Home Kesehatan Beda Konsep New Normal Versi WHO dan Pemerintah RI

Beda Konsep New Normal Versi WHO dan Pemerintah RI

0
SHARE
Beda Konsep New Normal Versi WHO dan Pemerintah RI

Jakarta, BIZNEWS.ID - Pemerintah Indonesia kini sedang bersiap menghadapi The New Normal atau fase kehidupan baru setelah pandemi virus corona menghantam dunia. Dalam kehidupan new normal, masyarakat dituntut untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, mereka harus menerapkan protokol pencegahan penularan virus di setiap kegiatan yang melibatkan orang banyak.

Bukan hanya Indonesia, beberapa negara di dunia juga sedang mempertimbangkan penerapan new normal dengan merujuk syarat-syarat yang dikeluarkan World Health Organization (WHO). Adapun Indonesia ternyata memiliki syarat-syarat new normal sendiri. Berikut detail perbedaan new normal versi WHO dan Indonesia.

New normal versi WHO

Dalam new normal versi WHO, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap negara jika ingin menerapkan konsep tersebut. Konsep new normal akan diterapkan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan.

“Saat kami mempertimbangkan langkah transisi, kami harus akui bahwa tidak ada kemenangan yang cepat diraih. Kompleksitas dan ketidakpastian ada di depan kita,” ujar Direktur Regional WHO untuk Eropa, Henri P. Kluge, seperti dikutip dari situs resmi WHO.

“Yang berarti bahwa kita memasuki periode di mana kita mungkin perlu menyesuaikan langkah dengan cepat, meniadakan pembatasan sosial, dan membuka aktivitas sosial secara bertahap, sembari memantau efektivitas tindakan ini," sambungnya.

Sebelum menerapkan konsep new normal, pemerintah di suatu negara harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan WHO. Berikut syaratnya:

1. Negara yang akan menerapkan konsep new normal harus mempunyai bukti bahwa transmisi virus corona mampu dikendalikan,

2. Negara harus punya kapasitas sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni, termasuk mempunyai rumah sakit untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien COVID-19,

3. Risiko penularan wabah harus diminimalisir terutama di wilayah dengan kerentanan tinggi. Termasuk di panti jompo, fasilitas kesehatan, dan tempat keramaian,

4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja harus ditetapkan, seperti physical distancing, fasilitas mencuci tangan, etiket batuk dan bersin, dan protokol pencegahan lainnya,

5. Risiko penularan impor dari wilayah lain harus dipantau dan diperhatikan dengan ketat,

6. Masyarakat harus dilibatkan untuk memberi masukan, berpendapat, dalam proses masa transisi the new normal.

Keenam poin tersebut mesti dipenuhi setiap negara yang ingin menerapkan konsep new normal. Lalu, bagaimana dengan new normal ala Indonesia?

Konsep new normal ala Indonesia

Setidaknya ada tiga poin yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai syarat untuk menerapkan new normal. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, dengan mengklaim konsep new normal di Indonesia merujuk pada persyaratan yang dikeluarkan WHO.

1. Tingkat penularan corona reproductive number (R0) di suatu wilayah harus di bawah 1. Artinya, tidak ada lagi penularan virus corona antarmanusia di suatu wilayah yang ingin menerapkan new normal. Ini dihitung selama 14 hari dari tidak ada lagi laporan COVID-19.

2. Kesiapan sistem kesehatan. New normal akan berlaku jika kapasitas dan adaptasi sistem kesehatan di Indonesia sudah mendukung untuk pelayanan COVID-19 yang bukan tidak mungkin akan naik jika Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) dilonggarkan.

3. Jumlah test atau surveillance, yaitu kemampuan pemerintah untuk mengetes corona. PSBB bisa dilonggarkan dan new normal bisa berlaku jika pemerintah bisa memenuhi target mengetes dengan kapasitas 10-12 ribu per hari.

Secara garis besar, konsep penerapan new normal versi Indonesia dan WHO hampir sama, kendati ada beberapa poin yang tidak dimasukkan. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap melaksanakan new normal?

Jika dilihat dari angka penularan virus corona di Jakarta yang akan segera menerapkan konsep new normal, sejak pemberlakuan PSBB, grafik kasus corona di Jakarta naik-turun. Namun akhir-akhir ini, di masa PSBB periode ketiga, angka pertambahan kasus cenderung positif stabil dan tidak ada lonjakan.
Grafik evaluasi PSBB di Jakarta terkait penanganan virus corona.

Dalam sepekan, rataan pertambahan kasus 90 per hari. Data dalam kurun 20-25 Mei, pertambahan harian kasus corona di Jakarta yaitu 70, 96, 127, 118, dan 67. Sementara jumlah tes corona di Jakarta juga menjadi yang tertinggi di Indonesia. Rata-rata, 2.600-2.800 tes PCR dan TCM dalam sehari.

Untuk R0, kini Jakarta masih di atas angka 1. Artinya, masih ada kemungkinan 1 orang menulari 1 orang lainnya. Data ini harus ditekan dan menjadi syarat mutlak penerapan new normal di Jakarta.

Bagaimana dengan tes PCR? Uji spesimen corona di Indonesia terpantau masih belum mencapai target 10.000 tes per hari. Tercatat, hanya dua hari pemerintah Indonesia mampu memenuhi target pengujian, yakni pada Selasa (19/5) mencapai 12.276 tes; dan Sabtu (23/5) 10.617 tes spesimen per hari. Sedangkan, per Senin (25/5), uji spesimen kembali mengalami penurunan, yakni 8.391 spesimen.

Bagaimanapun, pelonggaran PSBB dengan dalih menerapkan konsep new normal untuk membangkitkan perekonomian harus dilakukan dengan hati-hati. Karena menurut Pandu Riono, ahli epidemiologi sekaligus Staf Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jika masyarakat tidak waspada dan pemerintah tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pandemi gelombang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

“Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan dan fasilitas kesehatan yang memadai, jika tenaga kesehatan tidak dilatih, tidak diberi alat memadai dan dilindungi, jika warga negara tidak diberi informasi dan diberdayakan dengan informasi berbasis bukti, maka pandemi akan menyapu penduduk di sana, bisnis dan sistem kesehatan akan merenggut nyawa sekaligus mata pencaharian mereka,” ujar Henri. Demikian Kumparan

Photo : google image