Home Lifestyle Mahasiswa UGM Teliti Fenomena Munculnya Komunitas Suka Marah-Marah di Medsos

Mahasiswa UGM Teliti Fenomena Munculnya Komunitas Suka Marah-Marah di Medsos

0
SHARE
Mahasiswa UGM Teliti Fenomena Munculnya Komunitas Suka Marah-Marah di Medsos

Yogyakarta, BIZNEWS.ID - Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dari Universitas Gadjah Mada tengah melakukan riset terhadap fenomena Komunitas Marah-Marah di platform X yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Komunitas daring ini menjadi sorotan karena menjadi tempat warganet mengekspresikan kemarahan, kekecewaan, dan keresahan mereka di ruang digital.

Riset yang dilakukan Tim PKM RSH UGM bertujuan untuk memahami bagaimana komunitas tersebut berfungsi sebagai safe space (ruang aman) sekaligus toxic space (ruang beracun) bagi penggunanya. Dengan mengangkat judul Antara Safe Space dan Toxic Space: Studi Ekologi Media terhadap Komunitas Marah-Marah di Media Sosial X, riset ini mengamati kondisi kebiasaan bermedia sosial masyarakat Indonesia terkhusus di Komunitas Marah-Marah melalui pola komunikasi digital.

Tim PKM RSH Fisipol UGM, ini beranggotakan Muh Faiq Fauzan, Fanisa Ratna Dewi, Debora Magdalena Marchya Sihombing, Muhammad Syukur Shidiq, dan Adelia Pradipta Nasyaputri. Dalam melakukan riset mengenai pola komunikasi yang terbentuk dalam Komunitas Marah-Marah di X, tim inipun mendapat pendampingan dari dosen Fisipol UGM, Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, S.I.P., M.A. selaku dosen pembimbing.

Muh Faiq Fauzan menjelaskan sebagai salah satu media sosial dengan jumlah pengguna terbesar di Indonesia, X menyediakan fitur komunitas yang memungkinkan interaksi berbasis minat dan emosi. Komunitas Marah-Marah, yang awalnya hadir sebagai wadah pelepasan stres dan emosi negatif sehari-hari dalam perkembangannya menjadi ruang interaksi yang sangat aktif dan dinamis. Jumlah anggotanya pun melonjak drastis, dan bersamaan dengan pertumbuhan tersebut muncul persoalan baru berupa penyebaran ujaran kebencian, serangan personal, dan diskriminasi digital.

“Kami tertarik meneliti Komunitas Marah-Marah karena lonjakan anggotanya sangat signifikan. Dalam waktu satu tahun, jumlah pengguna meningkat tiga kali lipat hingga mencapai satu juta. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang merasa perlu untuk mencari ruang pelampiasan emosi di media sosial,” jelas Muh Faiq Fauzan, ketua tim peneliti di Fisipol UGM, Jum’at (19/9).

Untuk menelaah fenomena tersebut secara mendalam, kata Faiq, tim menggunakan pendekatan Teori Ekologi Media dari Marshall McLuhan. Teori ini, disebutnya, menyoroti bahwa setiap media tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk cara berpikir dan pola interaksi penggunanya. Dalam konteks media sosial X, fitur seperti retweet, komentar terbuka, serta sistem algoritma menjadi elemen penting yang mempengaruhi dinamika komunikasi di dalam komunitas daring.

Sejalan dengan kerangka teorinya maka metode riset yang digunakan adalah mixed-method, yaitu perpaduan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tim mengawali riset dengan observasi partisipatoris untuk memetakan pola komunikasi dalam komunitas. Dari observasi dilanjutkan dengan survei terhadap anggota Komunitas Marah-Marah, serta wawancara mendalam untuk menggali lebih jauh persepsi dan pengalaman pengguna terkait kenyamanan, keamanan, dan risiko dalam berinteraksi di ruang digital tersebut.

“Dari berbagai temuan awal, tim melihat bahwa Komunitas Marah-Marah memiliki dua sisi yang kontras. Di satu sisi, komunitas ini memberikan ruang bagi pengguna untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut akan penghakiman, dan menciptakan rasa keterhubungan emosional antarpengguna. Di sisi lain, komunitas ini juga menjadi tempat subur bagi penyebaran komentar bernada negatif dan diskriminatif, pelanggaran privasi, bahkan memicu cyberbullying,” ucapnya.

Faiq menuturkan dalam satu unggahan bisa ditemukan dukungan emosional dari sesama pengguna. Meski begitu, disisi lain ditemui pula komentar yang merendahkan atau bersifat ofensif. Kompleksitas persoalan inilah yang membuat Tim PKM-RSH Fisipol UGM tertarik melakukan riset. Melalui riset ini, tim berharap dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan literasi digital masyarakat, khususnya dalam membangun ruang daring yang lebih inklusif dan empatik. Selain menghasilkan laporan ilmiah dan artikel akademik, tim berencana meluncurkan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya etika berkomunikasi dan batas-batas ekspresi di media sosial. “Hasil riset ini juga diharapkan dapat mendukung penyusunan kebijakan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia melalui policy brief yang menekankan etika bermedia serta pembentukan karakter warganet yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab,” imbuh Faiq.