Home Energi Jalan Panjang dan Berliku Program Langit Biru

Jalan Panjang dan Berliku Program Langit Biru

0
SHARE
Jalan Panjang dan Berliku Program Langit Biru

Jakarta, BIZNEWS.ID - Awal pekan ini masyarakat Tangerang Selatan menikmati harga baru bahan bakar minyak jenis Pertalite. Sejumlah SPBU menjual BBM beroktan 90 itu lebih murah dari harga saat ini. Promo Pertamina tersebut untuk menggiring publik menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, bagian dari program langit biru yang dicanangkan pemerintah hampir seperempat abad lalu.

Melalui program diskon ini, konsumen membeli Pertalite cukup Rp 6.450 per liter, turun dari sebelumnya Rp 7.650. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, diskon ini bagian dari pendidikan ke masyarakat, sebuah customer experience untuk mayoritas pengguna Premium agar merasakan BBM yang lebih berkualitas.

“Seperti di Denpasar, telah terjadi peralihan,” kata Fajriyah seraya menambahkan bahwa harga miring Pertalite ini berlaku sementara. “Sebagian besar pengguna Premium adalah pengendara roda dua dan angkot.”

Sebelum Tangerang Selatan, program langit biru berupa potongan harga Pertalite memang diterapkan di Bali sejak awal Juli lalu. Sebagai wilayah percontohan, Pertamina telah berkoordinasi dengan pemerintah kedua daerah tersebut. “Seperti di Bali untuk mendukung Denpasar Smart City. Tangerang Selatan juga demikian, sesuai visinya menjadi kota yang asri,” ujar dia.

Dalam rencana panjang Pertamina, sebenarnya peralihan konsumsi BBM diarahkan untuk memperbesar pasar bensin dengan oktan lebih tinggi lagi, seperti Pertamax dan Pertamax Turbo, atau Pertamax Dex untuk mesin diesel. BUMN pelat merah itu memproyeksikan penjualan harian BBM, khususnya Premium, terus menurun hingga 2024.
Baca Juga

Misalnya, pada tahun ini konsumsi Premium diperkirakan 23,9 ribu kiloliter per hari lalu ditargetkan tinggal 13,8 ribu kiloliter pada 2024. Perhatikan grafik pada Databoks berikut ini:

Aturan penerapan BBM ramah lingkungan telah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4. Di sana disebutkan bahwa standar baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor harus sesuai Euro 4, yaitu yang memiliki research octane number atau RON 95.

Saat ini Pertamina masih berupaya untuk menjual produk BBM dengan kualitas tersebut yang dilakukan secara bertahap. “Sekarang fokusnya ke transisi Premium ke Pertalite dulu,” kata Fajriyah.

Untuk itu, Pertamina tengah meratakan sebaran outlet BBM ramah lingkungan agar konsumsi bahan bakar minyak beroktan rendah -Premium dan Pertalite- makin berkurang. Pada tahun ini, misalnya, Pertamina menargetkan Pertamax tersedia di 5.801 SPBU reguler dengan tambahan 4.308 outlet Pertashop.

Pergeseran konsumsi ini diharapkan turut menekan emisi gas rumah kaca. Upaya tersebut akhir-akhir ini juga gencar didorong Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. Uji coba penghapusan bensin beroktan rendah dimulai di Jawa, Madura, dan Bali secara bertahap. “Selain Bali, ada empat daerah lagi uji coba Pertalite menggantikan Premium,” kata Arifin beberapa pekan lalu.

Polusi di wilayah perkotaaan menjadi masalah cukup kompleks. Asap kendaraan bermotor menyumbang pada buruknya kualitas udara. Kesehatan masyarakat di wilayah ini pun makin merosot.

Pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan dan pengembangan energi bersih untuk menurunkan emisi karbon. Kementerian ESDM menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 di 2030, sesuai dengan ratifikasi Paris Agreement pada 2016 lalu.

Dalam perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca secara bertahap. Pada 2030, pemerintah menargetkan pengurangan emisi hingga 29 %. Dalam mengendalikan polusi udara inilah peran program langit biru menjadi penting.

