Home Nasional Pengakaran Kembali Pancasila di Masyarakat

Pengakaran Kembali Pancasila di Masyarakat

0
SHARE
Pengakaran Kembali Pancasila di Masyarakat

Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A.,

Tantangan dan problematika bagi Pancasila dewasa ini lebih didominasi oleh hal-hal yang bersifat kontekstual ketimbang konseptual. Kita semua memahami bahwa secara konseptual Pancasila merupakan dasar bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta landasan ideologis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sejak merdeka. Namun demikian, secara kontekstual, terdapat kesenjangan (gap) antara pemahaman dan aktualisasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Masih adanya kelompok-kelompok yang mempertentangkan antara agama dan negara adalah satu dari sekian banyak contoh kesenjangan yang ada. Oleh sebab itu, pengakaran kembali atau reinternalisasi Pancasila di tengah-tengah masyarakat menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan.

Adanya kesenjangan antara pemahaman dan aktualisasi Pancasila di masyarakat merupakan sebuah fenomena empirik, bukan sembarang asumsi atau generalisasi saja. Masyarakat Indonesia bukannya tak paham akan Pancasila. Sejak di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah, atau bagi mereka yang beruntung untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, nilai-nilai Pancasila secara kontinyu diinternalisasikan oleh tenaga pendidik dan pengajar kepada para murid atau peserta didik melalui materi pelajaran yang mereka terima.

Materi seputar toleransi, tenggang rasa, tepa selira, hingga gotong royong, adalah materi-materi dasar dari Pancasila sebagai ideologi negara. Pada tataran lebih lanjut, masyarakat juga mendapat pembinaan dari lembaga-lembaga negara yang mengampu tugas untuk mendiseminasikan nilai-nilai Pancasila.

Melalui serangkaian upaya yang dilakukan secara sistematis tersebut, pemahaman masyarakat yang komprehensif mengenai Pancasila, baik aspek sejarah maupun nilai-nilai dasarnya, merupakan hal yang niscaya untuk terwujud. Namun demikian, urgensi dari Pancasila sebagai dasar negara, terlebih lagi sebagai ideologi bagi seluruh warga negaranya, tidak bisa berhenti pada sekedar pemahaman saja.

Pancasila memerlukan kontekstualisasi secara nyata sebagai laku hidup sehari-hari oleh seluruh bangsa Indonesia. Dengan kontekstualisasi itu, Pancasila menjadi ideologi yang benar-benar hidup. Keluhuran Pancasila sebagai landasan idiil bangsa dan negara Indonesia, bukan terletak pada barisan kata-kata saja, akan tetapi nilai-nilai dasarnya mewujud dan terefleksi sebagai habituasi dan gaya hidup manusia Indonesia yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tantangan Pancasila

Cita-cita untuk menjadikan Pancasila sebagai habituasi dan gaya hidup manusia Indonesia, tidak dimungkiri belum terwujud secara paripurna sampai hari ini. Pancasila, seperti layaknya ideologi lainnya, memiliki tantangan sebagai konsekuensi dari zaman yang terus bergerak dan berubah. Tantangan Pancasila hari ini sangat beragam. Globalisasi yang berlangsung sangat masif, tidak hanya menggerus batas-batas fisik antarnegara (deteritorialisasi), tapi juga melunturkan sekat-sekat sosial dan budaya.

Budaya asing begitu cepat masuk ke Indonesia, tanpa saringan. Akibatnya, banyak masyarakat Indonesia terpapar oleh budaya asing yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Tak hanya itu, tantangan Pancasila hari ini juga disebabkan oleh hadirnya ideologi-ideologi alternatif yang dengan cerdik memanfaatkan celah rapuh problematika sosial dan ekonomi masyarakat untuk menolak dan berpaling dari Pancasila.

Ada fenomena kontemporer yang menarik untuk dicermati, sebagai pembelajaran bahwa upaya menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai habituasi dan gaya hidup masih perlu diperjuangkan dengan lebih keras. Pandemi Covid-19 yang membekap Indonesia sejak 2020 yang lalu menghasilkan temuan bahwa situasi pandemi menjadi lahan yang cukup subur untuk berkembangnya intoleransi beragama. Data yang dirilis oleh Setara Institute mengenai kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) sepanjang 2020 dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.

