Home Energi Meski ada EBT, Industri Hulu Migas Tidak Serta Merta Ditinggalkan

Meski ada EBT, Industri Hulu Migas Tidak Serta Merta Ditinggalkan

0
SHARE
Meski ada EBT, Industri Hulu Migas Tidak Serta Merta Ditinggalkan

Bali, BIZNEWS.ID - Tren energi global saat ini adalah transisi energi, dari energi fosil menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada pertengahan abad ini. Indonesia juga berkomitmen akan berkontribusi lebih cepat bagi NZE dunia, khususnya melalui pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Meski demikian, industri hulu migas tidak akan serta merta ditinggalkan. Hal tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada "The 2nd International Conference on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021".

"Industri hulu migas tidak akan serta merta ditinggalkan karena industri ini juga menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia. Multiplier effect yang ditimbulkan dari kegiatan ini telah dirasakan sampai ke sektor-sektor pendukungnya. Penggunaan kapasitas nasional di sektor hulu migas cukup besar pada tahun 2020, yakni sebesar 57 persen dengan nilai pengadaan sekitar USD2,54 miliar," ujar Arifin, Senin (29/11).

Arifin juga mengatakan bahwa industri hulu migas kini telah berkembang menjadi salah satu mesin penggerak kegiatan penunjangnya. Industri hulu migas yang pada mulanya didesain untuk menghasilkan manfaat berupa penerimaan negara secara maksimal, kemudian berkembang menjadi salah satu mesin penggerak kegiatan penunjangnya, seperti perbankan, perhotelan, dan sebagainya.

"Dalam perhitungan umum, setiap investasi USD1 akan menghasilkan dampak senilai USD1,6 yang dapat dinikmati industri penunjangnya," jelasnya. Maka dari itu, visi industri fosil dalam era transisi energi adalah industri hulu migas yang rendah karbon. Gas disebutnya akan menyokong kebutuhan energi dan dikembangkan untuk menggantikan peran batubara.

"Industri hulu migas yang rendah karbon merupakan visi dari industri fosil dalam era transisi energi. Industri hulu migas, terutama gas, akan menjadi penyokong energi pada masa transisi dan akan dikembangkan untuk menggantikan energi batubara," lanjutnya.

Pemerintah kini berusaha memaksimalkan volume penyerapan gas di dalam negeri, antara lain melalui kebijakan harga khusus untuk sektor kelistrikan dan industri tertentu yang tentunya akan mendorong penambahan konsumsi gas. Oleh karena itu, lapangan-lapangan migas tetap perlu dikembangkan. Potensi yang ada juga harus digali untuk menjamin penyediaan energi di masa depan.

"Bahkan potensi lapangan-lapangan migas non-konvensional juga harus digali demi pemenuhan kebutuhan masa depan. Proses ini tidak sederhana dan membutuhkan dukungan serta kerja sama semua pihak untuk merealisasikannya. Teknologi yang maju dan ramah lingkungan juga dibutuhkan untuk menjawab tantangan ini," tandas Arifin.

Apresiasi juga diberikan kepada SKK Migas dan KKKS yang telah menggunakan teknologi untuk menekan emisi karbon pada kegiatan pengembangan lapangan. Arifin berharap strategi tersebut tetap dikawal dan diimplementasikan dengan baik, sehingga peningkatan produksi tetap berjalan beriringan dengan usaha penurunan emisi.

Peluang investasi juga disebutnya terbuka tidak hanya pada industri migas Indonesia, namun juga pengembangan bisnis transisi energi dan penurunan karbon."Stimulus investasi juga terus menerus akan dievaluasi agar Indonesia dapat memenangkan kompetisi, sehingga target peningkatan produksi dapat direalisasi," tutup Arifin.