Jakarta, BIZNEWS.ID - Candi Borobudur sudah berdiri tegak sejak ribuan tahun yang lalu. Warisan budaya ini juga menjadi salah satu tempat wisata populer di Indonesia, baik untuk wisatawan lokal maupun mancanegara. Dalam satu hari, bangunan candi harus menopang hingga puluhan ribu wisatawan per hari. Padahal, dengan usia candi yang semakin tua, masalah kelestarian mulai harus diperhatikan. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk masalah ini adalah dengan menerapkan physical carrying capacity.
Dalam sebuah penafsiran, physical carrying capacity adalah batas maksimal untuk wisatawan yang datang ke sebuah lokasi wisata. Physical carrying capacity biasanya digunakan untuk menentukan ambang batas terkait perubahan lingkungan dan gangguan yang mungkin terjadi pada suatu tempat wisata.
“Perhitungan physical carrying capacity atau daya tapung fisik Candi Borobudur sebenarnya sudah dimulai pada 2006, bahkan riset dan pengumpulan data sudah dilakukan sejak 2003 dan menjadi bagian dari rekomendasi hasil riset pada waktu itu. Upaya pengaturan pengunjung dalam visitor management dengan juga merupakan salah satu rekomendasi dari hasil reaktif monitoring UNESCO tahun 2006,” kata Bramantara selaku Ketua Pokja Pemeliharaan Candi Borobudur/Badan Konservasi Borobudur.
Bramantara melanjutkan, esensi physical carrying capacity ini bukan hanya soal keterawatan saja, tetapi bagaimana penerapan ini dapat memperkuat dan meningkatkan experience pengunjung. Physical carrying capacity kemudian menjadi produk riset sesuai dengan rekomendasi UNESCO. Jadi, physical carrying capacity diterapkan untuk mengatur jumlah pengunjung pada waktu tertentu dalam kurun waktu satu hari.
“Sebenarnya Candi Borobudur sudah ditetapkan batas maksimalnya, yaitu 1.259 orang per hari. Namun, apa yang terjadi di lapangan tidak demikian. Ketika peak season, seperti libur Lebaran, pernah mencapai 55 ribu pengunjung yang datang ke Candi Borobudur dalam waktu satu hari. Kami perkirakan separuh di antaranya naik ke atas candi. Dari perkiraan itu saja sudah dapat dipastikan bahwa Candi Borobudur sudah ‘kelebihan muatan’,” lanjut Bramantara.
Ada empat indikator dalam penerapan physical carrying capacity. Pertama adalah perhitungan pada luas area. Kedua, perhitungan jumlah kunjungan per hari dan per jam. Ketiga adalah lama kunjungan dan keempat adalah faktor rotasi pengunjung.
“Dalam konteks physical carrying capacity, pada akhirnya kami juga harus melakukan klasifikasi. Candi Borobudur merupakan tempat wisata edukasi, wisata bersejarah, dan menjadi tempat ritual keagamaan,” imbuh Bramantara.
Untuk itu, penerapan physical carrying capacity memiliki urgensi yang jelas dalam konteks visitor management. Terlebih dalam konteks sustainable cultural tourism untuk mendukung aspek kelestarian yang juga dapat memberikan dampak kepada quality tourism.
“Tentunya penerapan physical carrying capacity ini tidak akan lepas dari bagaimana agar pengunjung candi bisa merasakan nilai universal luar biasa (OUV) dalam melakukan thematic tourism, yaitu mendapatkan nilai interpretasi yang mereka dapatkan dari pemandu,” ujar Bramantara.
Tingkat kerusakan Candi Borobudur sudah dimonitoring sejak selesai pemugaran kedua (1973-19883) dan penelitian tentang faktor penyebab kerusakan juga sudah banyak dilakuka oleh Balai Konservasi Borobudur, termasuk hal yang berkaitan dengan pengaturan pengunjung (visitor management) ini juga sudah diteliti sejak 2003. Kerusakan yang paling sering temui akibat dari pengunjung adalah vandalisme, kerusakan karena permen karet, dan keausan pada bagian tangga karena sering dilewati oleh wisatawan. Hingga saat ini, keausan maksimal yang sudah terjadi pada batu sudah mencapai 5 cm.
“Jika hal yang merusak kelestarian Candi Borobudur tidak segera diperhatikan, maka dapat dipastikan dalam kurun waktu beberapa tahun bagian yang aus akan habis karena tidak bisa dilakukan perbaikan,” lanjut Bramantara.
Pentingnya physical carrying capacity dapat memberikan dampak kelestarian bagi bangunan candi dan berkaitan dengan pariwisata yang berkualitas. Kata Bramantara, tentunya pelestarian candi juga didukung pemeliharaan rutin dari pengelola. Penerapan physical carrying capacity juga perlu sosialisasi agar wisatawan memahami alasan pengaturan ini.
“Pertama, sebagai situs warisan dunia, pengaturan jumlah pengunjung ini dapat menunjang aspek kondisi keterawatan agar material candi bisa bertahan lama. Kedua, pengunjung berkesempatan mendapat experience dan memahami esensi Candi Borobudur dengan lebih baik karena mendapatkan ruang yang cukup saat berkeliling,” jelas Bramantara.
Demi keberhasilan penerapan physical carrying capacity, Bramantara berharap keterlibatan dari stakeholders dan pemangku kepentingan dalam proses sosialisasi. Tentunya dibutuhkan komunikasi publik yang baik agar pihak terkait dan masyarakat memahami bahwa ini dilakukan demi kelestarian Candi Borobudur.
“Hal yang perlu disampaikan kepada publik adalah bahwa penerapan physical carrying capacity dilakukan dengan melihat dua hal, pelestarian dan pemanfaatan. Tentunya bukan hal mudah dan pasti akan banyak pro dan kontra. Namun, menurut saya hanya perlu pembiasaan dan pemahaman kepada masyarakat agar kemegahan Candi Borobudur bisa diwariskan terus ke generasi selanjutnya,” ujar Bramantara. Demikian kemenparekraf.go.id.
Foto : shutterstock/pambudiyogaperdana.
LEAVE A REPLY