Keterangan Gambar : Ilustrasi adegan pewayangan sedang menceritakan lakon Wahyu Cakraningrat
BizNews.id - Ketua KPU RI Gus Ayi (Hasyim Asy’arie bin KH Musthofa Sonhaji) dalam sambutannya pada Debat Capres ke 5 tanggal 04 Februari 2024 membuat “sedikit kejutan” yang bukan hanya tepat, tetapi juga mudah difahami dan diingat oleh para pendengarnya. Dia menukil doa Nabiyullah Sulaiman bin Daud as yang termaktub dalam Qur’an Surat Shad ayat 35 :
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
”Ya Rabbku, ampuni segala dosaku dan berilah kepadaku kekuasaan yang tidak akan bisa dimiliki oleh seorang pun setelahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Menurut Ketua KPU RI dengan mengutip kalam gurunya, ayat tersebut menjadi dalil tentang diperbolehkannya berkompetisi meraih kekuasaan. Namun menurutnya ayat ini juga mengingatkan dan menjadi tarbiyah bagi yang tengah berkompetisi untuk berangkat dengan niat yang suci dan hati yang bersih bahwa niatnya memperoleh kekuasaan dan memimpin rakyat semata ditujukan untuk meraih Ridlo Allah Ta’ala. Maka doa kekuasaan Nabi Sulaiman as tersebut dimulai dengan kalimat “Robbighfir lii”, kalimat yang menyatakan kefaqirannya kepada ampunan Tuhan dan kelemahannya sebagai makhluq.
Seandainya durasi waktu kata sambutannya memungkinkan untuk lebih panjang lagi, saya yaqin Ketua KPU RI ini dengan pengetahuannya yang diperoleh selama nyantri juga akan mengungkap contoh lainnya dalam Al Qur’an tentang bagaimana kekuasaan itu boleh diusahakan untuk diraih, atau bahasa populer zaman sekarang adalah, boleh BERKAMPANYE. Seperti kata kata Nabiyullah Yusuf bin Ya’qub as dalam Qur’an surat Yusuf ayat 55 :
قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.”
Tentu saja klaim Nabi Yusuf sebagai chafidzun ‘aliim tersebut didahului dengan pernyataan pernyataan ketergantungannya kepada Allah Ta’ala (i’timad Alallah) sebagaimana terbaca dalam ayat ayat sebelumnya. Bukan klaim yang berasal dari rasa keakuan yang cenderung takabur (i’timad ‘alal ‘amal). Dan lagi pula, klaim tersebut juga dimaksudkan oleh Nabi Yusuf sebagai kesadaran tentang pada bidang apa kompetensi yang dimilikinya ketika Al ‘Aziz sebagai penguasa Negeri mengucapkan kepadanya “Innaka ladainal yauma makiinun amiin, Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
RELIGIUSITAS ALA PRABOWO
Prabowo Subianto bukan orang yang pandai berdalil, juga bukan orang yang memaksa maksa diri untuk nampak bisa berdalil. Dia apa adanya, dia tidak gengsi tampil jujur sebagai orang yang dalam beragama (khususnya pada masalah ritualnya) hanya bertaqlid saja kepada yang dianggap ‘ulama dan diakui kapasitasnya. Pun ketika diolok olok sebagai orang yang tidak mahir membaca Qur’an, Dia tidak membantahnya. Alih alih marah, justru berulangkali dia mengakui di depan khalayak bahwa dia bukan orang yang pandai agama.
Ketika di salah satu acara penulis berkesempatan mendengarkan secara langsung “pengakuan” Pak Prabowo tersebut, penulis menitikkan air mata dan memohon ampun kepada Tuhan karena trenyuh dengan kerendahhatian dari seseorang yang memang dalam jalan hidupnya tidak sempat belajar mendalami agama secara khusus. Demikian itu adalah sikap yang mulia, cermin dari akhlaq sufiyyah. Bertolak belakang dengan moral rendah penulis pribadi yang seringkali membusungkan dada atas karunia ilmu agama yang memang sempat penulis pelajari secara khusus.
