Home Energi Fleksibilitas Kontrak Migas RI Dongkrak Daya Tarik Investasi

Fleksibilitas Kontrak Migas RI Dongkrak Daya Tarik Investasi

0
SHARE
Fleksibilitas Kontrak Migas RI Dongkrak Daya Tarik Investasi

Jakarta, BIZNEWS.ID - Adanya fleksibilitas dalam pemilihan jenis kontrak hulu minyak dan gas bumi (migas) bagi investor dinilai langkah positif untuk kemajuan industri hulu migas tanah air. Hal ini diungkapkan Wood Mackenzie, salah satu lembaga riset energi internasional, dalam keterangan resmi yang dipublikasi pada Kamis (17/09/2020).

Seperti diketahui pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Salah satu poin penting dalam beleid yang diundangkan pada 16 Juli 2020 itu adalah Kementerian ESDM tidak lagi mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) minyak dan gas menggunakan skema kontrak bagi hasil dari pendapatan kotor  atau dikenal dengan PSC (kontrak bagi hasil) gross split, namun bisa juga menggunakan skema kontrak bagi hasil dengan biaya yang dikembalikan lagi oleh pemerintah  atau dikenal dengan kontrak bagi hasil cost recovery.

Ekonom senior bidang perminyakan Wood Mackenzie Nikita Golubchenko mengatakan skema kontrak gross split hanya akan efektif bila diterapkan pada kontrak-kontrak perpanjangan di mana blok migas tersebut sudah berproduksi. Ketika harga minyak tinggi, adanya efisiensi biaya dan minimnya persetujuan birokrasi memang menjadi pendukung bila skema kontrak gross split diterapkan pada perpanjangan kontrak.

Pasalnya, ketika perpanjangan kontrak, artinya lapangan sudah berproduksi sehingga memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan blok-blok yang masih dalam tahap eksplorasi. Ketika risiko lebih besar, investor memang diperbolehkan negosiasi ulang untuk peningkatan bagi hasil (split) untuk mencapai nilai keekonomian.

"Kami sudah melihat beberapa projek perpanjangan kontrak seperti Duyung dan East Sepinggan telah memperlihatkan hasil yang lebih baik," ujarnya.

Kendati demikian, menurutnya adanya kriteria yang samar seperti klausul diskresi Menteri terkait perubahan bagi hasil menjadikan ini tidak populer, terutama saat harga minyak rendah seperti saat ini. Meski dalam rezim kontrak gross split disediakan variabel tambahan dan bagi hasil progresif, namun menurutnya investor tidak melihat ini sebagai sesuatu yang cukup menarik untuk mengimbangi tingginya risiko proyek dan pengadaan.

Menyadari bahwa perlu adanya perubahan terkait hal ini, pemerintah Indonesia pun akhirnya memperbolehkan kembali rezim kontrak bagi hasil (PSC) cost recovery sebagai salah satu jenis kontrak yang bisa digunakan kontraktor migas, baik untuk blok eksplorasi maupun yang telah berproduksi.

Analis Lionel Sumner pun mengatakan, "Salah satu keuntungan kontrak cost recovery yaitu kesanggupan untuk menawarkan beberapa insentif bagi proyek yang berada di daerah pedalaman atau perbatasan yang memiliki risiko lebih tinggi. Ini penting karena bisa mendukung kegiatan eksplorasi guna mencegah penurunan produksi migas Indonesia."

Lebih lanjut Golubchenko berpendapat agar bisa menarik investor dan sesuai dengan keekonomian proyek yang penuh dengan berbagai risiko, maka menurutnya pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan dengan fleksibilitas fiskal ini.

Selain memberikan kebijakan fiskal yang menarik, menurutnya ada beberapa faktor lainnya yang perlu diperbaiki agar bisa menarik investor seperti kebijakan gas yang tegas dan menyeluruh, perlu dipangkasnya rantai birokrasi, dan perlu dirampingkannya proses persetujuan. Pasalnya, beberapa kebijakan seperti dibatasinya harga gas pada harga tertentu, proses persetujuan yang melibatkan berbagai institusi, termasuk pemerintah daerah, dianggap menjadi alasan mengapa investor asing enggan untuk berinvestasi di Indonesia.

Berdasarkan Index Daya Saing Hulu Migas yang dibuat Wood Mackenzie, Indonesia menempati posisi ke-134 dari total 145 terkait daya tarik fiskal saat di bawah rezim gross split. Tapi ketika pemerintah mengumumkan adanya fleksibilitas menggunakan kontrak cost recovery, peringkat meningkat ke-125. Tapi, tentunya masih banyak PR yang harus dituntaskan pemerintah untuk bisa menggaet investor asing untuk menanamkan modalnya di negara ini. Demikian CNBC Indonesia

Photo : google image