Bila melihat ke belakang, langit biru merupakan program yang sudah tua, melalui berbagai pemerintahan dari Presiden Soeharto hingga Joko Widodo atau Jokowi. Pertama kali program ini diluncurkan pada 1996 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996.
 
Ketika itu berbagai program turunan dicanangkan. Langkah-langkahnya seperti berikut ini:

- Meningkatkan kualitas emisi gas buang kendaraan bermotor: inspection and maintenance kendaraan bermotor, penetapan standar emisi gas buang untuk kendaraan yang sudah berjalan, serta pendekatan manajemen lalu-lintas.
- Teknologi otomotif akan diubah atau ditingkatkan lebih ramah lingkungan melalui penyempurnaan desain maupun perlengkapan treatment emisi gas buang.
- Penyempurnaan motor bensin maupun diesel akan diimbangi pemanfaatan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
- Pengembangan teknologi hibrida bensin-listrik atau eco car dan fuel cell, teknologi yang tidak akan menghasilkan gas buang beracun.
- Menata manajemen lalu lintas yang baik untuk menghindari kemacetan yang berandil signifikan terhadap meningkatnya emisi gas buang kendaraan bermotor.

Melihat lamanya program ini, Ketua Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menilai kesuksesan langit biru sebenarnya tergantung dari konsistensi pemerintah. Misalnya bagaiamana posisi Kementerian ESDM untuk merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Dalam Perpres BBM yang pernah direvisi itu, Pertamina masih wajib menyediakan BBM jenis Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. “Pertamina sudah siap. Tapi karena penugasan pemerintah yang tidak konsisten berakibat program langit biru kurang efektif,” ujar Tulus kepada Katadata.co.id, Rabu (16/9). Hingga berita ini dimuat, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial belum memberikan komentarnya terkait hal tersebut.

Program langit biru menurut Tulus akan efektif jika penggunaan BBM dengan standar minimal Euro 2 dapat berjalan optimal. Jika berjalan lancar, program ini akan mendorong upaya mengantisispasi krisis lingkungan, khususunya polusi udara oleh multi sebab, baik karena benda atau barang tidak bergerak serta benda atau barang bergerak.

Benda tidak bergerak seperti aktivitas bisnis, perkantoran, industri, pembangkit listrik (khususnya PLTU), dan juga aktivitas domestik rumah tangga, termasuk membakar sampah. Adapun sumber pencetus benda atau barang bergerak adalah sektor transportasi darat.

Menurut Tulus, saat ini sektor transportasi darat berkontribusi sangat dominan yaitu lebih dari 75 persen sebagai sumber polusi udara, khususnya di kota-kota besar. Begitu dominannya sektor trsnsportasi darat ini berkontribusi terhadap polusi udara, sehingga menjadi penentu terwujudnya program langit biru.

Berdasarkan catatan Tulus, fokus pemerintah terhadap pencemaran udara dan upaya penanggulangannya berlangsung sejak lama, sudah 24 tahun sejak ditelurkannya program langit biru. Pencemaran udara sangat beragam dari berbagai sumber.

Sejatinya, Kementerian Lingkungan Hidup, menurut dia, cukup tanggap dengan menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 141 Tahun 2003. Untuk mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor, jenis BBM yang digunakan harus berstandar Euro 2. Dari jenisnya ini mengarah pada BBM beroktan 92 seperti Pertamax dan CN 51 seperti Pertamina Dex.

Namun kebijakan yang bagus dan visioner itu, menurut Tulus, mati suri serta tak jelas kelanjutannya. Adapun upaya pemerintah untuk mewujudkan program langit biru berjalan di tempat, bahkan stop sama sekali.

“Antar-kementerian dan lembaga tidak jelas, tidak ada koordinasi dan sinergi serius. Terutama menyangkut jenis dan kualitas BBM, terkhusus soal BBM jenis Euro 2 tersebut,” ujarnya.

Namun, belum tuntas urusan BBM Euro 2, Kementerian KLHK sudah memandatkan bahwa bensin yang digunakan mulai 2017 harus berstandar Euro 4. Dasarnya Kepmen KLHK Nomor 20 Tahun 2017. Sejumlah negara memang telah memakai standar dengan RON 95 ini. Demikian  Katadata


Photo : google image