Jakarta, BIZNEWS.ID - Wajib Belajar (WAJAR) 12 tahun akan terhambat oleh perkawinan anak. Melalui andil penting satuan pendidikan dalam memberikan pendampingan, pengawasan, dan pemahaman terutama terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender, diharapkan dapat menghindarkan peserta didik dari jeratan perkawinan anak.
“Satuan Pendidikan, terdiri Sekolah Ramah Anak dan Madrasah Ramah Anak harus turut berperan mencegah terjadinya perkawinan anak. Jika perkawinan anak tidak terjadi, maka WAJAR 12 tahun akan terpenuhi karena anak-anak tidak putus sekolah (drop out) . Pendidikan juga merupakan salah satu variabel pengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara. Jangan bermimpi akan memiliki IPM tinggi bila masalah perkawinan anak masih tinggi di suatu daerah. Perkawinan anak memiliki dampak yang saling berkaitan satu sama lain,” terang Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin pada Webinar Strategi Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mendukung Wajib Belajar (WAJAR) 12 Tahun.
Berdasarkan data Susenas 2018 perempuan yang menikah sebelum 18 tahun 4 kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan SMA ke atas dibandingkan dengan yang menikah 18 tahun atau lebih. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat, yakni sekitar 45 persen.
Terkait ajakan Wedding Organizer Aisha Weddings kepada para perempuan untuk menikah di atas usia 12 tahun hingga maksimal 21 tahun, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Femmy Eka Kartika Putri mendukung Kemen PPPA untuk mencegah perkawinan anak.
“Kemenko PMK mendukung Kemen PPPA untuk mencegah perkawinan anak. Promosi tersebut tidak pantas dilakukan karena melukai hati anak-anak Indonesia yang tengah menuntut ilmu, belajar sekuat tenaga dalam masa pandemi Covid-19 agar mereka kelak menjadi Generasi Emas 2045. Promosi buruk tersebut juga menimbulkan rasa ketidaknyamanan di masyarakat karena provokasinya tidak mendidik, apalagi saat ini masyarakat tengah fokus untuk melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai upaya melindungi keluarga dari virus yang sangat membahayakan tersebut,” tegas Femmy.
Dalam mencegah perkawinan anak, pendidikan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender di satuan pendidikan juga menjadi penting dilakukan. Berdasarkan Riskedas 2018 sebesar 5,3 persen anak usia sekolah dan remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah.
Koordinator Peserta Didik, Direktorat Sekolah Menengah Atas (SMA) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Juandanilsyah mengatakan satuan pendidikan telah dihimbau untuk melakukan edukasi manajemen kebersihan menstruasi. Para siswi diberikan pemahaman mengenai siklus menstruasi mereka. Selain itu, satuan pendidikan dipersiapkan dari segi penyediaan sarana dan prasarana, seperti toilet bersih.
Terkait isu kesetaraan gender, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghafur mengatakan bahwa pihaknya selalu berupaya agar isu kesetaraan gender menjadi bagian dari kurikulum di pendidikan tinggi dan madrasah. Selain itu, melalui Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam terdapat penyuluh hingga tingkat desa untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
“Kemenag melalui Bimas Islam terdapat penyuluh hingga tingkat desa untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, terutama untuk calon pengantin. Hal ini termasuk melakukan penelusuran ketika calon pengantin usianya belum mencapai usia batas ketentuan menikah dalam undang-undang. Jika hal tersebut terjadi, maka akan dikembalikan kepada masyarakat. Hal penting yang juga perlu menjadi perhatian adalah permasalahan modus pemalsuan bukti lahir,” jelas Waryono.
Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal yang hadir dalam webinar tersebut mengimbau seluruh pihak, utamanya pemerintah untuk memberikan beasiswa bagi perempuan masuk ke perguruan tinggi supaya terhindar dari perkawinan anak. Hal ini terutama bagi keluarga yang terancam menikahkan anaknya pada usia muda.
“Jika kita bisa menyediakan afirmasi beasiswa pendidikan tinggi bagi mereka secara khusus, terutama di daerah dengan angka perkawinan anak tinggi, maka akan menghindarkan mereka dari kemungkinan dinikahkan pada usia anak. Selain itu, memberikan keterampilan dan permodalan bagi remaja perempuan dapat membantu mereka agar tidak mudah terjerumus dalam perkawinan anak,” imbau Fasli. Demikian kemenpppa.go.id
Headline
LEAVE A REPLY