Jakarta, BIZNEWS.ID - Jubir pemerintah soal penanganan corona Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan kendala utama yang membuat pandemi COVID-19 belum terkendali sampai saat ini. Padahal virus corona sudah berjalan hampir 7 bulan ini menyebar di Indonesia. Kapan akan berakhir? Apa saja poin yang diungkapkan Wiku soal corona?
Satgas Minta Warga Tetap Waspada
Jubir Satgas COVID-19, Prof Wiku Adisasmito menjelaskan, kondisi yang terjadi sekarang adalah fluktuatif, hal itu bisa dilihat dari data kesembuhan pasien COVID-19. "Kalau kita lihat dari kesembuhan, sudah naik, sudah 70,98 persen dan September mulai turun, nah ini tanda-tanda yang tidak baik, karena kita harus dorong terus," kata Prof Wiku.
Atas dasar itu, dia meminta masyarakat agar tetap waspada dengan kondisi saat ini. Sebab, meski risiko zona merah turun, namun berpotensi naik jika masyarakat lengah.
"Makanya kita enggak boleh lengah karena pandemi ini masih lama. Jadi kondisinya fluktuatif dan bisa saja kita bisa lama-lama fatigue, lelah. Maka dari itu kita harus selalu vigilant, waspada," sebut Wiku.
Positivity Rate Indonesia
Positivity rate adalah persentase orang yang memiliki hasil positif COVID-19 dibandingkan jumlah orang yang dites. Standar WHO adalah 5 Persen, sementara Indonesia 14,2 Persen. Hal ini menurut pemerintah harus diwaspadai oleh masyarakat. Tes PCR memang meningkat, namun pasien positif melonjak.
"Ini tidak boleh, ini harus ditekan betul supaya kasus aktifnya ini betul-betul turun terus sehingga testingnya makin banyak, yang terlaporkan makin banyak. Sekarang itu positivity ratenya itu kalau enggak salah hari ini 14,2 persen. Harusnya di bawah 5 persen," kata Prof Wiku.
Idealnya menurut Wiku ketika testing ditingkatkan maka positivity rate menurun, namun yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini menjadi bukti bahwa penularan masih terus terjadi.
"Jadi targetnya gini, dites yang banyak, yang positif sedikit. Lah ini yang dites banyak, positifnya juga ikut naik, berarti penularannya kan masih tinggi. Ini yang harus dilihat per kabupaten kota. Laporannya harus semakin baik untuk menunjukkan kondisinya dan harus segera ditangani," terang Wiku.
Persoalan Data
Seragamnya data penanganan COVID-19 terutama soal jumlah pasien COVID-19 yang valid penting untuk kesatupaduan antara pusat dan daerah. Namun, masih ada daerah yang datanya tidak sinkron dengan Pemerintah pusat. Provinsi itu diungkap Prof Wiku adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Beberapa daerah, terutama Semarang, Jateng, jatim, masih saja ada data yang tidak sinkron antara data dengan daerah dengan pusat. Karena sistem pengumpulan datanya sendiri berbeda dan tidak jadi satu," papar Prof Wiku.
Masalah data itu, ditegaskan Wiku, membuat Kementerian Kesehatan maupun Dinas Kesehatan kesulitan untuk melakukan kontak tracing pasien COVID-19.
Menurut Prof Wiku, jika semua daerah di indonesia bisa mengembangkan jadi satu kesatuan sistem, maka saat itu juga gubernur bisa dapat laporan dari seluruh kab/kota yang ada di provinsinya. Setelah itu bisa action langsung untuk mengambil kebijakan.
"Sehingga deployment support bisa dilakukan dengan baik, dan dari waktu ke waktu sudah mulai membaik. Ini betul-betul harus diamati oleh seluruh rakyat Indonesia dan Pemda. Kalau ada kasus segera laporkan. Semakin bagus datanya, semakin bagus navigasinya menanganinya," ujarnya.
Biaya RS Rujukan Ditanggung Pemerintah
Seorang pasien di sebuah rumah sakit rujukan corona di Tangerang Selatan, Loki (bukan nama sebenarnya), diminta menalangi biaya perawatannya sebesar Rp 584 juta. Kata pihak RS, nanti pihak keluarga Loki bisa reimburse ke pemerintah.
Tak jelas alasan RS tersebut. Keluarga sudah diberitahu sejak awal namun menurut pihak keluarga yang terpenting Loki diobati terlebih dahulu. Jadi, mereka mengikuti saja ketika pihak RS mengatakan hal tersebut.
Loki sampai saat ini masih dirawat. Masuk pada 29 Agustus, total tagihan Loki mencapai kisaran Rp 548 juta. Yang termahal adalah biaya obat, sampai Rp 401 juta. Bahkan ada satu obat infus Gamaras yang satu harinya menguras Rp 63 juta.
Jubir Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan, seluruh pembiayaan pasien COVID-19 ditanggung pemerintah. "Untuk RS Rujukan ditanggung pemerintah," kata Prof Wiku.
Secara aturan, seharusnya yang mengajukan klaim ke Dinkes setempat adalah pihak rumah sakit. Sederet proses harus dilakukan, dari mulai kirim email, verifikasi oleh BPJS Kesehatan, hingga dana dari anggaran Kemenkes cair. "Hal tersebut harus dibereskan," tegas Prof Wiku. Demikian kumparan
Photo : google image
Headline
LEAVE A REPLY