Jakarta, BIZNEWS.ID - Energi merupakan jantung dari daya saing industri nasional. Sebab,industri merupakan sektor lahap energi di Indonesia, baik berupa listrik, gas, batubara hingga minyak mentah. Oleh karenanya, isu terkait penyediaan energi bagi industri selalu menjadi pembahasan yang penting.
Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) telah menyelenggarakan seminar sehari dengan tema “Seminar Hidrogen untuk Industri: Tantangan dan Peluang dalam Mendukung Kemandirian Industri”. Kegiatan ini sejalan dengan arahan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
“Kegiatan tersebut kami harapkan dapat menghasilkan kebijakan yang mendukung pemanfaatan hidrogen sebagai energi baru dan pengembangan industri berbasis clean energy, tersusunnya regulasi dan roadmap aplikasi hidrogen untuk industri,” kata Direktur Jenderal ILMATE Taufiek Bawazier di Jakarta, Rabu (30/3).
Teufiek mengemukakan, pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP26), Presiden Joko Widodo berkomitmen dalam penanganan perubahan iklim dengan target penurunan emisi (Net Zero Emissions) di Indonesia, diantaranya dengan mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan industri berbasis clean energy.
“Hal ini karena ada potensi kekurangan supply energi di masa depan sehingga akan memengaruhi ketersediaan energi sebagai bahan baku atau bahan penolong di sektor Industri,” ungkapnya. Apalagi, ketersediaan energi domestik pada tahun 2030 diperkirakan hanya mampu memenuhi 75% permintaan energi nasional, dan akan terus menurun hingga sekitar 28% pada tahun 2045.
Bahkan, dengan kondisi keterbatasan energi fosil di masa depan, diperlukan upaya untuk pemenuhan sumber energi baru yang memadai dan andal yang akan memberikan multiplier effect yang luar biasa dalam mendukung daya saing industri, menarik minat investasi, dan tumbuhnya industri dalam negeri. “Salah satu EBT yang akan berkembang pesat adalah Hidrogen,” ujarnya.
Menurut Taufiek, Hidrogen adalah masa depan energi bagi industri, dan akan menjadi game changer dari energi dunia yang akan menggantikan energi fosil dan batubara. Hal ini dikarenakan hidrogen merupakan pembawa energi (energy carrier/energy factor transition) yang dapat digunakan untuk menyimpan, memindahkan, dan menyalurkan energi yang dihasilkan dari sumber lain.
“Selain itu, pertimbangan pengembangan hidrogen adalah rendahnya biaya produksi di masa depan,” jelasnya. Sebagai perbandingan, biaya produksi green hydrogen mencapai USD2,5-4,5 per kg pada tahun 2019, dan diproyeksi menjadi USD1-2,5 per kg pada tahun 2030.“Ini akan turun hingga tiga kali lipat pada tahun 2050,” imbuhnya seperti dikutip kemenperin.go.id.
Dengan demikian, Taufiek menilai, hidrogen sebagai bahan bakar akan semakin ekonomis dan populer di masa mendatang. Dengan peluang ini, Kemenperinsiap menginisiasi pemanfaatan hidrogen sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan pada sektor industri pembangkit listrik, industri logam, industri makanan, dan bahkan industri semikonduktor di masa yang akan datang.
“Selain itu, hidrogen dapat dimanfaatkan dalam cell baterai untuk aplikasi kendaraan bermotor, truk, kapal, kereta api bahkan pesawat udara. Peluang ini harus kita sikapi dengan menyiapkan kemanpuan baik dari sisi teknologi maupun dari sumber daya manusia. Artinya, pemanfaatan hidrogen akan meningkatkan daya saingbagi nilai tambah industri,” paparnya.
Taufiek menambahkan, saat ini setidaknya terdapat tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Pertama, terkait dengan akses energi bersih, dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan, dimana proses transisi energi membutuhkan dana yang sangat besar. Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif.
“Kami telah mengeluarkan peta jalan Industri Otomotif Nasional yang menetapkan 20 persen penggunaan kendaraan berbasis baterai listrik di tahun 2025 yang diikuti dengan upaya efisiensi pada industri otomotif untuk jenis teknologi Internal Combustion Engine (ICE), Hybrid, dan Plug-in Hybrid,” terang Taufiek. Teknologi fuel cell berbasis hidrogen juga telah terdapat dalam peta jalan industri otomotif nasional tersebut, dengan semangat untuk menuju produksi industri kendaraan ramah lingkungan.
LEAVE A REPLY