Sepanjang 2020, peristiwa pelanggaran KBB cukup banyak terjadi, yakni hampir 180 peristiwa. Jumlah ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 200 peristiwa. Hanya saja dari sisi tindakan, pada 2020 yang merupakan tahun pandemi, angka tindakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 422 berbanding 327. Kondisi ini cukup memprihatinkan. Pandemi yang seyogianya menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih guyub dan bergotong royong, namun dicederai oleh pihak-pihak yang berlaku intoleran dan bertentangan dengan nilai ketuhanan Pancasila.  

Fenomena lainnya yang paling mutakhir untuk dicermati adalah dari lanskap politik internasional, yakni eksistensi rezim Taliban yang mampu bangkit dan berkuasa kembali di Afghanistan setelah Pemerintah Amerika Serikat menarik mundur seluruh pasukannya pada akhir Agustus 2021 yang lalu. Banyak negara-negara di dunia, seperti India, Cina, Rusia, bahkan Indonesia yang khawatir bahwa berkuasanya Taliban di Afghanistan akan menjadi suar bagi bergeliatnya sel-sel terorisme yang sekian lama pasif. Kekhawatiran ini tidak berlebihan.

Di Indonesia sendiri, sepanjang Agustus hingga September 2021, puluhan teroris berhasil dibekuk oleh aparat. Secara ideologis, sejatinya kekhawatiran semacam ini tidak perlu ada. Radikalisme dan terorisme hanya berkembang di masyarakat yang “kering” nilai-nilai ideologisnya. Namun demikian, permasalahan Indonesia saat ini adalah nilai-nilai ideologis tersebut masih berproses untuk menjadi habituasi dan gaya hidup manusia Indonesia. Celah dalam berproses itu bisa menjadi peluang bagi kelompok-kelompok teroris untuk membuat masyarakat Indonesia terpapar dan terkontaminasi dengan paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Pengakaran kembali

Melihat kompleksitas tantangan tersebut, langkah yang harus dilakukan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang benar-benar hidup di masyarakat (living ideology), tidak cukup hanya dengan melakukan diseminasi atau internalisasi nilai-nilai saja yang digaungkan di ruang-ruang tertutup semacam kelas belajar-mengajar atau ruang-ruang seminar saja. Yang dibutuhkan lebih dari itu, yaitu mengakarkan kembali keseluruhan nilai-nilai Pancasila dalam cipta, rasa, karsa, dan karya, seluruh manusia Indonesia.

Solusi pengakaran kembali ini sepintas seperti suatu hal yang normatif, bahkan utopis. Namun menjadi suatu solusi yang sangat mudah dan logis untuk diimplementasikan, apabila manusia Indonesia menyadari dua hal utama; pertama, asal muasal Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dari kebiasaan dan cara hidup manusia Indonesia itu sendiri, serta kedua, manusia Indonesia menyadari tanggung jawab untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sesuai tugas dan kapasitas masing-masing.

Pancasila bukanlah ideologi atau dasar negara yang digali dari belahan bumi lainnya. Pancasila adalah refleksi atau cerminan dari budaya bangsa Indonesia sendiri, budaya dalam konteks yang paling adiluhung untuk dijadikan sebagai pijakan dalam praktik berbangsa dan bernegara. Karena digali dari bumi Indonesia dan budaya masyarakat Indonesia sendiri sejak dulu kala, maka seyogianya manusia Indonesia hari ini tidak perlu merasa gamang, tidak familiar, atau merasa berjarak dengan Pancasila. Inilah modal utama untuk melakukan pengakaran kembali Pancasila di tengah masyarakat.

Agar pengakaran kembali ini memiliki daya cengkeram yang kuat, seluruh bangsa Indonesia harus berani berkomitmen untuk mewujudkannya dalam laku hidup sehari-hari sesuai dengan tugas dan kapasitas mereka. Pemerintah misalnya, harus berkhidmat pada prinsip keadilan sosial dalam menetapkan kebijakan. Legislatif harus berpegang teguh pada prinsip musyawarah mufakat sebagai representasi rakyat. Masyarakat sendiri harus menjaga persatuan dan kesatuan, apapun situasi dan kondisi yang dihadapi. Hal-hal tersebut merupakan contoh pengakaran secara teknis yang bisa dilakukan. Hal-hal tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten, sehingga menjelma sebagai habituasi dan gaya hidup. Dengan demikian, diharapkan Pancasila dapat mengakar secara kokoh sebagai dasar negara dan ideologi yang hidup di tengah masyarakat Indonesia.

Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024