-19 masih berkecamuk. Atau tokoh yang gencar melakukan kritikan-kritikan melalui cara- cara tertentu yang berusaha untuk mempengaruhi pikiran masyarakat untuk melakukan tindan-tindakan dan model yang kurang etis dilakukan. Padahal pesan yang disampaikan dalam penggunaan masker merupakan cara yang tepat untuk saling melindungi satu sama lain seperti yang didengung-dengungkan, “maskerku melindungimu dan maskermu melindungiku”.
Suhu politik yang menambah situasi yang berfluktuasi terhadap situasi nasional yang semestinya kondusif untuk mendukung situasi pembangunan nasional di segala bidang. Kecemburuan untuk dikenal di lingkungan masyarakat sosial dan politik menjadi isu yang muncul tanpa adanya pesan dan maksud yang jelas, apa maksudkan oleh para elit politik. Akibatnya masyarakat umum menjadi bias, seolah pesta demokrasi lima tahunan sudah dimulai. Padahal masih sangat premature untuk membicarakan hal itu.
Munculnya beberapa survey bermunculan dan saling memberikan ranking elektabilitas berdasarkan hasil survey, sehingga kontestan yang merasa kalah melakukan hal-hal yang diluar dugaan, seperti perang baliho atau spanduk-spanduk untuk saliang berebut untuk meningkatkan elektabilitas. Anehnya juga beberapa baliho bermunculan tanpa pesan yang jelas apa pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat, dan benefitnya terhadap prosesi kenegaraan. Hal yang terjadi justru menjadi berbalik dengan berbagai opini yang bermunculan yang justru merugikan secara elektabilitas dan finansial pada kondisi bangsa yang masih berjuang mengatasi Covid-19.
Peran partai politik yang jumlah semakin meningkat juga merupakan pertanyaan dalam sebuah demokrasi yang mesti di kaji ulang. Beberapa partai politi mulai bergeser perannya dan tidak lagi mewakili kepentingan masyarakat secara umum, tetapi bergeser kepada kepentingan kelompok, golongan dan bahkan kepntingan keluarga. Memang harus diakui bahwa politik lebih banyak berorientasi kepada aspek kekuasaan, kebijaksanaan, pembagian serta alokasi dalam hubungan berbangsa dan bernegara.
Rakyat memang membutuhkan pendidikan sosial, politik, ekonomi dan keadilan yang elegan, dinamis serta ketokohan dan kepemimpinan yang menunjukkan seorang tokoh dan seorang pemimpin. Oleh karena itu sudah semestinya para elit bangsa atau para tokok dan pemimpin nasional sudah semestinya memberikan suguhan yang sportif dan menarik untuk dapat dipelajari oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Jangan ajari masyarakat dengan model-model nepotism, kolusi dan koruptif agar kesadaran nasional kembali muncul dan hadir serta mampu memberikan semangat dan motivasi generasi muda.
Kejayaan bangsa di masa lalu hanya akan menjadi dongen dan cerita yang tidak akan kunjung tiba dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata. Apalagi kalau para tokoh bangsa, para pemimpin dan para penutan yang tidak mau kembali secara arif memberikan pelajaran tentang kearifan, ketokohan dan kepemimpinanya yang pernah dilakukan dan menjadi prestasi ketika pada zamannya.
Perlu di sadari bahwa usia, kesempatan dan situasional akan lapuk dan bergeser seiringin dengan berjalannya waktu. Tumbuhkan situasi yang kondusif agar terjadi persaingan wajar dalam diri generasi muda yang sudah semestinya menggantikan generasi tua. Generasi muda itu perlu sentuhan, pemahaman dan tekad yang nyata untuk membangun masa depan bangsa yang mutikultur, multiras dan multi agama, dengan latar belakang yang berbeda pula.
Sehingga tidak perlu harus mencarikan lahan yang tepat menurut pandangan generasi tua untuk karir dan masa depan anak cucunnya. Biarkan mereka tumbuh dan memberikan warna kehidupan bangsa di masa depan, agar masa depan semakin berwarna, semakin demokratis yang berkeadilan dalam suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang penuh suasan religi ini.
Penulis adalah Staff Dosen STIKOM InterStudi Jakarta
e-mail: riyantocawas67@gmail.com
Headline
LEAVE A REPLY