Home Covid-19 Definisi Kematian Corona dalam Polemik

Definisi Kematian Corona dalam Polemik

0
SHARE
Definisi Kematian Corona dalam Polemik


Jakarta, BIZNEWS.ID - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengubah definisi kematian karena corona menimbulkan pro kontra. Polemik ini bermula ketika Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyurati Menkes Terawan Agus Putranto.

Khofifah meminta agar Kemenkes mengubah definisi kematian corona diubah. Alasannya, kematian corona di Jatim tinggi karena yang meninggal mayoritas pasien dengan penyakit penyerta (komorbid). Sehingga Khofifah ingin ada pembedaan antara kematian murni karena corona dengan kematian pasien corona yang memiliki komorbid.

Berdasarkan data hingga 22 September, Jatim memang menjadi provinsi dengan angka kematian corona tertinggi di Indonesia. Tercatat 3.015 pasien corona meninggal atau sekitar 7,3 persen dari total kasus positif sebanyak 41.417.

Rasio angka kematian corona di Jatim juga jauh dari rata-rata nasional yakni 3,9 persen. Selain itu, angka kematian tersebut jauh di atas provinsi-provinsi lainnya. Dibandingkan dengan Jakarta yang berpredikat provinsi dengan kasus corona tertinggi, beda angka pasien corona yang meninggal nyaris 2 kali lipat.

Permintaan itu telah direspons Kemenkes. Tim Task Force Jawa Timur bentukan Kemenkes telah berkoordinasi dengan jajaran Pemprov Jatim pada Kamis (17/9). Tim Kemenkes dipimpin Staf Ahli Menkes Bidang Ekonomi Kesehatan, dr. H. M Subuh MPPH.

Kemenkes memberi sinyal menyetujui untuk mengubah definisi kematian corona. Faktor instruksi Presiden Jokowi menjadi kunci. Seperti diketahui, dalam 2 pekan 9 provinsi, termasuk Jatim, diminta untuk menurunkan kasus harian, meningkatkan kesembuhan, dan menekan angka kematian.

"Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena COVID-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO, dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai COVID-19," ucap Subuh.

Namun rencana perubahan definisi kematian corona tersebut ditentang Epidemiologi UI, Pandu Riono. Pandu menilai rencana tersebut tak ayal menunjukkan pemerintah membohongi statistik.

"Itu pembenaran yang salah. Berbohong dengan statistik Itu kejahatan," kata Pandu. Menurut Pandu, sebaiknya pemerintah mengikuti standar WHO bahwa semua pasien suspect corona yang meninggal harus dilaporkan sebagai kematian corona.

"Apa pun kondisinya, kalau dirawat karena dugaan COVID-19 baik terkonfirmasi atau tidak tahu harus dianggap kematian karena COVID-19," tuturnya.

WHO pada April lalu memang telah memperluas definisi kematian akibat COVID-19. Pasien yang meninggal dunia meski masih berstatus suspect corona, akan ditetapkan sebagai kasus kematian COVID-19.

Hal itu tercantum dalam Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 82 yang dipublikasikan WHO pada 11 April 2020. Laporan kematian akibat COVID-19 didefinisikan mencakup kasus yang terkonfirmasi dan kasus yang kemungkinan merupakan infeksi virus corona SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, atau biasa disebut probable case.

“Kecuali ada alternatif penyebab kematian yang jelas dan tidak terkait dengan penyakit COVID-19 (misal, trauma),” tulis pernyataan WHO. Lebih lanjut, kematian pasien suspect akan diumumkan sebagai kematian akibat COVID-19 jika sebelumnya ada gejala penyakit klinis yang mengarah ke infeksi corona.

Menurut WHO, gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, kelelahan, dan batuk kering. Beberapa pasien juga dilaporkan mengalami sakit dan nyeri, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan, dan diare.

Sementara itu juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito, menyatakan belum ada rencana pemerintah untuk mengubah definisi kematian corona. Wiku mengatakan pemerintah menggunakan definisi kematian merujuk pada acuan WHO. Dengan prinsip kasus kematian yang dilaporkan adalah konfirmasi kasus berat dan probable.

"Pemerintah Indonesia menggunakan definisi kematian COVID-19 merujuk pada acuan WHO, dan itu dituangkan dalam KMK/HK/01/07/Menkes/2020. Prinsipnya kasus kematian yang dilaporkan adalah konfirmasi berat dan probable dan kasus probable adalah suspek dengan ISPA berat," kata Wiku.

Prof Wiku menjelaskan WHO merujuk pada sejumlah negara seperti Amerika Serikat yang menghitung kasus kematian berdasarkan probable dan suspek, yang kemudian dikategorisasi dalam pencatatannya. Meski demikian, Prof Wiku menegaskan pemerintah masih belum akan mengubah definisi kematian sesuai usulan Khofifah.

"Contoh lain Inggris hanya memasukkan pasien terbukti COVID-19 lewat tes dalam pencatatan kematian. Angka kematian dunia penggabungan pencatatan dunia yang ada variasinya. Pemerintah Indonesia belum ada rencana perubahan seperti yang diusulkan Bu Gubernur Jatim," ucapnya. Demikian Kumparan

 
Photo : google image