Bandung – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Pol Dr Boy Rafli Amar, M.H, menegaskan bahwa aksi teroris yang marak terjadi itu bukan ajaran Islam. Para pelaku teror ini menyalahgunakan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin menjadi dasar gerakan kekerasan.
“Islam itu bukan teroris dan teroris itu bukan Islam,” penegasan ini disampaikan oleh Kepala BNPT Komjen Pol Dr Boy Rafli Amar, M.H pada webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, Sabtu (7/5).
Webinar yang dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos, SH, MSi, dengan pembicara Komjen Pol Dr Boy Rafli Amar, MH, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr H Amirsyah Tambunan, MA, Prof Dr Asep Saeful Muhtadi, MA, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, dengan moderator Dr. Pitoyo, M.IKom, Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, dengan Host Dr. Zakiyuddin, S.IP, M.IKom dihadiri oleh 243 partisipan.
Acara yang diselenggrakan kerjasama IDIK UNPAD dengan Universitas Muhammadiyah Medan (UMM), Tribun Jabar.id, Medcom serta TV Harmoni, menarik perhatian para dosen komunikasi dan mahasiswa komunikasi di berbagai perguruan tinggi. Tema yang dibahas dalam webinar ini masih hangat dalam perbincangan di masyarakat baik di media massa maupun media sosial.
Menurut Boy Rafli, pada tahun 2021 ini saja tercatat ada dua aksi teroris, pertama aksi bom bunuh diri di Gereja Katederal Makasar pada 28 Maret 2021. Kedua, aksi teror yang dilakukan oleh seorang perempuan muda di Mabes Polri pada 31 Maret 2021. Berdasarkan fakta yang didapat, pelaku teror di kedua tempat tersebut terpapar paham radikalisme. Mereka ini oleh BNPT masuk dalam kategori kelompok retan.
Pemaparan paham radikal yang mengarah pada terorisme ini, jelas Boy Rafli, alumni Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD ini, melalui proses komunikasi yang intens. Karena itu komunikasi menjadi kunci dalam pencegahan penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Komunikasi intens itu dilakukakn dengan fasilitas media sosial.
Sebagaimana diketahui, saat ini dikenal sebagai era revoluasi media digital, dimana pengguna internet di negeri ini tercatat sebanyak 202 juta akun dan sebanyak 180 juta akun lebih pengguna media sosial. Boy Rafli menegaskan narasi-narasi negatif yang dibangun kelompok radikal dan teroris tersebar secara luas dan bebas di media sosial. Era new media ini banyak disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan paham kekerasan, radikalisme dan terorisme.
“Kita harus melawan narasi negatif itu, Mereka menang atau kita yang kalah,” ungkap Boy Rafli.
Untuk itu, Boy Rafli mengajak semua pihak untuk mengisi media baru yakni media sosial dengan narasi narasi yang posiitif. Para pakar komunikasi, cerdik cendekia, alim ulama, untuk selalu mengisi media sosial dengan tulisan maupun visual, di youtube dengan narasi yang memberi pencerahan, agar masyarakat tidak terseret dalam pemikiran sesat kaum radikal dan teroris.
Boy Rafli menjelaskan BNPT memiliki dua program yakni program deradikalisasi BPNT itu ditujukan pada para tersangka, terpidana, terdakwa pelaku teror dan narapidana serta eks narapidana teroris. Adapun untuk masyarakat agar tidak terpapar paham radikal BNPT mengembangkan program kontra radikalisasi, kontra idiologi teroris, kontra propaganda. BNPT menjalin kerjasama dengan 46 Kementerian dan Dewan Pers.
“Kami terus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk menangkal ajaran sesat radikalisme dan terorisme, termasuk dengan Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) ini,” jelasnya.
Dr Dadang, menambahkan bahwa era media baru ini berlangsung di tengah masyarakat yang belum begitu paham tentang berbagai narasi yang disebarkan, sehingga masyarakat gampang sekali terkecoh oleh pesan bohong (hoax) atau berita palsu (fake news). Kurangnya daya kritis masyarakat terhadap pesan yang disebar di media sosial, ini akan mengarah pada gagal berkomunikasi, salah paham, gagal paham, dan paham salah, yang akan mengarah pada gagal sosial dan yang dikhawatirkan akan terjadi gagal berbangsa.