Namun demikian, menurut hemat penulis, Prabowo bukanlah orang yang menjauhkan dirinya secara pemikiran dari agama, bukan pula orang yang mengabaikan perilakunya dari akhlaq agama. Dia seorang yang religius, dan atas hal ini sangat masyhur pengakuan dari Al maghfurlah KH Abdurrahman Wahid, bahwa Prabowo adalah orang yang ikhlas, khususnya dalam pengabdiannya kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Bila kita penasaran dengan statement Gus Dur ini, kita bisa memungut beberapa statement Prabowo untuk menguji “ikhlasnya” sebagaimana diungkap Gus Dur (tajribiyah).
"Intinya rakyat yang putuskan rakyat yang menilai. Kalau rakyat tidak suka Prabowo dan Gibran ga usah pilih kami”, itulah komentar Prabowo dalam salah satu debat ketika dia “dikuliti” lawan lawannya. Dari sudut pandang psycho linguistic kalimat tersebut tidak mungkin diucapkan oleh orang yang “tidak ikhlas”, di forum yang sedang dilihat dan dinilai oleh seluruh kepala orang Indonesia.
Lalu dalam debat terakhir pada closing statementnya, Prabowo kembali menunjukkan sisi religiusitasnya. Dia meminta maaf kepada para pesaingnya, kepada penyelenggara pemilu dan rakyat Indonesia. Dia juga menegaskan bahwa kekuasaan adalah pemberian dari Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, berterimakasih kepada semua pihak termasuk kepada Para pemimpin sebelumnya, serta kembali berikrar tentang iktikad baiknya dan mengajak kepada seluruh pihak untuk berpegang pada moral moral luhur bersama. Ini sangat selaras dengan apa yang disampaikan oleh Ketua KPU RI pada kata sambutannya sebagaimana dibahas pada awal tulisan ini.
Untuk dapat menulis secara utuh alam pikiran keagamaan Prabowo dan sikap religiusitasnya tentu memerlukan penelusuran mendalam di antaranya meliputi para pencerah pemikirannya, pengaruh cita cita sosial politiknya, visi keagamaannya dan banyak hal lagi yang lebih tepat disajikan dalam sebuah buku khusus. Namun sekali lagi bukan tulisan tentang kepandaian Prabowo dalam ilmu agama, karena Prabowo sebagaimana sifat utuhnya yang tidak ingin dipoles poles, maka buku yang menyajikan pemikiran dan sikap keagamaannya saja.
WAHYU CAKRANINGRAT
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memuji muji Prabowo dan melebih lebihkannya. Sebagai manusia dia memiliki banyak kesalahan dan kekurangan bahkan tidak bisa lepas dari nash “dzoluman jahula”. Akan tetapi penulis secara subyektif ingin mengenang sebuah pengalaman ketika pada sekitar tahun 1993 datanglah sowan dalam waktu yang berlainan dua orang calon kepala desa yang tengah berkontestasi kepada Kiyai yang mengasuh penulis, untuk meminta dukungan dan doa kemenangan.
Calon pertama menyampaikan kepada Pak kiyai bahwa jika terpilih dia akan merenovasi pondok pesantren milik Pak Kiyai, memugar masjid, merevitalisasi lapangan bola dan seterusnya. Pak Kiyai pun mengangguk angguk, mengiyakan dan berterimakasih. Adapun calon kedua yang datang dia menyampaikan bahwa jika terpilih, maka dia memohon bimbingan Pak Kiyai karena status barunya yang meningkat sebagai Kepala Desa serta penghasilan barunya berupa bengkok desa. Anehnya, Pak Kiyai langsung mendoakan calon kedua tersebut dengan panjang dan sungguh sungguh. Setelah sang tamu pulang, penulis memberanikan diri bertanya mengapa Pak Kiyai mendoakan yang kedua, bukankah yang pertamalah yang layak didoakan dengan programnya yang hebat tersebut ? Beliau menjawab, “Marilah kita menghormati orang yang antara ucapan dan hatinya sama, bukan yang pandai mengemas kata kata belaka”.
Prabowo Subianto diakui oleh kawan maupun lawannya sebagai orang yang sama antara pikiran dan ucapan maupun tindakannya, dia tidak pandai berbohong. Bahkan dia berulang kali menjadi “korban” dari kejujurannya sendiri, langganan.
