Jakarta, BIZNEWS.ID - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meralat puncak pandemi yang sebelumnya diprediksi terjadi pada bulan Juli, sementara pakar kesehatan menyebut jumlah kasus akan terus menanjak hingga akhir tahun di tengah pemberlakuan `new normal`.
Pemerintah, melalui Gugus Tugas Nasional pada April lalu, sempat memperkirakan puncak pandemi Covid-19 di Indonesia akan mulai pada Mei dan berakhir pada Juli.
Pakar ilmu epidemiologi dan ahli pemodelan matematika mengatakan peningkatan kasus kini akan didorong oleh meningkatnya mobilitas masyarakat dengan tatanan kehidupan baru atau `new normal`.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan puncak pandemi kini tidak bisa diprediksi karena kasusnya sangat dinamis dengan perilaku masyarakat. Namun, ia menjelaskan kondisi ini justru mencerminkan penanganan yang efektif, karena tingkat peningkatan masih terkendali.
"Jadi kondisinya yang jelas, dari perkiraan lalu tidak tercapai peaknya seperti yang diduga banyak pihak. Jadi itu menunjukkan bahwa proses kendali yang ada secara nasional maupun daerah itu cukup efektif. Namun kasus memang tetap berjalan naik terus, tetapi tetap dalam kendali - maksudnya tidak dalam lonjakan kasus," kata Wiku kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/07).
"Dan pengendalian kita melakukannya adalah dengan memonitor melalui zonasi untuk masing-masing daerah. Zonasinya kan berbeda-beda dan datanya kan data riil yang setiap minggu diumumkan. Itu sebagai alat indikator bagi setiap daerah dan pimpinan daerah mengendalikan kasusnya di masing-masing daerah," tambahnya.
Dalam konferensi pers pada April 15 lalu, Wiku mengatakan bahwa puncak wabah virus corona akan mulai pada bulan Mei, dimana kasus kumulatif akan mencapai 95.000, dan berakhir pada Juli, dengan perkiraan 106.000 kasus. Pada kesempatan itu, ia menyebut pemerintah akan melaksanakan berbagai upaya agar jumlah kasus sesungguhnya tidak mencapai angka prediksi.
Sejak April, beberapa wilayah masing-masing menerapkan upaya pembatasan demi menekan penyebaran penyakit Covid-19. Kini, menurut data Gugus Tugas hingga Minggu (12/07), jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai lebih dari 75.000.
Meski jumlah kasus terus meningkat, pemerintah telah membuka kembali berbagai aktivitas sosial dan ekonomi melalui penerapan tatanan baru. Bahkan, penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia mencapai rekor tertinggi pada Kamis (09/07) lalu dengan 2.657 kasus baru dan sempat mendapat sorotan Presiden Joko Widodo.
`Potensi penyebaran masih tinggi`
Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, mengatakan bahwa Indonesia sampai sekarang masih menjalani gelombang pertama pandemi Covid-19. Lebih lagi, ia menyebut Angka Reproduksi, atau tingkat penularan virus, masih berada di atas angka satu, meski sudah memasuki new normal.
Pandemi Covid-19
Jika angka R di atas satu, maka jumlah kasus kumulatif akan meningkat. Namun jika di bawah satu, wabah lama-kelamaan akan berhenti. Semakin cepat R di bawah satu, wabah akan semakin cepat pula berhenti.
Para ilmuwan menghitung Angka Reproduksi dalam kurun waktu tertentu. Jika angka reproduksi lebih tinggi dari satu, maka jumlah kasus dapat meningkat secara signifikan seperti bola salju yang bergulir.
"Dari data saja, ini masih menanjak dan belum ada puncak. Apalagi gelombang kedua. Jadi, gelombang pertama saja belum selesai, kalau dari perhitungan kami. Dan, Angka Reproduksi hariannya juga masih di atas satu.
"Bahkan ini yang 9 Juli kan kisaran 1.2-1.4, artinya masih mungkin menyebar. Apalagi nanti kalau di tambah mobilitas meningkat," kata Nuning via telepon, Minggu (12/07).
Karena hingga kini titik puncak belum terjadi, maka hal itu, menurut Nuning, mempersulit prediksi perkembangan pandemi dalam jangka panjang.
"Pada saat kita belum menemukan puncaknya, itu kita hanya berani memastikan tujuh hari ke depan. Prediksinya apakah tujuh hari ke depan sudah ada penurunan atau masih naik? Dari yang kita lakukan, itu masih naik terus," ujarnya.
"Nah, yang lebih dikhawatirkan adalah new normal ini disalah artikan kembali normal. Justru potensi penyebarannya masih tinggi. Karena kemarin itu WFH (Work From Home) lebih gencar, kemudian mobilitas orang juga belum setinggi sekarang, artinya sekarang itu justru lebih berpotensi penyakit itu menyebar."
Keterbatasan data
Nuning menambahkan bahwa keterbatasan data yang tersedia juga menjadi titik lemah dalam memahami Covid-19 dan melaksanakan langkah penanggulangan secara lebih tepat dan cepat.
Menurut dia, dokumentasi data pada setiap wilayah tidak memiliki standar variabel yang seragam untuk setiap kasus, misalnya seperti tanggal seorang pasien mulai mengalami gejala atau onset penyakit, kapan dites, hingga kapan dinyatakan positif.
"Kalau menurut ahli epidemiologi, kalau data onset itu akan memberikan informasi misalkan periode infeksi yang benar itu berapa lama. Kemudian semakin cepat orang tes dan hasilnya keluar, kan proses isolasi dan lain-lain bisa bisa dilakukan lebih cepat. Makin lama, maka akan makin ada periode dimana dia akan mentransimisikan virus itu," kata Nuning.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Pengangan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengakui masih terdapat sejumlah tantangan dalam proses pendataan kasus sehingga ada penundaan pada pelaporan.
"Memang tantangan utamanya adalah memperbanyak laboratorium, mempercepat proses pengiriman dari fasilitas kesehatan, memperbaiki pendataan mulai dari swab diambil, dikirim, dites, dan hasilnya dilaporkan kembali," kata Wiku.
Di sisi lain, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Pandu Riono mengkritisi penanganan pemerintah dalam menangani perkembangan kasus yang ia sebut tidak memiliki indikator dan acuan jelas untuk memonitor penekanan penyebaran, sehingga puncak pandemi tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi.
"Penanganannya tidak optimal. Prediksinya, mungkin sampai akhir tahun pun kurvanya belum turun. Jangan diharapkan kita bisa menyelesaikan sampai akhir tahun ini, kalau kita tidak jelas apa yang kita mau lakukan," kata Pandu via telepon, Minggu (12/07).
Simulasi Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB memprediksi tren kasus masih akan terus meningkat. Kepala Pusat itu, Nuning Nuraini, mengatakan angka itu kemungkinan tidak akan jauh dari rata-rata saat ini, mengingat jumlah tes yang terbatas, kecuali ada peningkatan tes secara besar-besaran.
"Yang bagus itu kalau yang dites itu semakin banyak, trus kasusnya itu turun. Jadi artinya sudah mulai banyak yang negatif - tapi tesnya banyak," kata Nuning.
Pada Juni lalu, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengakui jumlah tes massal di Indonesia masih tergolong rendah, yakni 1.752 tes per 1 juta penduduk. Demikian viva.co.id
Photo : google image
Headline
LEAVE A REPLY