Berkaitan dengan lebeling Islam pada setiap adanya aksi teroris, Dadang mengemukakan perlunya para pakar komunikasi untuk mendudukan masalah terorisme ini dalam rana komunikasi secara intens. Hal ini dimaksudkan agar upaya pihak yang melakukan framing bahwa Islam itu teroris dapat ditepis dan tidak menjadi sebuah labeling di masyarakat yang mayoritas muslim ini.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr. Amirsyah Tambunan menegaskan bahwa MUI sudah dengan tegas melalui fatwah MUI menyatakan teroris itu haram. Islam jelas dan tegas disebutkan dalam Al Quran sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Islam tidak mengajarkan tentang aksi teroris dan radikalisme.
Para teroris itu mengkomunikasikan kepada para calon pelaku teror dengan kata-kata jihad. Padahal kata jihad itu tidak identik dengan aksi teroris. Jihad juga tidak dapat diartikan melakukan aksi bom bunuh diri dengan tujuan menyerang orang lain, apalagi beragama lain. Pelaku aksi teror menganggap bahwa perbuatannya yang sesat itu merupakan perjuangan untuk agamanya, padahal sama sekali bukan itu ajaran Islam.
“Jihad itu maknanya perjuangan dengan sungguh-sungguh, dan tidak diartikan perang. Perlu pemaknaan yang jelas agar tidak sesat dalam memaknai kata jihad dalam Al Quran,” tegas Amirsyah.
Islam itu agama Thabat (tetap) yang mendasarkan pada aqidah, ibadat, ketentuan hukum Syariah, halal, haram, wajib, makruh. Islam juga agama yang Tawazun artinya memperhatikan keseimbangan. Setidaknya ada beberapa ayat yang menegaskan bahwa Islam datang untuk kebaikan semua umat manusia, diantaranya surah Al Baqarah 143, Saba 28, Ali Imron 110 dan An Nahl 25.
Prof Asep Saeful Muhtadi menjelaskan, paham radikal maupun teroris itu melakukan pemaknaan kata jihad sesuai dengan keinginan kelompoknya sendiri. Padahal, untuk memaknai satu ayat dalam Al Quran, itu harus dilakukan oleh orang-orang yang punya orotitas tinggi, yakni kaum alim ulama, ustad, tokoh agama.
“Hal itu agar tidak terjadi kesalahan dalam memaknai kata Jihad,” ungkap Prof Asep.
Umat Islam, menurut Prof Asep Saeful, adalah orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Karena itu perlu dipertanyakan kalau ada aksi teror dengan kekerasan yang dilakukan dengan mengaku sebagai Islam. Apakah nabi Muhammad pernah mengajarkan aksi bom bunuh diri, tentu jawabnya tidak.
Prof Asep Samu, panggilan akrab, prof Asep Saeful Muhtadi menambahkan, pemerintah juga perlu hati-hati dalam menyampaikan berita tentang aksi teroris ini, jangan sampai menimbulkan sakit hati umat Islam. Masyrakat juga perlu hati-hati dalam menyikapi pesan-pesan jihad atau ajakan perang di media sosial.
“Cermati dulu, cerna dulu, dan pahami dulu, jangan langsung dipercaya apalagi disebarkan,” kata prof Asep Samu.
Webinar yang dimulai pukul 10.00 wib, dan diagendakan berakhir pada 12.00 wib, ini karena banyaknya penanya dari para narasumber, maka sedikit berjalan molor 15 menit. Sebelum Webinar diakhiri, moderator Dr Pitoyo, M.IKom menyampaikan bahwa tindaklajut dari Webinar ini, IDIK UNPAD akan menjalin kerjasama dengan BNPT dan MUI dalam menyelenggrakan Literasi Anti radikalisme dan Anti Terorisme.
“Kami ucapkan terimakasih kepada IDIK yang memberikan pencerahan melalui acara ini, dan kami dengan senang hati menjalin kerjasama dengan IDIK,” jelas Boy Rafli mengakhiri pemaparannya.
Dr Zakiyuddin mengatakan, webinar ini sangat menarik sehingga pesertanya dapat bertahan hingga acara berakhir. Semoga setelah webinar ini IDIK UNPAD menindaklanjuti kerjasama dengan BNPT dan MUI guna menyusun program literasi antiradikalisme dan antiterorisme. (*)
LEAVE A REPLY