TETAPI SIAPA SANGKA, MENURUT PARA BIJAK BESTARI, ORANG SEPERTI INILAH YANG KEMUDIAN DALAM SUATU MOMENTUM KEHENDAK YANG MAHA AKBAR, JUSTRU DIAKRABI OLEH WAHYU CAKRANINGRAT, SEBUAH KEARIFAN AJARAN UNTUK MENGGIRING KESADARAN ILAHIYAH TERHADAP KEKUASAAN.
WAHYU CAKRANINGRAT YANG TELAH BERPUTAR PUTAR DI ATAS LANGIT NUSANTARA SEJAK RABU KLIWON 24 JANUARI 2024, TELAH MENDARAT PADA SENIN PAHING 05 FEBRUARI 2024 ATAU BERTEPATAN 24 REJEB DI JALAN KERTANEGARA NO 4. SEBENARNYA BAGI PARA PEMERHATI PERKARA PERKARA TAJRIBIYAH SPIRITUAL TERMASUK DI DALAMNYA PARA NUMEROLOG (YANG TIDAK KADUNG TERJERUMUS DALAM DUKUNGAN PREMATUR DAN ASUMSI MATI) BUKANLAH HAL YANG SULIT UNTUK MEMBACANYA, KARENA DARI SUSUNAN NUMERIK SANGAT GAMBLANG DIBACA MELALUI BASIS NUMERIK ANGKA 15, WALLAHU A’LAM.
Sebagai penutup, penting untuk kembali mengingat pesan Ketua KPU RI, bahwa pesan spiritual doa Sulaiman bukanlah hanya ditujukan kepada Para Capres tetapi juga kepada para pendukungnya. Khusus bagi para pendukung Prabowo Subianto penting untuk diingatkan bahwa setidaknya ada dua jenis pendukung, yaitu pendukung yang menguntungkan orang yang didukung, dan pendukung yang merugikan orang yang didukung. Maka memegangi akhlaq mulia untuk menyambut kemenangan adalah suatu keharusan.
TERLEBIH BILA BENAR, TERNYATA WAHYU CAKRANINGRAT ITU TELAH TURUN LEBIH AWAL, YANG BERARTI SANGAT MEMUNGKINKAN PILPRES HANYA BERLANGSUNG SATU PUTARAN.
Maka sebagaimana diingatkan oleh Syekh Muhammad Ibnu Athoillah Assakandari dalam Kitab Hikamnya Bab 06 dan Bab 07, penting kiranya untuk kembali menguatkan sandaran hanya kepada Allah Ta’ala semata (Qulillahumma malikal mulki tu’til mulka man tasya watanzi’ul mulka mimman tasya ….). Karena Allah BERKUASA sepenuhnya, Dia Maha Sempurna untuk berbuat apa saja termasuj kepada para NabiNYA apalagi kepada kita yang bergelimang ma’siat dan kekeliruan. Sebagaimana Dia baru memberi Nabiyullah Musa dan Harun as kemenangan atas Fir’aun 40 tahun setelah pengabulan doa mereka berdua (“Qod ujibat da’watukuma”), sebagaimana Allah Ta’ala baru mewujudkan kemenangan atas Makkah bagi Nabi صلى الله عليه و سلم satu tahun kemudian dari mimpinya, sebagaimana Allah Ta’ala menunda mewujudkan janjiNYA kepada Nabiyullah Ibrahim as dan Siti Sarah untuk mendapatkan satu orang putra (Nabiyullah Ishaq as). Jangan sampai terjadi sebuah syndrome yang diajarkan kepada ummat melalui kekalahan dalam peristiwa Gunung Uhud akibat giuran ghonimah. Maka jangan sampai pintu dibuka untuk memberi peluang bagi kejahatan kejahatan yang akan mengganggu hasil PEMILU.
Wallahu a’la wa a’lamu bimurodihi, wama taufiqi illa billahi, ‘alaihi tawakkaltu wa ilihi unibu.Al faqir ila hudiya Robbiyal Karim, Kelapa Gading,
Jakarta, 05 Februari 2024.
ARH
LEAVE A REPLY