Jakarta, BIZNEWS.ID - Pemerintah dan para elite politik sering menyebut Korea Selatan (Korsel) ketika membicarakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak lanjutan 2020 di Tanah Air. Korsel dijadikan contoh sebagai negara yang berhasil menggelar pemilu pada 15 April 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19.
Namun, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini menegaskan, Korsel melaksanakan pemilu ketika tidak ada penambahan kasus baru infeksi Covid-19 di negaranya. Angka kasus positif Covid-19 saat itu dilaporkan berjumlah 24 yang berasal dari warga Negeri Ginseng yang baru pulang dari luar negeri.
"Kita ini tidak, kita berpilkada ketika angka positif (Covid-19) meroket, dan belum ada tanda-tanda akan melandai," ujar Titi dalam diskusi publik virtual, Rabu (30/9).
Menurut dia, mayoritas negara-negara yang menyelenggarakan pemilihan, baik pemilihan nasional, pemilu lokal, ataupun referendum, dilakukan ketika pandemi mengalami penurunan atau dapat dikendalikan. Akan tetapi, Indonesia menggelar pilkada ketika jumlah kasus harian penambahan positif mengalahkan rekor hari sebelumnya.
"Dan ini anomali sendiri di tengah tren kita negara-negara yang berhasil atau sukses menyelenggarakan pemilihan di tengah situasi pandemi," kata Titi.
Titi melanjutkan, anomali penyelenggaraan Pilkada 2020 dalam masa pandemi Covid-19. Ia mengatakan, pelaksanaan pilkada di Indonesia mengandalkan inovasi pengaturan hanya melalui Peraturan KPU (PKPU). Sedangkan, dasar hukum yang kuat adalah prasyarat utama pengaturan pilkada di masa pandemi, guna menjamin prosedur, tata cara, dan mekanisme pemilihan berdasar protokol kesehatan
Titi mengatakan, regulasi pelaksanaan Pilkada 2020 hanya menggantukan kepada PKPU. Padahal PKPU itu terdapat banyak batasannya dan tidak bisa menjangkau semua hal yang menjadi prasyarat pemilihan secara sehat.
Di samping itu, lanjut dia, PKPU pun sangat terbatas dalam mengatur skema sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan secara tegas dan memberikan efek jera. PKPU tidak mampu mengatur special voting arrangements atau inovasi khusus pemungutan dan penghitungan suara yang berbeda dengan pengaturan dalam UU. Misalnya perpanjangan waktu pemungutan suara, kotak suara keliling, pemungutan suara via pos, atau rekapitulasi suara elektronik.
"Jadi materinya itu mestinya ada di undang-undang, tetapi di kita semua itu digantungkan pada peraturan KPU yang notabene banyak batasannya," kata Titi.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan, narasi yang mengagetkan dari pemerintah adalah Pilkada 2020 dilanjutkan karena tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 berakhir. Padahal, pilkada sangat mungkin ditunda karena pemerintah belum berhasil mengendalilan pandemi.
"Beda antara pandemi terkendali dan pandemi berakhir, kalau berakhir itu bisa lama sekali, bisa lima tahun mungkin. Tapi kalau terkendali artinya terkendali itu kasusnya menurun," ujar Pandu dalam diskusi publik virtual, Rabu (30/9).
Menurut dia, narasi pilkada tidak ditunda karena tidak tahu kapan pandemi berakhir dipilih agar alasan pemerintah tidak bisa terbantahkan. Pandu mengatakan, penundaan pilkada seharusnya memungkinkan apabila pandemi Covid-19 belum terkendali.
Pandemi Covid-19 bisa disebut terkendali saat kasus orang terpapar Covid-19 menurun, dengan demikian upaya pencegahan dapat dikatakan berhasil. Di samping itu masyarakat tetap harus memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
"Dan itu kalau terjadi pada 85 persen penduduk, patuh atau melakukan perilaku seperti itu maka pandemi ini bisa terkendali, kita bisa lebih leluasa beraktivitas tanpa kekhawatiran berlebih," kata Pandu.
Ia melanjutkan, apabila pandemi terkendali, penyelenggaraan Pilkada 2020 juga bisa dilaksanakan lebih tenang dan berkualitas. Namun, sampai saat ini, Pandu menegaskan, orang di negeri ini tidak ada yang bisa menjamin tidak akan ada kasus penularan virus corona dalam kegiatan pilkada.
Tidak ada juga yang bisa menjamin semua orang yang terlibat dalam kegiatan pilkada akan mematuhi aturan protokol kesehatan walaupun dikenakan sanksi. Menurutnya, peserta pilkada akan mencari celah karena yang menjadi objektif adalah kemenangan, bukan memperbaiki kesehatan.
Di samping itu, tidak ada pula yang bisa menjamin pasangan calon tetap sehat saat mereka harus bergerak aktif mendulang dukungan. Di sisi lain, kata dia, target tingkat partisipasi yang tinggi, khususnya pada hari pemungutan suara bisa terhambat karena adanya kekhawatiran warga keluar rumah.
"Karena virus ini tidak mengenal, yang dikenal adalah orang yang aktif, kalau pasangan calon kan harus aktif, harus rapat, harus menggalang dukungan, beliau-beliau ini sangat berisiko tinggi. Walaupun sangat mengikuti protokol kesehatan tidak ada jaminan, siapa yang bisa menjamin," tutur Pandu.
Pelaksana harian Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ilham Saputra mengatakan, pihaknya tidak menutup mata dengan adanya desakan penundaan Pilkada 2020. Akan tetapi, kata dia, energi dan anggaran yang sudah dikeluarkan untuk melaksanakan tahapan pemilihan sejauh ini membuat KPU ingin terus melanjutkan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
"Jika dikatakan penundaan, maka KPU masih berharap bisa dilanjutkan. Karena tadi soal effort yang sudah kita keluarkan, energi yang sudah begitu banyak kita keluarkan, juga soal anggaran dan lain sebagainya," ujar Ilham, Rabu (30/9).
Meskipun pilkada dilaksanakan dalam kondisi pandemi Covid-19, KPU telah mengeluarkan aturan penyesuaian kegiatan pilkada dengan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Kini, tahapan pilkada sudah sampai tahapan kampanye pasangan calon selama 71 hari, dari 26 September sampai 5 Desember.
Kendati demikian, Ilham mengingatkan seluruh pemangku kepentingan ikut bertanggung jawab dan berkomitmen secara konsisten menyelenggarakan pilkada sesuai aturan protokol kesehatan. Ia menyebutkan, bukan hanya KPU yang bertanggung jawab menggelar pilkada dalam situasi pandemi Covid-19.
"Salah satu keberhasilan dari pemilihan umum di Korea Selatan di masa pandemi adalah karena pemerintahnya me-suport, kemudian penyelenggaranya juga patuh dengan protokol Covid, juga masyarakatnya," kata Ilham.
Kampanye Tatap Muka Dibolehkan di Daerah tak Ada Sinyal
Ia memaparkan, KPU merancang seluruh petugas di tempat pemungutan suara (TPS) akan dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD). Petugas, pemilih, dan setiap orang di TPS harus menjaga jarak minimal satu meter dan mengenakan masker.
KPU memberikan pemilih sarung tangan sekali pakai untuk meminimalisasi berpindahnya virus corona saat proses pencoblosan surat suara. KPU menyediakan sarana sanitasi di pintu masuk dan keluar di setiap TPS.
Selain itu, KPU berencana mengatur waktu kedatangan masing-masing pemilih ke TPS untuk menghindari penumpukan antrean. "KPU sudah menerapkan protokol pencegahan Covid dalam proses penyelenggaraan Pilkada yang ada di regulasi kita," tutur Ilham.
Sebelumnya, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyampaikan kekecewaannya lantaran masih ada pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada 2020. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, pelanggaran yang dimaksud paling banyak adalah adanya kerumunan massa.
"Mari selamatkan diri anda dan para pemilih anda. Selain itu, para paslon yang maju dalam pilkada 2020 ini harus betul-betul bisa menjadi contoh yang baik bagi para pemilihnya di daerah dengan selalu kedepankan protokol kesehatan," ujar Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Selasa (29/9).
Laju penularan Covid-19 di Indonesia hingga kini memang belum menunjukkan penururan. Setelah sempat turun, pada Rabu (30/9), jumlah kasus harian Covid-19 kembali berada pada angka 4.000-an kasus atau tepatnya 4.284.
Total kasus konfirmasi Covid-19 secara nasional mencapai 287.008. Adapun, total kasus meninggal mencapai 10.740 orang dan kasus sembuh mencapai sebanyak 214.947. Demikian Republika.co.id
Photo : google image
Headline
LEAVE A REPLY